MIPPP 09 — Luka Batin

Davira melajukan motornya melewati gang kecil dan berbelok ke arah kiri, kemudian memarkir motornya tepat di depan rumah berwarna krem yang sebagian warnanya sudah agak pudar.

Baru saja ia melepaskan helm, Davira sudah mendengar keributan dari dalam rumahnya. Bergegas ia meninggalkan motor dan masuk ke dalam rumahnya.

Di dalam sana, Davira melihat seorang pria tengah mengangkat tangan kepada ibunya. Ia melihat dengan jelas ibunya yang erlutut memohon ampun sambil menangis tersedu-sedu.

Tatapan Davira mengiba melihat sang ibu, namun ketika melihat sosok pria itu, amarah Davira pun memuncak. Tepat saat sang pria hendak menampar Rika, dengan cepat Davira mencekal lengan pria berusia lima puluh tahun itu dengan kesal.

"Cukup, Pak!" teriak Davira melindungi sang ibu di balik punggungnya. "Sudah cukup Bapak melukai Ibu!"

"Diam kamu, anak si*lan! Bapak mau minta uang dari ibumu! Lepas!" maki Agus pada putri sulungnya dengan mata yang berkilat marah.

"Buat apa? Main judi lagi? Sadar, Pak! Kapan sih Bapak bisa sadar?" Davira mendorong Agus menjauh, tubuh pria itu tampak sempoyongan. Wajar, pengaruh alkohol telah melemahkan tubuhnya.

"Brengs*k! Jangan durhaka kamu sama Bapakmu sendiri" teriak Agus kalap, ia kembali berdiri meski tubuhnya sudah cukup lemah akibat terlalu banyak minum minuman beralkohol.

Davira berdiri tegak melindungi sang ibu. Sambil mengucap istighfar berkali-kali dan meminta kekuatan kepada Yang Maha Kuasa untuk menghadapi pria yang tak tahu diri di hadapannya itu.

"Vira gak masalah jadi anak yang durhaka sama pria bejat kayak Bapak!" teriak Davira berani. Di belakangnya, Rika tampak gemetar ketakutan.

Rika takut jika suaminya melakukan hal yang lebih kejam kepada Davira, apalagi sekarang pria itu tengah berada di bawah pengaruh alkohol.

"Kamu! Kamu anak yang gak berbakti!" teriak Agus, matanya memandang Davira dengan tatapan khas orang yang mabuk sambil menunjuk-nunjuk ke arah Davira.

"Dasar anak yang gak berguna!" makinya lagi berusaha untuk maju meski sempoyongan. "Kamu bahkan gak bisa mendapatkan satu orang pria pun untuk kamu nikahi!"

Entah sadar atau tidak, perkataan Agus itu sukses membuat kedua mata Davira mengembun. Tangannya terkepal kuat, ia coba tahan-tahan amarahnya di dalam dada sekuat yang ia bisa.

"Sebaiknya Bapak pergi dari sini sekarang juga," tegas Davira, memandang pria yang ia panggil Bapak dengan sorot mata penuh kemarahan dan kekesalan.

"Pergi!" teriaknya kencang, membuat pria itu sedikit berjengit kaget. "Pergi sebelum aku panggil warga dan polisi!"

Agus pun tak memiliki pilihan lain selain beranjak pergi dari sana dengan ketidakpuasan karena tidak berhasil mendapatkan uang yang diinginkannya. Sambil menunjuk Davira, pria itu keluar dari rumah dengan sempoyongan.

"Awas saja ya kamu, Bapak kutuk kamu! Dasar perawan tua! Anak gak tahu diri kamu!"

Setelah kepergian Agus, tubuh Davira merosot ke bawah. Air matanya tak lagi dapat ditahan untuk jatuh, turun deras ke pipi. Bahunya bergetar naik turun. Belum menikah apakah menjadi dosa besar baginya?

Dada Davira terasa sesak oleh hinaan Agus. Yang paling menyakitkan adalah ketika ia mendapat label buruk itu dari seseorang yang seharusnya mendukungnya.

Di sampingnya, Rika turut bersedih, mengusap bahu putrinya pelan, seolah ingin menyalurkan kekuatan dan kesabaran pada anak perempuannya itu.

"Maafin Bapak, ya, Nak."

"Kenapa, Bu? Kenapa Ibu selalu bela Bapak? Ibu lihat sendiri, kan? Ibu lihat sendiri bagaimana kelakuan Bapak kepada Ibu tadi." Davira meradang kesal. Melihat sikap Agus yang seperti itu, kenapa ibunya terus saja memintanya untuk memaafkannya?

"Dia tetap bapakmu, Nak. Tolong maafkan, ya? Kita ini perempuan, harus lapang dada dan luas sabarnya. Sudah, sudah, jangan menangis lagi, ya." Rika meraih Davira ke dalam pelukannya.

Menjadi perempuan, mereka harus selalu kuat menghadapi kenyataan yang ada. Davira selalu mengutuk ketidakberdayaan dirinya dan ibunya. Sampai kapan? Sampai kapan ibunya harus bertahan demi pria brengsek seperti Agus?

Davira duduk di atas permadani yang sudah usang, mengabaikan kondisi rumah mereka yang berantakan, ia lalu meminta sang ibu untuk duduk di dekatnya. Ia harus segera mencari cara untuk membuat ibunya sadar dan pergi dari rumah ini.

"Bu," panggil Davira pelan. Mengusap air matanya pelan dan berusaha tersenyum. "Ibu sayang Davira, kan, Bu?"

Rika mengangguk. Tentu saja ia menyayangi putrinya, sangat menyayanginya. Seorang ibu bahkan rela mat* demi anaknya.

"Ayo kita pindah dari sini, Bu."

Rika terhenyak oleh pernyataan putrinya itu. "Ap-apa maksudmu, Nak? Ibu … ibu nggak mengerti maksudmu."

"Davira berpikir sebaiknya Ibu ikut Davira aja ke Jakarta. Lagipula sekarang pekerjaan Davira juga sudah bagus, Bu. Kita pasti bisa hidup di sana dengan bahagia, Davira gak tega kalau meninggalkan Ibu sendiri di sini," terang Davira sambil menggenggam tangan sang ibu.

Namun, Rika menggeleng. "Tidak, Nak. Ini rumah kita, desa kita. Rumah ini bukan cuma tempat bernaung buat Ibu, tapi juga kenangan yang berharga. Ibu di sini saja, Nak."

"Tapi, Bu." Davira menarik napas panjang. "Bagaimana kalau nanti Bapak datang lagi dan menyiksa Ibu kayak tadi? Davira gak tega kalau terus-terusan lihat Ibu begini."

"Bapakmu cuma lagi cari pelampiasan aja, Nak. Nanti juga Bapakmu pasti berubah. Atas izin Allah, ibu yakin," kata Rika mencoba meyakinkan anaknya itu.

Rika bisa mengerti kekhawatiran Davira. Sudah beberapa bulan terakhir ini, suaminya memang sudah jarang pulang ke rumah. Jika pun pulang, pasti hanya untuk meminta uang untuk bermain j*di. Rika pun sedih saat tahu suaminya malah kecanduan permainan itu.

Tetapi, sebagai seorang istri yang patuh, yang Rika bisa lakukan adalah mendoakan semoga suaminya lekas sadar dengan perbuatannya. Sudah banyak hal yang Rika lakukan, tapi hasilnya tetap nihil.

Mengabaikan luka batin yang mulai menggerogoti hatinya demi keutuhan rumah tangga yang bahkan Rika pun tak yakin akan bertahan hingga berapa lama.

"Ibu, sampai kapan Ibu terus memaklumi Bapak? Kita gak akan pernah bisa merubah laki-laki, Bu!" kata Davira agak menyentak. "Ma-maaf, Bu. Davira cuma gak mau kalau Ibu terus-terusan diperlakukan begini sama Bapak."

"Sudah, cukup. Ibu akan baik-baik saja di sini, Nak. Kamu bekerja saja dengan giat, lupakan trauma dirimu, ya? Ibu hanya ingin melihat kamu bahagia. Bagi Ibu, semua ini sudah lebih dari cukup."

Setelah mengatakan hal itu, Rika memilih beranjak dari sana dan mulai merapikan kekacauan yang dibuat suaminya. Beberapa barang seperti piring dan gelas kaca pecah dan berserakan di beberapa sudut rumah.

Sementara itu, Davira bergeming duduk di tempatnya. Memikirkan dengan baik apa yang seharusnya ia lakukan. "Sepertinya aku harus ambil cuti selama beberapa hari dari Kinder School," gumamnya.

Terpopuler

Comments

Selina Navy

Selina Navy

ada yg rindu deh tuh

2025-02-25

0

🦆͜͡⍣⃝ꉣꉣᵘᵐᵐᵘᏦ͢ᮉ᳟🤎𝐀⃝🥀●⑅⃝ᷟ◌ͩ

🦆͜͡⍣⃝ꉣꉣᵘᵐᵐᵘᏦ͢ᮉ᳟🤎𝐀⃝🥀●⑅⃝ᷟ◌ͩ

Davira trauma apa ya, semoga bisa segera move on dari hal itu

2025-02-25

1

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

Kasihan sekali Davira,ayahnya kacau

2025-02-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!