MIPPP 08 — Cepat atau Lambat

"Grandmaaa," panggil Zein dengan sedikit berlari memasuki rumah. Wajahnya tampak girang usai menghabiskan waktu bersama ayahnya dan Davira. 

Karina menoleh ke arah datangnya Zein, merentangkan tangan bersiap memeluk sang cucu yang setengah berlari ke arahnya. 

"Wah, Baby Zein habis dari mana, nih? You look so excited," kata Karina dengan senyum lebar menghiasi wajah saat memeluk sang cucu. "Habis jalan-jalan sama papa, ya?" 

Zein menganggukkan kepalanya beberapa kali, kemudian menunjukkan mainan yang dibelikan sang ayah untuknya. Sebuah mobil dengan remote control berwarna merah. 

"Wah keren banget, mobil Zein kayak punya uncle tahu!" sahut Ravindra yang datang dari dapur dengan membawa dua cangkir teh. 

"Uncle! Uncle tahu gak? Zein juga habis jalan-jalan sama Miss Dav, lho! Sama papa juga, seru, deh!" kata Zein dengan riangnya. 

Karina dan Ravindra pun tampak bahagia melihat senyum Zein yang sangat lebar itu. Mereka tak pernah melihat Zein sebahagia itu sebelumnya. 

"Kok uncle gak diajak, sih? Uncle juga mau ikutan tahu," kata Ravindra menggoda Zein. 

"Kau bisa merusak suasana jika ikut dengan kami," cetus Kavindra yang baru saja masuk. Pria itu lantas duduk di sofa, wajahnya tampak lelah namun juga puas bisa menghabiskan waktu berkualitas bersama dengan putranya. 

Sementara Zein mengajak Ravindra untuk bermain mobil remote control barunya, Karina justru menghampiri sang putra sulungnya. Ia sungguh penasaran dengan apa saja yang mereka lakukan. Terutama tentang Davira yang selalu disinggung Zein.

"Mama sangat penasaran dengan sosok Davira yang selalu Zein singgung itu," katanya yang lebih terkesan seperti protes bagi Kavindra. 

Pria itu mengangkat kepala, memandang wajah sang ibu yang teduh. "Miss Davira itu guru di Kinder School tempat Zein sekolah," sahut Kavindra singkat dan datar. 

Karina jadi gemas, bukan jawaban itu yang ia mau. "Mama juga tahu itu!" sentaknya mencubit lengan Kavindra pelan. "Maksud Mama, apakah menurutmu dia cocok jadi ibunya Zein?" 

Kavindra sontak menegakkan punggungnya ketika mendengar pertanyaan sang ibu. "Ma, jangan ikut-ikutan seperti Zein," protesnya tak suka. Menarik napas lelah, Kavindra kembali menyandarkan kepalanya di bantalan sofa. 

Pertemuannya dengan Lauren sungguh membuat pikirannya seperti benang kusut yang sulit diurai. Luka hati yang belum sembuh harus kembali basah saat melihat sosok perempuan yang telah mengkhianatinya itu. 

"Kenapa wajahmu masam begitu? Apa sesuatu telah terjadi?" tanya Karina yang seolah tahu bahwa anaknya tengah dilanda beban pikiran yang besar. 

Kavindra bergeming, ragu-ragu antara haruskah ia mengatakan hal yang menjadi beban pikirannya kepada sang ibu atau seharusnya ia pendam saja sendirian. 

Karina mengusap bahu putranya dengan pelan. "Nak, apa yang terjadi? Sesuatu telah membebani pikiranmu?" tanya Karina lagi dengan penuh kelembutan. Ia sangat tahu kondisi putranya, jika tak terlibat masalah, putranya itu tak akan murung seperti ini. 

Kemudian, Kavindra membenarkan posisi duduknya menjadi tegak, lantas memandang sang ibu dengan tatapan yang sendu. "Aku bertemu dengan Lauren saat di mall." 

Kedua mata Karina membelalak sempurna, "Apa? Kau bertemu Lauren? Lalu? Apa yang terjadi? Apakah dia bertemu dengan Zein? Setelah apa yang dia lakukan, berani sekali dia menemuimu!" 

Kavindra menggeleng pelan, "Tidak, dia tidak menemui Zein. Tapi aku malah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak aku katakan. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, melihatnya lagi langsung membuatku kesal!" 

Dahi Karina mengernyit bingung, "Memangnya apa yang kau katakan pada perempuan itu?" 

"Aku … aku mengatakan kalau Davira adalah ibu baru Zein," jawab Kavindra. Mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan dan merutuki sikapnya yang terlalu sembarangan. 

"Itu bagus! Dengan begitu dia akan langsung sadar posisinya!" pekik Karina girang. Ia malah membayangkan bagaimana ekspresi Lauren saat Kavindra mengatakannya. 

"Perempuan gila harta itu memang harus tahu diri, bagus kalau kau langsung mengatakan hal seperti itu. Dengan begitu, dia tidak akan mengganggumu dan Baby Zein." 

Mendesah berat, Kavindra malah berdiri. "Tidak, Ma. Tidak akan semudah itu bagi Lauren untuk menyerah, dia pasti akan mencari tahu kebenarannya. Dan Mama pasti tahu apa yang sekiranya akan dia lakukan, dia itu perempuan yang nekat!" seru Kavindra dengan serius. 

Raut wajah Karina pun berubah serius, "Ah, iya, kau benar juga. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Duh, Mama jadi cemas kalau begini. Gimana kalau nanti Lauren malah—" 

"Tidak, Ma. Kavindra tidak akan membiarkan dia mendekati Zein. Tapi soal Davira … aku benar-benar tidak tahu bagaimana menghadapinya, belum lagi sikap Zein saat di dekat Davira semakin menjadi-jadi," keluhnya kembali terduduk dengan lemah. 

"Apalagi yang dilakukan cucu Mama? Kok sepertinya akhir-akhir ini Zein semakin aktif, ya? Apalagi kalau membicarakan soal Davira itu." Karina turut berasa heran. 

"Dia bertanya kepada Davira, katanya apakah dia suka sama papanya," jawab Kavindra yang sontak saja membuat Karina tergelak. Bahkan Ravindra yang tak sengaja mendengar percakapan itu pun ikut tertawa. 

"Serius Zein tanya kayak gitu, Kak?" tanya Ravindra seakan tak percaya dengan cerita Kavindra. "Baby Zein memang luar biasa!" 

"Sepertinya kau harus mempertimbangkan Davira untuk sungguhan menjadi ibu pengganti bagi Zein. Feeling anak-anak itu sangat kuat, lho." 

Pernyataan Karina pun turut disetujui oleh Ravindra. Ia tampaknya bersemangat sekali jika memiliki ipar seperti Davira. "Mama benar, kalau Zein sudah merasa nyaman kenapa tidak langsung dipinang saja?" 

"Kau pikir semudah itu meminang seorang perempuan, Rav?" sinis Kavindra menatap tajam sang adik. 

"Lagipula, aku tidak tahu apa-apa tentangnya, setidaknya biarkan aku mendekatinya secara perlahan dulu, kalian ini selalu saja semangat kalau soal menjodohkan aku," protes Kavindra yang malah disambut gelak tawa dari ibu dan adiknya. 

"Kau ingin aku membantumu, Kak? Jika kau mengizinkan, aku pasti akan mencari segala informasi tentang gurunya Zein itu, bagaimana?" tawar Ravindra sambil menaik-turunkan alisnya beberapa kali. 

Kavindra berdiri lalu berkata, "Tidak usah! Jangan terlalu berharap banyak padaku kali ini, lagipula bisa saja Miss Davira itu sudah berkeluarga. Hentikan obrolan ini sekarang juga," katanya tegas lalu mulai melangkah pergi. 

"Kenapa kakakmu itu tidak bisa belajar mendekati perempuan darimu, ya, Rav? Seandainya dia belajar, dia mungkin sudah dapat menemukan ibu untuk Zein," ujar Karina yang terdengar seperti sindiran bagi Ravindra. 

"Mama tenang aja, anakmu yang satu ini pasti akan melakukan apa yang seharusnya dilakukan, cepat atau lambat, kakak pasti akan berterima kasih padaku," kata Kavindra dengan percaya dirinya. Setelahnya, ia langsung berlari ke kamarnya untuk melakukan sesuatu. 

"Entah apa yang akan dilakukan anak itu?" gumam Karina bingung. "Apapun yang dia lakukan, semoga membawa kebahagiaan untuk keluarga kami." 

Terpopuler

Comments

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

Aamiin 🤲

2025-02-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!