MIPPP 06 — Terharu

Kavindra mengendarai mobilnya secepat yang ia bisa setelah mendapat panggilan telepon dari guru anaknya perihal Zein yang terluka. 

Mengabaikan pekerjaannya untuk sementara, Kavindra bergegas mendatangi Kinder School. Setelah melapor pada satpam, ia langsung menemui Miss Davira di ruangannya.

Pintu diketuk, Davira yang semula fokus menatap layar laptopnya jadi menaikkan pandangan, melihat siapa yang berada di depan pintu kaca tembus pandang itu, Davira tersenyum dan beranjak membuka pintu.

"Selamat siang, Miss. Maaf saya terlambat!" kata Kavindra sedikit menunduk tak enak hati. Davira mengangguk dan mempersilahkan Kavindra untuk masuk.

"Terimakasih Pak Kavindra sudah memenuhi undangan saya, silahkan duduk."

Setelah meminta pihak kantin membawakan dua cangkir minuman dingin, Davira dengan senang hati mempersilahkan Kavindra untuk minum.

"Maaf, jika saya mengganggu waktu Pak Kavindra. Begini, Pak, selain ingin memberitahu bahwa Zein terluka, ada hal lain yang ingin saya tanyakan juga. Itupun jika Pak Kavindra tak keberatan," kata Davira sedikit tak enak hati.

"Ya, Miss, silakan saja," kata Kavindra sambil melirik Zein yang duduk tak jauh dari mereka sekilas. Entah apa yang diperbuat anak itu lagi, pikir Kavindra. 

Davira mengatur napas dan berusaha bersikap profesional. "Sejak awal masuk, Zein selalu menyinggung tentang ibunya, jika boleh saya tahu, ibunya Zein apakah?" pertanyaan Davira menggantung tatkala mendapati ekspresi wajah Kavindra yang berubah kalut.

"Ma-maaf, Pak, jika saya lancang." Davira jadi salah tingkah, takut pertanyaannya sudah melewati batas. 

"Tidak apa-apa, Miss. Memang seharusnya saya memberitahukan pihak sekolah terutama Miss sebagai pendidik Zein. Saya juga minta maaf sebelumnya jika Zein bertingkah kurang sopan," ucap Kavindra setelah mengatur gemuruh yang tiba-tiba muncul di hatinya.

Ada perasaan kesal dan enggan untuk menceritakan perihal rumah tangganya yang kandas di tengah jalan, tapi mau bagaimana pun Kavindra harus menceritakannya agar tak ada kesalahpahaman. 

Apalagi Zein sedang dalam masa-masa aktif untuk bertanya dan mencari tahu. Sebenarnya, Kavindra sudah menduga hal ini akan terjadi ketika ia mendengar Zein meminta Miss Davira jadi ibunya.

Kavindra menegakkan punggungnya, membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman. Menarik napas dalam dan mengatur nada bicaranya agar terdengar setenang mungkin. 

"Saya dan ibunya Zein berpisah saat Zein masih berusia satu tahun, Miss. Pasca kami berpisah, ibunya jarang menemui Zein, untuk itu Zein tak pernah tahu dan tak pernah melihat ibunya," jelas Kavindra yang mengundang iba di hati Davira.

Ada bagian dari diri Davira yang merasa marah saat tahu ada seorang ibu yang bisa mengabaikan anaknya. Bagaimana bisa seorang ibu mengabaikan anak yang dikandungnya? Di mana hatinya? 

Kasihan sekali Zein. Ujung matanya melirik Zein yang asik bermain flash card. Tanpa sadar, Davira tersenyum saat melihat ke arah Zein.

Hal itu tak luput dari pandangan Kavindra. Ia tahu pasti tatapan yang diberikan Davira pada Zein bukanlah tatapan biasa, melainkan tatapan penuh kasih seorang Ibu. 

Tetapi ditepisnya pikiran itu jauh-jauh, Davira adalah seorang pendidik, guru anak-anak, sudah pasti tatapannya begitu lembut pada semua anak, bukan hanya pada Zein saja.

Setelah mengakhiri sesi bicara empat mata itu, Kavindra pamit undur diri sebab masih ada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Zein tampak enggan melepas tautan jemari Davira, tetapi setelah dibujuk akhirnya ia mau pulang juga.

Kavindra pun tampak heran dengan sikap Zein dua hari terakhir yang tampaknya lebih menempel pada gurunya ketimbang dirinya sendiri.

"Oh, ya, Pak Kavindra," panggil Davira lagi sebelum Kavindra memasuki mobilnya.

"Ya, Miss?"

"Sebentar lagi ada acara hari ibu, semua wali murid diundang untuk menghadiri acaranya. Jika Pak Kavindra tidak keberatan, saya bisa menggantikan ibunya Zein dalam acara tahunan sekolah nanti," kata Davira  menawarkan diri, entah karena apa ia memiliki inisiatif seperti itu.

Kavindra tampak terkejut namun sedetik kemudian ia mengangguk. "Oh, ya, baik Miss. Terimakasih, saya sangat senang, Zein juga pasti bahagia. Mohon bantuannya, ya," ucap Kavindra seraya menundukkan sedikit kepalanya, menghormati Davira.

Setelah itu, mobil Kavindra menjauhi pandangan mata Davira. Melesat cepat di jalanan. Sedangkan Davira langsung kembali ke ruangannya, hendak menyiapkan acara tahunan Kinder School.

•••

Suasana Kinder School pada perayaan hati ibu pagi itu cukup ramai, para siswa diantar ibu memasuki area sekolah. Dari gerbang hingga ke aula, ruang kelas juga taman bermain telah dihias dengan berbagai hiasan untuk menyambut hari ibu. Spanduk bertuliskan Happy Mother's Day membentang lebar di depan gerbang.

Mobil Kavindra terparkir di samping kanan gerbang, ragu untuk melajukan mobilnya untuk masuk. Zein tampak masam dan tertunduk bisu. Sejak sarapan pagi, Zein seolah mengunci mulutnya rapat-rapat bahkan ketika Kavindra bertanya pun diabaikannya.

Kavindra sendiri menyugar rambutnya sedikit frustasi menghadapi Zein. "Zein, come on," bujuk Kavindra lagi meminta Zein untuk masuk. 

Tetapi, lagi-lagi Zein menggeleng keras. Merasa putus asa, Kavindra akhirnya memilih menelepon Davira, tampaknya hanya Miss favorite Zein yang hanya bisa membujuk anak kecil nan lugu itu.

Lima belas menit kemudian, Davira tampak berjalan mendekati mobil yang terparkir di samping kanan gerbang. Tangan lentiknya mengetuk-ngetuk kaca jendela pelan. Saat itu, barulah Zein bersorak.

"Miss Davira!" seru Zein girang. "Buka pintunya Papa!" serunya girang. Pintu mobil dibuka, Zein langsung sumringah begitu melihat Davira. 

"Miss!" teriaknya hendak memeluk Davira. Tetapi, begitu teringat kalau hari ini adalah hari dimana anak-anak menggandeng lengan ibunya, Zein urung untuk turun. 

Kening Davira berkerut halus kemudian menoleh kepada Kavindra yang masih setia di depan kemudinya seolah meminta penjelasan atas sikapnya Zein.

Kavindra memberi isyarat yang langsung dipahami Davira. Perempuan itu mengusap lembut pipi Zein, kemudian sedikit membungkukkan badan agar bisa bersitatap dengan Zein.

"Zein, ikut Miss ke aula, yuk? Teman-teman yang lain sudah nunggu Zein, lho." Davira membujuk dengan lembut.

"Iya, Zein, kasihan teman-temannya pasti menunggu Zein," tambah Kavindra. Tapi Zein tetap menggeleng kuat.

"Papa tidak akan mengerti, anak-anak yang lain punya ibu, tapi Zein tidak punya!" teriak Zein. 

Amarah Zein jelas membuat Kavindra dan Davira tersentak. Air muka Kavindra memerah, rahangnya mengetat, agaknya ia marah dengan tingkah Zein yang berubah menjengkelkan menurutnya. 

Namun, baru saja ia hendak membuka mulut tapi tertahan oleh isyarat Davira.

Lagi-lagi, Davira mengusap pipi Zein lalu berpindah ke kepala, mengusap rambutnya pelan. "Kok Zein bicara begitu, sih? Kan ada Miss. Miss Davira bisa kok jadi Mama Zein," kata Davira lagi membujuk.

Entah mengapa, mendengar nada lembut dan membujuk Davira membuat hati Kavindra berdesir hangat. Davira jelas seorang figur ibu yang baik, tapi ... cepat-cepat Kavindra menepis pikiran konyolnya. Ia lihat Zein tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Benaran ya Miss mau?" tanya Zein memastikan. Davira hanya mengangguk. Zein beralih pada Kavindra, "Papa! Ayo kita masuk!" serunya kembali bersemangat.

Setelah memarkir mobilnya, Kavindra menyusul Zein dan Davira menuju aula utama. Ketiganya bergandengan tangan layaknya keluarga bahagia. 

Beberapa pasang mata sempat mencuri pandang pada ketiganya. Kavindra tampak santai, begitu pula Zein yang riang gembira. Namun, hal berbeda justru dirasakan Davira. Hatinya getir, kepalanya dipenuhi dengan kata seandainya dan seandainya.

Acara hari itu berjalan lancar. Dimulai dengan acara pembukaan lalu persembahan nyanyian dan tarian dari anak-anak Kinder School hang kemudian dilanjutkan dengan mini games dan acara utama membasuh kaki ibu yang berlangsung haru.

Zein dan Davira tampak kompak, meski tak pernah memeluk dekap kasih ibu kandungnya tetapi Zein sudah sangat tahu bagaimana cara menghormati dan mengasihi seorang ibu. Bahkan tanpa perlu dibantu, Zein menyelesaikan kegiatan membasuh kaki Davira hingga bersih.

Surga berada di telapak kaki Ibu, begitu kata sang pembawa acara. Zein begitu serius mencuci dan membasuh kaki Davira seolah Davira adalah ibunya, surganya ada di telapak kaki perempuan yang menjadi gurunya. 

Hal itu pun tak luput dari pengamatan Kavindra. Jujur saja, ia merasa tersentuh saat melihat kedekatan kedua orang itu. Ia tak pernah melihat mantan istrinya memperlakukan Zein selembut Davira. 

Kemudian, acara hari ibu itu ditutup dengan doa dan makan bersama. Kavindra memilih melewatkan acara makan bersama itu sebab tak biasa berada dalam kerumunan. Zein dan Davira pun setuju.

"Miss, terimakasih, ya, sudah membantu saya," ujarnya kepada Davira saat mereka berjalan meninggalkan aula.

Tersenyum manis, Davira mengangguk. "Bukan hal besar, kok, Pak Kavindra. Senang juga bisa membantu."

"Papa! Papa!" panggil Zein antusias.

"Ya, Zein?"

"Sebagai ucapan terimakasih, ayo kita ajak jalan-jalan Miss Davira, Pa!" usul Zein. Keduanya menoleh bersamaan. 

"Bagaimana, Miss?" 

Terpopuler

Comments

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

setuju 👍

2025-02-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!