Langkah kecil Zein memijak lantai marmer dengan sedikit kuat. Mengundang tanya dari dua orang yang tengah duduk di ruang tamu. Pasalnya, Zein bergerak menuju kamarnya alih-alih mengapa sang nenek dan pamannya.
"Zein sudah pulang?" tanya Karina, menghentikan langkah cucu laki-lakinya.
Ia beranjak dari kegiatannya membaca majalah dan menghampiri sang cucu. Begitu juga dengan Ravindra, sang paman yang menjadi penyebab Zein terkena makian Kavindra sepanjang perjalanan.
Zein menatap nenek dan pamannya bergantian. "Semuanya gara-gara uncle tahu!" seru Zein menunjuk Ravindra yang tampak bingung mendapat tuduhan tersebut.
"Hah? Kenapa nih? Kenapa tiba-tiba jadi uncle yang terdakwa?" tanyanya bingung.
Raut wajah Karina juga berubah bingung saat Zein melipat kedua tangannya di depan dada. Ekspresi Zein terlihat kesal.
Namun, tingkah Zein itu justru mengundang tawa gemas dari Karina dan Ravindra,
"Father's copied!" seru Ravindra tertawa renyah diselingi cubitan kecil pada pipi Zein.
"Uncle! Don't touch me!" protes Zein mengerucutkan bibirnya ke depan dan memasang raut wajah tak suka. Zein tidak suka jika seseorang mencubit pipinya seperti yang Ravindra lakukan.
Bersamaan dengan itu, Kavindra baru saja masuk. Ia menatap ketiga orang itu bergantian. Matanya kemudian beralih menatap Zein lama.
"Zein, pergi ke kamar dan belajar," titah Kavindra yang langsung mendapat tatapan tajam sang ibu.
Namun, perempuan setengah baya itu tak bisa melakukan apa-apa selain menyusul Zein yang sudah berlari ke kamarnya secepat kilat.
"Zein! Jangan lari-lari!" teriak Karina seraya menyusul langkah anak kecil itu.
Sementara itu, Ravindra tampak kikuk saat kakaknya memandangnya lama. Pria berusia dua puluh lima tahun itu menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal. "Aku juga harus ke kamar, Kak."
"Berdiri di sana, Ravindra!" interupsi Kavindra sontak membuat laki-laki itu menghentikan langkahnya. Ragu-ragu ia berbalik, kembali menghadap Kavindra yang hanya berjarak beberapa langkah darinya.
"Duduk di sana, ada hal penting yang ingin kubicarakan," kata Kavindra lagi, kali ini dengan memerintah.
Mau tak mau, Ravindra pun terduduk di sofa panjang yang tadi didudukinya dengan sang ibu. Menunggu sang kakak membicarakan hal yang katanya penting itu.
Atmosfer di ruangan itu mendadak terasa pengap dan menegangkan bagi Ravindra. Sorot mata Kavindra yang menatapnya tajam jelas membuat pria itu merasa kikuk sendiri.
"Salahku apa ya, Kak?" tanya Ravindra akhirnya tak kuasa dipandangi begitu lama. Apalagi dengan sorot mata tajam bak elang dari kakaknya.
Kavindra mendelik, "Kau sungguh tidak tahu apa salahmu, Rav?" Kavindra justru bertanya kembali.
Pria yang berbeda 7 tahun dari Kavindra itu tampak berpikir dengan sambil menopang dagu, mengundang decak sebal dari Kavindra.
"Apa yang kau ajarkan pada Zein?" tanya Kavindra lagi. "Apa kau tahu konsekuensi dari ucapanmu itu, Rav?" todong Kavindra, membuat adik laki-lakinya itu kesulitan menjawab.
Setelah beberapa lama berpikir, pria itu akhirnya tahu alasan mengapa sang kakak tampak kesal kepadanya. Ravindra pun merutuki dirinya sendiri.
"Maaf, Kak! Aku cuma kasihan sama Baby Zein, lho. Lagipula apa salahnya kalau Zein punya Ibu sambung, Kak? Bagaimana pun Zein itu masih kecil, dia juga butuh kasih sayang seorang ibu," celoteh Ravin panjang.
Kavin tampak lelah, ia memijit tulang di antara kedua alisnya. Kemudian menghela napas panjang. "Aku tahu dan aku mengerti, tapi apa kau tahu apa yang dilakukan Zein di hari pertamanya sekolah, Rav?"
Ravindra menggeleng pelan, bagaimana ia bisa tahu jika tidak ada yang memberitahunya? Lagipula, apa yang bisa anak sekecil itu lakukan? Tidak mungkin juga kalau Zein mengikuti apa yang Ia ucapkan tadi pagi.
Kavindra tampak menghela napasnya lelah. "Dia meminta gurunya sendiri jadi ibunya, Ravindra!" kata Kavindra yang membuat adik laki-lakinya itu terkejut bukan main.
"Apa? T-tapi itu tak mungkin, Kak!" sangkal Ravin tak percaya. "Mana mungkin Baby Zein kita yang lucu bisa selugas itu?" tanyanya makin tak percaya jika mengingat sifat Zein yang tampak penurut dan patuh itu.
Kavindra bangkit dari duduknya. "Kalau kamu tidak percaya, tanyakan sendiri pada Zein dan untuk hukumannya, kau harus mengantar dan menjemput Zein besok!" cetus Kavindra tegas. Ia kembali memakai jasnya dan berjalan keluar rumah.
"Kok aku jadi penasaran, ya? Masa, sih, Zein seberani itu? Aku harus memastikannya besok!" gumam Ravindra selepas kakaknya pergi meninggalkan rumah untuk kembali ke kantornya.
•••
Keesokan harinya, Ravin mengikuti perintah Kavindra untuk mengantar jemput Zein. Seperti yang biasa ia lihat, Zein adalah tipe anak yang ceria, supel dan aktif. Dan harus Ravin akui bahwa Zein tipikal anak yang terus terang saat berbicara.
Ravin mengikuti Zein yang berjalan sambil bersenandung kecil menyanyikan nada-nada lagu pagiku cerahku, lagu khas anak-anak yang baru dihafalnya kemarin.
Kacamata hitam yang menutupi mata Ravin mengundang beberapa pasang mata. Guru-guru muda yang melihatnya tampak terpesona.
"Uncle, kelas Zein di sini," kata Zein saat tiba di depan kelasnya. Ravin melepas kacamata hitamnya dan melihat sekilas ke dalam ruang kelas itu kemudian berbalik dan berjongkok di depan Zein.
"Kelasnya Zein bagus banget," puji Ravin tulus. "Kemarin, your daddy tell me kalau Zein punya guru baru, siapa namanya?" tanya Ravin penasaran dengan sosok guru yang mengajar Zein itu.
Kening Zein berkerut kecil. "Papa bilang apa sama uncle?" Zein balik bertanya. Mendengar itu, Ravin menepuk keningnya sendiri.
"Nothing, your dad just tell me ... Your teacher are sooo beautiful, uncle jadi penasaran," kata Ravin sumringah, berharap dengan itu, Zein mau memberitahunya.
"Miss Davira!" pekik Zein bahagia melihat kehadiran Davira di sana.
Perempuan dengan hijab biru muda itu tersenyum manis. Ravin yang semula berjongkok lantas langsung berdiri terkesima dengan sosok perempuan yang dilihatnya itu.
"Good morning, Miss!" seru Zein dengan senyum menghias wajahnya yang lucu.
Ravin tampak kikuk sendiri ketika melihat Davira tersenyum pada Zein. Tak ayal, ia pun jadi ikut terpesona dengan kecantikan guru baru Zein itu.
"Good morning, Zein. Hari ini Zein diantar siapa?" tanya Davira mempertanyakan sosok lelaki tinggi di samping Zein. Pria itu tampaknya bukan ayah Zein namun cukup mirip dengan Kavindra.
Ravin kemudian tersenyum dan memperkenalkan dirinya sendiri sebagai paman Zein. "Ravindra, uncle Zein."
Davira mengangguk mengerti, "Ah, pamannya Zein, ya." Menatap Ravindra sekilas, Davira kembali menatap Zein.
Ravindra tersenyum-senyum sendiri. Jika ia belum memiliki kekasih, Ravindra yakin sekali bahwa ia akan meminta Miss Davira untuk menjadi kekasihnya.
Setelah itu, Davira mengajak Zein untuk masuk ke kelas. Ravin pun tampak kecewa saat keduanya pergi. Wajahnya berbinar dan tiba-tiba, sebuah pemikiran terlintas di kepalanya.
"Pantas saja Zein langsung minta Miss Davira itu jadi ibunya, selain cantik dan berkharisma, Miss Davira juga terlihat penyayang dan keibuan. Aish, si Kavindra itu matanya disimpan di mana, sih?" gumamnya seraya berjalan menjauh dari depan kelas Zein.
Senyumnya tersungging, "Calon ibu untuk Zein," gumamnya seraya mengenakan kembali kacamata hitam miliknya. "Harus bilang Mama dengan segera, nih. Perempuan secantik Miss Davira jangan sampai kecantol pria lain!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
🦆͜͡⍣⃝ꉣꉣᵘᵐᵐᵘᏦ͢ᮉ᳟🤎𝐀⃝🥀●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Zein kamu di dukung uncle mu lho, semangat ya biar Pama mu dan Miss Davira jadian
2025-02-19
1
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
nah loh 🤣
2025-02-27
1