Suara deburan ombak perlahan mengisi malam yang sunyi. Langit gelap tanpa bintang, hanya sinar lampu dari kapal nelayan yang terlihat di kejauhan. Seorang gadis bernama Naira berdiri di tepi pantai, pandangannya kosong menatap ke arah laut. Angin malam mengacak-acak rambutnya, namun hal itu tak ia pedulikan. Langkah kaki seseorang mendekat, pelan tapi pasti.
“Sedang menunggu seseorang?” Suara lembut seorang pria memecah kesunyian.
Naira menoleh sedikit lalu mengangguk. “Iya. Tapi mungkin dia tak akan kembali...”
Pria itu, Serafim, tersenyum kecil. Wajahnya tampak bersahaja dan matanya menyiratkan kedamaian.
“Aku bisa menunggu bersamamu, kalau kau mau.”
Naira memandang Serafim sejenak. Terdapat sesuatu dalam diri Serafim yang membuatnya merasa nyaman, meski mereka baru bertemu. Ia pun mengangguk.
Mereka duduk di atas batu besar, memandangi laut yang tak bertepi. Naira mulai bercerita, suaranya dipenuhi kesedihan.
“Sahabatku, Amara, hilang. Sudah beberapa hari aku mencoba mencarinya, tapi tak ada kabar. Dia seorang anak yatim piatu dan tak punya siapa-siapa. Aku... aku bahkan tak tahu harus mencarinya ke mana.”
Serafim mengangguk pelan. “Apa kau punya fotonya? Aku akan membantumu mencari.”
Naira mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto seorang wanita muda dengan senyum yang manis.
“Ini Amara. Dia orang yang paling berharga dalam hidupku.”
Pria itu mengamati foto itu dengan seksama.
“Baiklah, mari kita mulai mencari.”
Keesokan harinya, mereka memulai pencarian di tempat yang sering Naira dan Amara kunjungi bersama.
Lokasi pertama adalah sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat favorit mereka untuk menghabiskan sore dengan berbagi cerita.
“Permisi,” ujar Naira kepada salah satu pelayan.
“Apakah kalian melihat wanita ini? Namanya Amara.” Dia menunjukkan foto Amara di ponselnya.
Pelayan itu mengernyit sejenak.
“Oh ya, saya ingat wanita ini. Rasanya sudah lama dia tidak ke sini. Terakhir kali mungkin dua atau tiga minggu lalu.”
Naira tampak kecewa.
“Ah, baiklah. Ngomong – ngomong apakah dia mengatakan sesuatu saat itu?”
Pelayan menggeleng. “Maaf, saya tidak ingat.”
Mereka keluar dari kafe dengan perasaan hampa. Serafim menatap Naira, ia mencoba menyemangatinya.
“Jangan menyerah. Masih banyak tempat lain yang bisa kita periksa.”
Tujuan berikutnya adalah taman kota. Tempat itu adalah lokasi rutin yang Naira dan Amara kunjungi untuk jogging setiap akhir pekan.
Naira berjalan perlahan di sepanjang jalur jogging, ia memandangi setiap sudut taman dengan penuh harap.
“Amara sangat suka tempat ini. Dia pernah bilang bila taman ini membuatnya merasa damai.”
Serafim hanya terdiam dan mengikuti arah langkah Naira. Mereka berhenti di bangku tempat biasa Naira dan Amara duduk setelah jogging. Naira duduk di sana, ia memejamkan mata dan mencoba mengingat saat-saat mereka tertawa bersama.
“Menurutmu, apakah dia masih di sekitar sini?” tanya Naira lirih.
Serafim duduk di sampingnya. “Aku tidak tahu pasti. Tapi Amara meninggalkan banyak jejak di hati mu. Kita hanya perlu menemukannya.”
Naira memandang Serafim, pancaran matanya menunjukkan sebuah harapan yang dia sendiri tidak tau apakah bisa tercapai.
Matahari mulai turun ke pusaran barat ketika mereka tiba di warung makan kecil, tempat favorit Amara untuk menikmati masakan rumahan.
Ibu penjual di sana menyambut mereka dengan ramah.
“Oh, Naira! Lama tidak kelihatan. Kamu dengan siapa? Amara mana?”
Naira menggeleng. “Aku bersama temanku bu, Amara tidak bersamaku. Aku kesini untuk bertanya bu. Apakah beberapa minggu lalu Amara ke sini? Sahabat saya itu... menghilang entah kemana.”
Ibu penjual tampak berpikir sejenak. “Em Amara ya? Oh iya, dia sempat ke sini beberapa minggu lalu. Waktu itu dia mengatakan sesuatu yang aneh... katanya dia akan merindukan masakan saya.”
Naira menahan napas. “Merindukan? Apa dia bilang mau pergi ke suatu tempat?”
“Tidak, tapi rasanya dia terlihat sedih waktu itu. Aku sempat bertanya, tapi dia hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih untuk semua masakan yang saya sajikan, ia bisa merasakan masakan rumah yang tidak bisa ia dapatkan.”
Naira menggigit bibirnya. “Kapan tepatnya dia ke sini, Bu?”
Ibu penjual mengingat-ingat. “Mungkin seminggu yang lalu.”
Naira membeku, matanya melebar. “Seminggu lalu? Itu hari sebelum aku menjalankan operasi.”
Serafim menatapnya. “Memangnya ada apa, Naira?”
Naira memandang Serafim dengan mata yang berbinar binar menahan air mata .
-
Setahun lalu, Naira dan Amara tengah berjalan pulang setelah makan malam bersama di warung itu. Jalanan kota yang biasanya ramai sudah mulai lengang. Naira ingat mereka bercanda tawa sepanjang jalan.
“Kalau suatu hari aku nggak ada, kamu bakal tetap ingat aku kan?” tanya Amara tiba-tiba.
Naira tertawa kecil. “Apa sih? Tentu saja aku nggak bakal lupa! Kita ini kan seperti saudara kembar.”
Amara tersenyum, tapi senyum itu terasa berbeda, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Sebelum Naira sempat bertanya lebih lanjut, mereka tiba di persimpangan jalan.
Lampu lalu lintas terlihat menyala merah, tapi sebuah mobil melaju sangat kencang tanpa memperlambat laju. Saat itu, Naira berdiri di tepi jalan, menoleh ke arah Amara yang masih menyeberang.
Semuanya terjadi begitu cepat.
Suara klakson yang terdengar mencekam, teriakan panik, dan hantaman keras memenuhi udara. Mobil itu menabrak Naira yang berdiri di tepi jalan, tubuhnya terpental beberapa meter sebelum jatuh di panasnya aspal.
“Naira!”
Amara berlari ke arahnya, air mata membanjiri wajahnya.
“Tolong! Bantu kami!”
Malam itu, Naira hanya samar-samar mengingat Amara menggenggam tangannya, suaranya yang bergetar penuh ketakutan.
“Kau akan baik-baik saja. Aku janji, kau akan baik-baik saja!”
-
Serafim berdiri di samping Naira, tatapannya mengarah ke langit malam.
“Mungkin kau akan menemukan jawabannya di tempat lain. Kita masih punya banyak tempat untuk mencari.”
Dengan hati yang berat, Naira mengikuti langkah Serafim keluar dari warung.
Mereka pergi ke pasar, ya, tujuan selanjutnya adalah tempat Amara biasa membeli kebutuhan sehari-hari.
Di salah satu kios sayur, seorang pedagang mengenali nama Amara.
“Oh, Amara yang sering beli di sini? Iya, dia sudah lama tidak ke pasar. Tapi dia menjatuhkan dompet ini beberapa minggu lalu.”
Naira menerima dan membuka dompet itu. Di dalamnya ada foto kecil mereka berdua, secarik kertas dengan jadwal pemeriksaan medis dan surat keterangan dari dokter.
Naira terkejut, tangannya gemetar saat membaca surat itu. Surat itu menyatakan bahwa Amara mengidap kanker stadium akhir yang sudah tidak bisa diobati.
Naira mengusap wajahnya, air mata mulai mengalir deras. “Aku pikir... aku sudah kehilangan segalanya waktu itu. Aku telah dinyatakan buta, Amara yang selalu ada untukku. Aku bahkan tidak bisa berjalan untuk waktu yang lama.”
Serafim mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Tapi kau di sini sekarang, Naira. Kau sudah melewati semua itu. Dan Amara, dia tetap ada untukmu, bukan?”
Naira mengangguk, suaranya bergetar. “Dia selalu di sana. Dia yang mengantarku ke dokter, dia yang memastikan aku tidak menyerah. Dia bahkan yang selalu menjagaku dan memastikan aku tidak sendirian. Bahkan dia ada disaat aku menerima kabar mengenai donor mata yang dapat mengembalikan penglihatanku.”
Serafim tersenyum lembut. “Itu karena dia mencintaimu dengan cara yang tidak banyak orang pahami. Dan sekarang, dia ingin kau melanjutkan hidupmu.”
Naira menatap Serafim. “Tapi kenapa dia tidak pernah bilang apa-apa? Kalau dia sakit, kalau dia sedang menghadapi sesuatu yang sangat berat... kenapa aku tidak tahu?”
Serafim menyentuh bahunya. “Kita harus menemui dokter ini. Dia mungkin tahu lebih banyak.”
Mereka pergi ke rumah sakit yang tertera dalam surat itu. Namun, dokter itu sulit untuk ditemui sehingga mereka terpaksa mencari rumahnya.
Dengan penuh perjuangan Naira dan Serafim akhirnya menemukan rumah dokter tersebut. Dan ketika bertemu, dokter itu memberikan kabar yang menghancurkan hati Naira.
“Kamu Naira? Sahabat Amara?” tanya dokter itu.
“Benar dok. Dok, sebenarnya keberadaan saya kesini untuk menanyakan dimana Amara sekarang berada.”ungkap Naira.
“Amara adalah salah satu pasien saya.” jawab dokter itu.
“Dia sakit keras dok, dia tidak mungkin pergi terlalu jauh. Dokter pasti tau keberadaan Amara dimana.”ucap Naira lagi.
“Maaf Naira, mungkin ini akan menjadi berita yang cukup berat untukmu. Amara telah tiada. Dia tahu hidupnya tidak lama lagi karena kanker yang dideritanya. Dia telah bertahan sangat baik. Sebelum meninggal, dia merengek memohon untuk mendonorkan matanya kepada seseorang yang sangat berarti baginya. Di akhir hidupnya, dia ingin meninggalkan sesuatu yang berarti. Itu kamu, bukan?”jelas Dokter.
Naira tertunduk lemas, air matanya mengalir sangat deras. “Jadi... mataku ini...”
Dokter mengangguk pelan. “Dia ingin kau bisa melihat dunia dengan matanya,” lanjutnya. “Ini surat terakhir darinya. Dia memintaku untuk memberikannya padamu.”
Setelah itu, Naira mengunjungi lokasi kremasi sahabatnya. Di tempat itu, dia menangis tersedu-sedu, mencurahkan semua rasa sakit dan kehilangan yang menggelayuti hatinya.
Serafim yang menemani hanya bisa memeluknya, memberinya kekuatan untuk menghadapi kenyataan pahit itu.
Beberapa hari setelah hari itu, Serafim menyarankan Naira untuk membaca surat dari Amara. Naira berada di tempat dia dan Amara sering datang, dengan pemandangan lampu – lampu indah yang terpancar dari jembatan gantung.
Naira membaca surat itu, isi surat itu penuh cinta dan harapan. Amara meminta Naira untuk tidak menyerah pada hidupnya.
...‘Untuk sahabatku yang paling berharga,...
...Jika kau membaca surat ini, itu artinya aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Maafkan aku karena tidak pernah memberitahumu tentang penyakitku....
...Aku tidak ingin membuatmu sedih. Selama ini aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Dan sekarang, aku bisa pergi dengan tenang, karena aku tahu kau bisa melihat dunia dengan mataku....
...Jangan pernah putus asa. Hiduplah dengan bahagia, untukku. Aku selalu ada bersamamu, meskipun kau tidak bisa melihatku....
...Sahabatmu,...
...Amara.’...
Naira menangis terisak-isak. Serafim mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Naira.
“Dia menyayangimu lebih dari yang kau tahu. Dia ingin kau terus hidup dan bahagia.”
Dalam sekejap Serafim berubah menjadi sosok yang berbeda, sayap besar yang bercahaya muncul dari punggungnya dan menyinari malam yang gelap. Naira terpana.
“Kau... siapa kau sebenarnya?”
“Aku adalah serafim. Ada seorang wanita muda yang memohon padaku untuk membantumu melewati masa tersulit ini.”
Serafim itu mengulurkan tangannya lalu menunjukkan gambaran memori Amara: perjuangannya melawan kanker, usahanya untuk tetap terlihat kuat, dan pengorbanannya untuk mendonorkan matanya.
“Amara berharap pengorbanannya tidak akan sia-sia. Jangan pernah menyerah pada hidupmu. Kau harus terus berjalan, demi dia. Ingat! Dia selalu bersamamu, melalui setiap langkah yang kau ambil”
Naira mengangguk dan mengusap air matanya yang mengalir deras.
“Terima kasih... Amara. Dan terima kasih... untuk semuanya. Aku janji akan melanjutkan hidup ini dengan baik, untukku dan untuk Amara.”
Hari-hari berlalu dan Naira menjalani hidupnya dengan penuh semangat. Di setiap langkahnya, ia merasa Amara selalu ada di dekatnya, melihat dunia melalui matanya. Kenangan bersama sahabatnya tidak pernah pudar, menjadi pengingat bahwa cinta dan pengorbanan sejati tidak pernah hilang.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments