Diluar jendela langit tampak mendung dan gelap gulita, sama halnya dengan hati Nadia saat ini. Hujan yang turun deras seakan mengetuk kaca dengan ritme yang menyayat telinga. Nadia duduk di kursi kayu reyot di ruang makan yang kecil sambil memeluk lututnya. Matanya menatap kosong ke kalender di dinding rumahnya.
Lingkaran merah pada tanggal itu hampir pudar walau ia tahu persis apa artinya: tiga tahun sejak ibunya meninggal.
"Kenapa harus hari ini, Bu? Kenapa hari ulang tahunku menjadi hari kepergianmu?" gumamnya dengan suara yang nyaris tenggelam oleh hujan.
Tak ada suara lain di rumah itu selain detak jam dinding dan suara hujan yang tak berkesudahan. Terlihat meja makan di depannya kosong dan tak ada kue, lilin, atau ucapan selamat ulang tahun untuknya. Hanya terlihat piring bekas makan pagi ayahnya dan remah roti yang berserakan.
Nadia menarik napas dalam-dalam dan berusaha menahan tangis. Ia merasa marah, namun ternyata lebih dari itu, ya, ia sangat terluka.
‘ayah pasti lupa’ pikirnya, meskipun ia tahu bahwa itu bukan hal baru. Ayahnya selalu lupa segala hal yang berkaitan dengannya dari ulang tahun, acara sekolah, atau bahkan sekadar bertanya bagaimana harinya dan keadaannya.
Semenjak ibunya meninggal, ayahnya seolah menjadi orang yang sangat asing. Ayah Nadia, Pak Arman, lebih sering di bengkel daripada di rumah dengan menghabiskan waktu bersama mesin-mesin tua yang menurut Nadia lebih menarik baginya daripada anak perempuannya sendiri.
“Ayah lebih peduli sama baut-baut itu daripada aku,” gumamnya dengan getir.
Tepat saat ia berpikir demikian, pintu depan berderit. Nadia mendongak, ia berharap ayahnya masuk dengan membawa kue atau hadiah kecil—mungkin sebuah kejutan kecil. Namun yang ia lihat hanya sosok pria paruh baya dengan baju penuh noda minyak yang menggantungkan jaketnya yang basah di dekat pintu.
“Udah makan?” tanya Pak Arman singkat, tanpa melihat Nadia.
Nadia tidak menjawab dan hanya diam, membiarkan keheningan berbicara untuknya. Pak Arman pun tidak menunggu jawaban dan melanjutkan langkahnya ke dapur untuk mengambil segelas air, lalu duduk di kursi yang sama sekali tidak menghadap ke Nadia.
Waktu berlalu beberapa menit dalam diam, Nadia merasakan amarahnya mulai mendidih. Ia ingin berteriak dan bertanya kenapa ayahnya tidak pernah peduli padanya, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ia tidak bisa mengutarakan semuanya dan hanya berdiri lalu mendorong kursinya dengan kaki hingga berdecit dengan kencang.
“Kalau Ayah nggak peduli, aku juga nggak perlu di sini!” serunya setengah membentak sebelum berlari keluar rumah dan membanting pintu di belakangnya.
Pak Arman hanya menatap pintu yang bergetar tanpa berusaha menghentikannya. Ia menghela napas berat, menundukkan kepala sambil memijat pelipisnya.
“Maaf, Nak,” gumamnya, meski ia tahu Nadia sudah terlalu jauh untuk mendengarnya.
Hari berganti hujan tanpa henti sejak kemarin mulai mereda, menyisakan genangan air di jalanan berlumpur. Di bengkel kecil di sudut jalan, Pak Arman tampak masih berjongkok di bawah kap mesin mobil tua dengan tangan yang kasar dan penuh luka bergerak dengan cekatan. Cahaya redup dari lampu neon menggantung di atas kepalanya, menciptakan bayangan yang bergerak mengikuti tubuhnya.
Ia menarik napas panjang, dadanya terasa sesak. Beberapa bulan terakhir, rasa nyeri itu semakin sering datang seperti tamu yang tidak diundang. Tapi ia tahu ia tidak bisa berhenti. Setiap jam di bengkel ini adalah usahanya untuk melunasi utang yang ditinggalkan istrinya.
“Arman, kamu kapan pulang? Udah hampir malam,” suara Budi, sahabatnya, memecah keheningan.
Pak Arman menoleh sekilas dan mengusap keringat di dahinya. “Sebentar lagi, Bud. Aku harus selesain ini.”
Budi mengerutkan dahi lalu mendekat. “Kamu tuh keras kepala banget. Aku tahu kamu kerja keras buat Nadia, tapi kalau kamu nggak jaga kesehatan, anak mu bakal kehilangan kamu juga.”
Pak Arman tersenyum tipis, tapi senyuman itu tidak sampai ke matanya. Ia tidak menjawab, hanya kembali sibuk dengan mesin di depannya.
“Aku udah janji sama almarhum istriku, Bud. Aku bakal lunasin semua utangnya, aku bakal pastiin Nadia nggak kehilangan rumah ini.”
Budi menatapnya dengan ragu namun akhirnya mengalah. “Kamu hati-hati ya, Man. Jangan sampai nyakitin diri sendiri.”
Pak Arman hanya mengangguk. Setelah Budi pergi, ia duduk bersandar di kursi kayu, memejamkan mata sejenak.
Malam itu hujan kembali mengguyur daratan. Pak Arman yang hendak pulang, menyetir motornya dengan hati-hati dengan mata yang terfokus pada jalanan yang licin. Lampu jalanan yang redup hanya sedikit membantu di tengah gelapnya jalan. Ia menghela napas berat karna ia merasa sangat lelah.
Saat melewati sebuah persimpangan kecil, tampak seorang pemuda berdiri di bawah lampu jalan yang berkedip-kedip. Pak Arman memelankan motornya. Pemuda itu basah kuyup, kepalanya tertunduk dan memeluk tubuhnya untuk melawan dingin. Tidak ada tas, tidak ada barang apa pun di dekatnya.
Pak Arman berhenti beberapa meter darinya. "Hey, kamu ngapain di sini malam-malam begini?" suaranya sedikit keras, bercampur curiga.
Pemuda itu perlahan menoleh. Wajahnya tampak pucat dengan rambut basah yang menempel di dahi, dan sorot matanya membuat Pak Arman terpaku. Mata itu, entah bagaimana, terasa hangat meskipun ia menggigil.
“Saya... tidak tahu harus ke mana,” jawab pemuda itu pelan, suaranya bergetar.
Pak Arman mengerutkan dahi. Ia ingin pergi saja dan tidak mempedulikan pemuda itu, tetapi hatinya terasa berat. Hujan yang semakin deras membuat pemuda itu tampak begitu rapuh.
“Naiklah.. Kamu nggak bisa di sini terus.”
Pemuda itu ragu sejenak namun akhirnya mengangguk. Dengan gerakan pelan, ia naik ke jok belakang motor Pak Arman.
“Nama kamu siapa?” tanya Pak Arman, mencoba mengisi keheningan.
“Serafim,” jawab pemuda itu singkat.
Pak Arman memarkir motornya di depan rumah kecilnya. Tampak cahaya dari jendela yang menunjukkan bahwa Nadia masih terjaga. Saat ia membuka pintu, Nadia langsung muncul dari ruang tamu dengan wajah bingung.
“Siapa itu, yah?” tanyanya sambil melirik Serafim yang berdiri basah kuyup di ambang pintu.
Pak Arman melepas helmnya, menghela napas. “Namanya Serafim. Ayah ketemu dia di jalan. Dia nggak punya tempat untuk pulang.”
Nadia melipat tangannya di dada. “Jadi ayah bawa orang asing ke rumah? Kita bahkan nggak tahu dia siapa!”
“Nad, dia cuma butuh tempat untuk bermalam. Lihatlah, dia kedinginan begitu?” Pak Arman menjawab, suaranya sedikit tegas.
Serafim melangkah masuk dengan sedikit menunduk sebagai tanda hormat. “Terima kasih sudah mengizinkan saya tinggal. Saya tidak akan merepotkan.”
Nadia menatapnya tajam, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia masuk ke kamarnya dengan langkah keras dan menutup pintu kamarnya dengan bunyi yang cukup keras.
Pak Arman memandang Serafim dengan canggung. “Maaf soal itu. Nadia memang... ya, kadang begitu.”
Serafim hanya tersenyum kecil. “Wajar bila dia seperti itu.”
Serafim sudah bangun sebelum matahari terbit. Ketika Pak Arman keluar dari kamar, ia cukup terkejut melihat halaman kecil mereka, tampak daun-daun kering yang biasanya berserakan kini tersapu rapi.
“Kamu nggak perlu repot-repot, Serafim,” kata Pak Arman sambil mengikat sepatunya.
“Ini cara saya berterima kasih,” jawab Serafim dengan tenang, tanpa menghentikan pekerjaannya.
Pak Arman tersenyum kecil. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari pemuda ini.
Hari itu, ia mengajak Serafim ke bengkel kecilnya. Di sana, Serafim menawarkan diri untuk membantu. Walau awalnya Pak Arman ragu, tetapi ternyata Serafim belajar dengan cepat, bahkan dalam waktu singka ia sudah bisa membantu memperbaiki motor tua yang biasanya membutuhkan waktu seharian penuh.
Di rumah, Nadia diam-diam memperhatikan Serafim, ia tidak suka. Akan tetapi ia tidak bisa menyangkal bahwa kehadiran Serafim membuat ayahnya lebih santai.
Malam itu Serafim sedang duduk di beranda dan memandang langit gelap. Nadia yang baru keluar dari kamar untuk mengambil air berhenti sejenak melihatnya.
“Kamu ngapain diluar? nggak masuk?” tanyanya dengan nada yang dingin.
Serafim menoleh dan tersenyum. “Aku suka suasana malam. Tenang.”
Nadia mendengus lalu berjalan melewatinya. Tetapi sebelum sampai ke dapur, ia mendengar Serafim berkata pelan, “Kenapa kamu selalu terlihat marah kepada ayahmu?”
Langkah Nadia pun terhenti, ia menoleh dengan tatapan tajam. “Itu bukan urusanmu.”
“Dia mencintaimu,” kata Serafim pelan dengan pancaran mata yang lembut. “Dia hanya tidak tahu bagaimana cara menunjukkannya.”
Nadia terdiam. Kata-kata itu, meskipun sederhana, terasa menusuk.
“Aku tahu dia punya kekurangan,” lanjut Serafim. “Tapi dia selalu memikirkanmu. Bahkan lebih dari dirinya sendiri.”
Nadia tidak menjawab. Ia hanya berbalik dan masuk ke dalam kamar, tetapi kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.
Serafim mulai terbiasa melakukan kesehariannya di bengkel, membenahi berbagai macam kerusakan mesin yang rumit. Nadia yang awalnya merasa canggung dengan keberadaan Serafim, mulai terbiasa dan melihat Serafim sebagai sosok yang bisa diandalkan. Serafim memperlakukan Nadia dengan penuh perhatian, ia mendengarkan cerita-ceritanya tentang sekolah dan kehidupan sehari-hari.
Setelah kembali dari bekerja, Nadia duduk di ruang tamu bersama Serafim.
“Kenapa kamu suka banget bantuin ayahku? Dia kan… nggak pernah peduli sama orang lain,” tanya Nadia dengan suara lembut penuh keheranan.
Serafim mengangkat bahunya, tersenyum ringan.
"Kadang, seseorang hanya butuh melihat kebaikan dalam hidupnya agar bisa menemukan jalan yang benar. Ayahmu itu kuat, tapi dia juga lelah, Nad. Kadang dia cuma butuh bantuan."
“Dia tidak pernah peduli denganku,” jawan Nadia dengan nada sedih.
“Besok hari ulang tahunmu bukan? Pak Arman memintaku untuk menutup bengkel lebih awal besok.” ucap Serafim memberi harapan.
“Benarkah?” jawab Nadia senang.
Nadia bangun pagi dengan penuh harapan. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-17, ia terlihat bahagia sejak semalam Serafim memberitahu bahwa ayahnya berjanji akan pulang lebih awal. Dan saat siang hari, benar saja, ayahnya sempat mengirim pesan bahwa dia ingin makan malam bersama.
Serafim yang pulang lebih dahulu, membantu Nadia menyiapkan pesta kecil di ruang tamu. Mereka membuat kue sederhana, menghias ruangan dengan balon dan pita.
"Ini akan jadi hari yang menyenangkan, Nad," kata Serafim, mencoba menghibur.
Namun, malam semakin larut dan Pak Arman tak kunjung pulang. Nadia merasa kecewa dan terluka. Saat pukul sembilan malam, Nadia akhirnya berinisiatif menelepon ayahnya, namun hanya terdengar suara panggilan tak terjawab yang menjawab telponnya.
Begitu motor Pak Arman terdengar memasuki halaman, Nadia segera berlari menuju pintu. Ia melihat ayahnya memasuki rumah dengan wajah yang lelah dan kecapaian, Nadia yang tadinya masih berharap untuk acara ulang tahunnya menjadi sangat marah dan meledak – ledak.
“Kenapa ayah selalu mementingkan pekerjaan daripada aku? Apa ayah nggak sadar berapa lama aku menunggu?” Nadia berteriak.
Pak Arman menurunkan tasnya, tampak bingung.
"Nad, ayah—"
“Tidak perlu ada alasan!” Nadia menahan air matanya, "Ayah janji pulang lebih awal, lihat lah sekarang jam berapa? Lihat apakah ayah peduli?."
Pak Arman ingin menjelaskan, tetapi kata-kata Nadia sudah terlambat. Nadia berlari ke kamarnya dan menutup pintu dengan keras.
Keesokan harinya, Nadia merasa seolah dunia sedang melawan dirinya. Ia menemukan tumpukan surat bertandakan tagihan hutang yang cukup banyak. Matanya tertuju pada nama-nama yang tidak ia kenali.
"Ini… apa-apaan?" Nadia bekata pelan, membaca satu per satu surat yang ada di depannya.
Ia terdiam sejenak dan menyimpulkan bahwa ayahnya ternyata memiliki hutang yang sangat banyak. Ia berpikir bahwa semua ini adalah akibat dari kelalaian ayahnya untuk mencukupi kebutuhan bengkelnya.
Serafim yang diam-diam mengamati hanya bisa menghela napas. Ia tahu saat ini Nadia sedang merasa sangat bingung dan marah. Namun, Serafim juga tahu bahwa ada alasan di balik semua ini yang belum terungkap.
Dengan katup emosi yang terbuka, Nadia pergi meninggalkan rumah tanpa memberitahukan ayahnya. Dia merasa tidak ingin lagi berurusan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan ayahnya.
Setelah beberapa hari kepergian Nadia, Serafim menemui Nadia di taman kota. Wajah Nadia terlihat letih, penuh amarah dan kekecewaan.
“Aku nggak bisa pulang, Serafim. Ayahku nggak peduli sama aku,” kata Nadia dengan suara parau.
“Tapi kamu harus tahu, Nad, ayahmu saat ini butuh kamu lebih dari sebelumnya,” jawab Serafim lembut.
Kemudian Serafim memberikan sebuah surat hasil diagnosa medis dari rumah sakit. Dengan hati berdebar, Nadia membuka surat itu: Kanker paru-paru stadium akhir.
Rasa terkejut melanda hati Nadia, “Apa… apa maksudnya? Kenapa ayah nggak pernah bilang?”
Serafim menepuk punggung Nadia dengan lembut. "Dia tidak ingin kamu tahu karna kamu pasti akan sangat sedih dan khawatir. Sekarang Pak Arman berada di rumah sakit. Selama kamu pergi, ia mencarimu kemana – mana tanpa henti hingga kelelahan. Hal itu membuat badannya semakin drop."
Nadia terdiam dan air matanya mulai menetes deras tanpa bisa ditahan lagi. "Aku benci ayah, Serafim..."
Serafim melihatnya dengan penuh perhatian, lalu berkata, “Mungkin harus mengingat kenangan indah yang kalian miliki. Itu akan membuatmu kembali kepada dia.”
Serafim membuka tasnya dan memberikan album lusuh yang ia bawa dari rumah. Ia menunjukkan foto-foto kenangan Nadia dengan ayahnya.
Mereka tersenyum bersama, Nadia teringat saat ayahnya mengajarinya mengendarai sepeda, mencari kerang di pantai, dan makan malam di ruang makan sederhana. Semua itu membuat Nadia merasakan kembali cinta yang sudah lama ia lupakan.
Nadia akhirnya datang ke rumah sakit. Ia melihat ayahnya terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan wajah yang sangat pucat, tubuhnya terhubung dengan selang infus dan alat bantu pernapasan.
Pak Arman yang mendengar kehadiran seseorang di sampingnya, mencoba membuka matanya pelan dan tampak senyum yang lemah tersungging di bibirnya ketika melihat Nadia.
“Maafkan Ayah, Nad. Semua yang Ayah lakukan semata – mata untuk mu dan masa depanmu. Sebenarnya, surat tagihan hutang yang kamu lihat adalah milik ibumu. Ibumu meninggalkan banyak hutang yang ayah sendiri tidak tau untuk apa. Ayah berusaha melunasinya supaya kamu bisa hidup dengan tenang. Ayah tidak menceritakan ini, agar kamu tidak berpikiran jelek pada ibumu, ini adalah tanggung jawab ayah sebagai kepala keluarga."
Nadia menggenggam tangan ayahnya erat, air matanya tak bisa dibendung lagi. “Aku yang harus minta maaf, yah. Aku nggak tahu betapa kerasnya kamu berjuang.”
Nadia yang tertampar akan kenyataan yang dia hadapi hanya bisa memeluk erat ayahnya. Berharap, waktu yang ia miliki bersama ayahnya masih panjang.
Setelah keluar dari rumah sakit, Nadia mulai membantu ayahnya di bengkel. Setiap sore mereka menghabiskan waktu bersama, memperbaiki mesin, dan berbicara tentang banyak hal. Pak Arman mengajarkan Nadia keterampilan perbengkelan yang ia punya dan cara mengelola bengkel agar tetap berdiri tegak. Nadia cukup pintar dalam hal ini, ia dapat memahami semua hal dengan mudah. Mereka tertawa bersama, berbicara tentang masa depan dan berbagi kenangan indah.
Hingga waktunya tiba, Serafim berada di samping Pak Arman, akan tetapi kali ini berbeda. Ia muncul dengan wujud aslinya—dengan sayap bercahaya yang indah. Nadia cukup kaget akan hal itu, ia terjatuh lemas karna hal yang ia lihat dan menangis sejadi - jadinya.
“Aku datang kemari karena ada salah satu wanita yang merasa sangat bersalah kepada keluarganya meminta tolong padaku. Ia meminta untuk memperbaiki kesalah pahaman yang terjadi antara kalian. Sekarang, saatnya sudah tiba untuk pak Arman, Nadia..” ucap Serafim dengan lembut.
Lalu pak Arman menghembuskan napas terakhirnya setelah perjuangan panjang melawan penyakit yang dideritanya. Serafim yang membawa pak Arman menuju cahaya yang abadi.
“Aku sudah selesai dengan tugas ini,” ujar Serafim.
Pak Arman tersenyum dan memandang Nadia untuk terakhir kali. “Terima kasih sudah membantuku. Aku hanya ingin Nadia bisa hidup lebih baik.”
Serafim mengangguk, lalu membawa Pak Arman pergi menuju cahaya yang menyinari jalan mereka berdua.
Nadia kini menjalani hidup dengan tekad yang lebih kuat. Ia meneruskan bengkel yang ayahnya bangun dari nol. Setiap kali ia bekerja, kenangan - kenangan manis bersama ayahnya selalu hadir. Ia tahu, meski ayahnya telah pergi, ia tetap merasa dekat dengannya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments