Pak Joko berprofesi sebagai seorang pelawak sekaligus badut. Ia menjalani hari-harinya dengan penuh semangat dan hidup sederhana. Ia sering tampil di pesta ulang tahun atau acara kecil lainnya, membawa tawa kepada anak-anak. Akan tetapi, dibalik senyum yang lebar, ia menyimpan sedikit kesedihan—ia tahu bahwa anak semata wayangnya, Dika, sering merasa malu karena profesinya.
Di rumah sederhana mereka, Pak Joko selalu berusaha menebarkan senyuman dan keceriaan. Pada suatu malam, ia nampak memperhatikan Dika yang pulang dengan wajah murung. Akan tetapi Dika yang terlihat lelah, enggan berbicara dan hanya masuk ke kamarnya. Pak Joko mencoba menanyakan keadaan anak semata wayangnya itu, tapi seperti yang sudah kita ketahui, Dika hanya menjawab singkat dengan berkata gak ada apa-apa ayah, aku cuman capek.
Dika memang tidak terlalu dekat dengan ayahnya, setelah kepergian ibunya, Dika semakin menjadi orang yang sangat pendiam dan menyimpan segala sesuatunya sendiri. Sampai keadaan di sekolah dimana Dika menjadi bahan ejekan teman – temannya, ia tutup rapat.
Disaat jam istirahat, ia selalu duduk sendirian dan menunduk sambil memainkan sendoknya di kantin. Beberapa anak dari kelas lain mendekatinya.
"Eh, Dika, nanti ayahmu jadi badut di acara sekolah gak? Kita mau lihat, nih!" salah satu anak berkata sambil tertawa.
Dika mencoba mengabaikan mereka, tapi ejekan itu berlanjut.
"Kalau ayahmu badut, kamu apa? Anak badut? Hahaha!" Anak-anak itu terus mengejek sambil menunjuk-nunjuk Dika.
Dika menggenggam sendoknya erat dan berusaha tetap diam. Ia tahu bahwa melawan hanya akan membuat mereka semakin mengejeknya. Walau ia tahu bahwa teman – temannya semakin mengejeknya secara brutal dan tanpa etika.
Suatu hari seorang temannya, Aldo, memutar video penampilan Pak Joko di salah satu acara ulang tahun. Dalam video itu, Pak Joko mengenakan pakaian badut berwarna-warni, dengan riasan tebal dan hidung merah besar, membuat semua orang tertawa di dalam kelas terbahak-bahak.
"Ini ayahmu kan? Hahaha, lucu banget! Kamu juga pasti pinter ngelawak, dong!" Anak-anak lain ikut tertawa keras, membuat kantin penuh dengan suara mereka.
"Kapan ngajarin kamu biar lucu juga?" ejek salah satu temannya lagi.
Dika menunduk semakin dalam dengan wajah yang memerah. Ia ingin berlari sekuat tenaga, tapi kakinya terasa sangat berat. Seolah-olah semua mata di kantin tertuju padanya.
Setelah jam sekolah usai, Dika berjalan pulang dan ditengah perjalanan, ia mendengar suara-suara dari belakang.
"Hei, anak badut! Jangan lupa, kalau nanti ayahmu tampil lagi, undang kita, ya! Kita mau ngetawain!"
Mereka mengejek sambil melempar gulungan kertas ke arahnya. Ia sangat marah dan terluka. Ia pulang dengan air mata yang tertahan.
Setibanya di rumah, Dika masuk tanpa menyapa ayahnya lalu masuk ke kamar dan membanting pintu dengan keras. Ia terduduk di lantai, matanya berkaca-kaca.
"Kenapa harus aku? Kenapa Ayah harus jadi badut?" gumamnya pelan.
Saat makan malam, Dika akhirnya tak bisa lagi menahan gejolak amarahnya yang telah tertanam dihatinya cukup lama. Ketika Pak Joko tengah menceritakan pengalamannya tampil di acara ulang tahun tadi siang, Dika tiba-tiba mendobrak meja dan membuat Pak Joko menghentikan celotehannya.
"Kenapa Ayah gak cari pekerjaan lain? Aku capek diejek terus di sekolah! Kenapa Ayah harus jadi badut?"
Pak Joko tertegun, dan bertanya dengan suara pelan, "Diejek? Siapa yang ejek kamu, Nak?"
"Semua orang! Mereka bilang aku anak badut. Mereka ketawa lihat ayah! Aku capek! Kenapa Ayah gak mikirin aku sedikit aja?" Suara Dika meninggi, membuat suasana makan malam berubah tegang.
Pak Joko menunduk, mencoba menahan tangis. Ia tak menyangka profesinya melukai perasaan anaknya. Dengan suara bergetar, ia menjawab, "Ayah cuma ingin kamu bisa makan, bisa sekolah. Ayah gak punya pilihan lain, Nak."
Dika yang sudah terlanjur marah pun bangkit dari kursinya.
"Aku benci semua ini! Aku benci ayah jadi badut!" Dika masuk ke kamar dan membanting pintu keras-keras.
Pak Joko duduk sendirian di meja makan, menatap makanan yang tak lagi terlihat menarik. Ia hanya bisa bergumam pelan, "Maafkan ayah, Nak. ayah gak pernah mau bikin kamu malu."
Matahari mulai menunjukkan cahyanya , Dika yang termenung semalaman mulai merasa menyesal. Ia tersadar bahwa ayahnya bekerja keras demi dirinya. Dika melihat ayahnya sedang duduk di ruang tamu, sibuk memperbaiki kostum badut yang robek. Pak Joko tampak serius, menjahit dengan hati-hati, namun wajahnya terlihat lelah dan murung. Dika berdiri di ambang pintu, ragu untuk menghampiri.
"Ayah..." suara Dika memecah keheningan.
Pak Joko mendongak, terkejut mendengar suara anaknya. Ia langsung meletakkan kostum yang sedang dijahitnya. "Iya, Nak? Ada apa?" tanyanya lembut.
Dika mendekat, duduk di sebelah ayahnya. Tangannya gemetar, tapi akhirnya ia berani berbicara.
"Ayah aku minta maaf semalam aku sudah banyak melontarkan kata – kata kebencian, aku gak benci ayah. Aku bangga sama ayah, kok," katanya.
Pak Joko tertegun mendengar perkataan Dika lalu tersenyum kecil. Tangannya terulur dan mengusap – usap kepala Dika. "Ayah juga minta maaf, Nak. ayah gak pernah ingin bikin kamu malu. Kalau kamu mau, ayah akan coba cari pekerjaan lain."
Dika menggeleng. "Gak usah, yah. Aku cuma ingin ayah bahagia. Ayah harus tetap jadi badut. Dunia butuh tawa, kan?" kata Dika dengan senyuman kecil.
Pak Joko tersenyum lagi, tapi kali ini lebih lebar. Ia memeluk Dika erat - erat, seperti ingin menyalurkan semua rasa sayang yang ia miliki.
"Terima kasih, Nak. Kamu anak yang luar biasa. Ayah bangga sama kamu."
Dika berangkat ke sekolah dengan hati yang lebih ringan. Ia merasa lega telah memperbaiki hubungannya dengan ayahnya. Sepulang sekolah, ia menyeberang jalan dekat rumah. Dari sisi kiri sebuah mobil melaju sangat cepat dari tikungan, pengemudi yang kehilangan kontrol kemudi tidak sempat menginjak rem. Suara klakson keras terdengar, disusul oleh suara tabrakan yang memekakkan telinga.
Pak Joko, yang sedang berada dihalaman berlari menuju arah suara itu muncul. Ia mematung saat melihat tubuh Dika tergeletak di jalan, dengan darah mengalir dari pelipisnya.
"Nak! Nak! Bangun, Nak!" Pak Joko berteriak sambil mengguncang tubuh Dika.
Orang-orang di sekitar mulai berkumpul dan ambulan pun segera datang. Pak Joko menemani Dika di perjalanan menuju rumah sakit, menggenggam tangannya erat sambil berdoa.
“Ayah, aku bangga dengan ayah. Jangan berhenti dari pekerjaan itu ya yah,” ucap Dika pelan.
“Kamu harus bisa bertahan nak, sebentar lagi kita sampai di rumah sakit.” sahut pak Joko menenangkan.
Namun, ternyata takdir telah memutuskan. Sesampainya di rumah sakit, dokter hanya bisa menghela nafas dan menggeleng pelan. "Kami sudah berusaha sebaik mungkin, Pak. Maafkan kami."
Pak Joko terduduk di lantai, tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Nafasnya seakan berhenti sejenak lalu matanya mulai mencucurkan air seperti keran. Pak Joko menangis sekeras kerasnya, ia tidak mempedulikan sekitarnya. Kata-kata terakhir seakan Dika terus terngiang di telinganya, menjadi kenangan terakhir yang takkan pernah ia lupakan.
Kepergian Dika meninggalkan luka mendalam, ia sangat terpuruk dan kehilangan arah. Di tengah kesedihannya, kemarahan muncul dan menguasainya, ia mulai menyalahkan anak-anak yang membuli Dika.
Ia terus memutar ulang kenangan tentang Dika yang sering pulang dengan wajah murung dan teringat akan cerita Dika tentang ejekan teman-temannya. Di benaknya, anak-anak itu adalah penyebab utama semua ini.
Suatu malam, ia duduk di taman dekat rumah dan memikirkan cara membalas dendam. Ia bahkan mencatat nama beberapa anak yang dulu sering mengejek Dika, berharap suatu saat bisa membuat mereka merasakan rasa sakit yang sama.
Saat ia sedang tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba seorang pria muda dengan pakaian sederhana duduk di sebelahnya, Serafim. Serafim tidak berbicara banyak. Ia hanya duduk tenang, seolah tahu apa yang sedang Pak Joko rasakan.
Pak Joko menatap Serafim itu dengan alis berkerut. "Kamu siapa? Kenapa kamu duduk di sini?"
Serafim hanya menoleh dan tersenyum. Suasana di sekitar mereka terasa hening, hanya terdengar suara angin malam yang bertiup pelan.
Pak Joko merasa heran, seolah Serafim sudah ada di sana sejak lama. Ia mencoba membuka mulut untuk bertanya lagi, tetapi Serafim terlebih dahulu berbicara dengan suara tenang.
"Kemarahanmu tidak akan mengembalikan Dika, Pak Joko. Dia ingin kamu bisa melepaskan beban ini."
Pak Joko terperangah. "Apa maksudmu? Kamu tahu siapa aku? Kamu tahu siapa Dika?"
Serafim hanya mengangguk sedikit, lalu berkata pelan, "Aku di sini untuk membantu kamu menemukan kedamaian, Pak Joko. Dika pasti tidak ingin melihatmu seperti ini."
Pak Joko menatap Serafim tanpa tahu harus bagaimana. Seolah ada sesuatu yang berbeda dalam diri Serafim. Ia merasa sedikit terhubung tapi tidak tahu alasan pastinya mengapa. Ia hanya terdiam, dan air mata mulai menggenang di matanya.
"Aku... aku tidak bisa lagi melanjutkan hidup seperti ini. Aku ingin membalas dendam pada mereka yang sudah membuat Dika menderita."
Serafim memandang Pak Joko dengan tatapan penuh pengertian, namun tidak memberi penilaian. "Dendam tidak akan mengembalikan Dika. Kamu hanya akan terus terjebak dalam kegelapan."
Pak Joko terdiam berusaha meresapi kata-kata Serafim. Lalu ia merasa cemas dan takut juga ada perasaan lega yang mulai meresap. Ia memutuskan untuk mengikuti saran Serafim. Ia mulai melangkah keluar dari kegelapan, mencoba melepaskan perasaan dendam yang telah menguasainya dan tentunya tidak lagi memikirkan cara membalas anak-anak yang pernah mengejek Dika.
Suatu malam, Serafim kembali menemui Pak Joko. Kali ini Serafim membawa Pak Joko ke sebuah taman yang sangat familiar dan di sana ia melihat anak-anak yang dulu mencaci Dika.
Mereka tampak gelisah, seolah merasa bersalah setelah mendengar berita tentang kepergian Dika. Salah satu dari mereka terlihat sedang menangis, menatap layar ponselnya, dan bergumam penuh penyesalan.
Pak Joko terdiam. Ingin rasanya ia mendekat dan meluapkan semua kemarahannya, tetapi ia berusaha menahan diri.
"Lihat lah. Mereka menyesal jadi kamu tidak perlu membalas mereka. Pengampunan adalah jalan yang lebih mulia." ucap Serafim lembut.
Hatinya mulai luluh dan ia teringat kata-kata Dika yang selalu menginginkan ia menjadi pelawak yang memancarkan tawa untuk semua orang. Dika tidak pernah ingin melihat ayahnya terjebak dalam kebencian.
Serafim berdiri di samping Pak Joko, tidak mengungkapkan siapa dirinya. Ia hanya terus memberi arahan dan rasa ketenangan.
Pak Joko mengusap air matanya yang berlinang dan merasa siap untuk melepaskan kemarahan itu. Ia memutuskan untuk memaafkan anak-anak itu, meskipun hatinya masih terasa perih. Ia berjalan pergi walau hatinya masih terasa berat dan meninggalkan mereka dengan rasa penyesalan yang mendalam.
Pak Joko mulai bangkit kembali. Ia kembali tampil sebagai pelawak untuk memenuhi permintaan Dika yang terakhir. Ia menjalani harinya dan kembali membawa tawa, walaupun ada bagian dari dirinya yang tetap kosong—sebuah kekosongan yang tak bisa diisi oleh apapun. Bulan demi bulan tahun demi tahun ia lalui dengan senyuman manis dan canda tawa yang keluar dari bibir manisnya.
Setelah pertunjukan, ia duduk di ruang tamu dan termenung di depan foto Dika yang tersenyum ceria. Ia cukup merasa lelah, tubuhnya yang mulai kering kerontang hampir tidak mampu menahan beban hari-harinya.
Malan itu, ia melihat sebuah cahaya yang memancar lembut yang menyilaukan matanya. Terlihat pintu yang penuh cahaya perlahan terbuka, dari dalam tampak seorang laki – laki yang tidak asing lagi, Dika, ia berdiri di depan pintu dan tersenyum manis.
Pak Joko terbangun dari duduknya, hatinya berdebar kencang.
"Nak..." suara Pak Joko bergetar, matanya berkaca-kaca.
Dika mengulurkan tangannya. "Ayah, sudah waktunya. Ayo, kita pergi."
Pak Joko melangkah mendekat dan saat ia hendak meraih uluran tangan Dika, Serafim—yang selalu berada di sampingnya—muncul di belakang Dika. Kali ini Serafim terlihat dengan sayap bercahaya yang terbentang lebar. Namun, wajahnya tidak terlihat jelas dan hanya sebuah siluet samar.
Pak Joko menatap Serafim dengan rasa terima kasih yang mendalam.
"Terima kasih," hanya itu yang bisa ia ucapkan.
Serafim tersenyum dan mengangguk.
"Sekarang waktunya kamu beristirahat."
Dengan langkah tenang, Pak Joko dan Dika berjalan bersama melewati pintu yang bercahaya itu. Keduanya menyatu dalam kedamaian yang abadi, meninggalkan dunia dengan tawa yang selamanya dikenang.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments