Cahaya Kedamaian

Di tengah kota yang padat, terdapat sebuah rumah tua yang semakin rapuh, milik seorang kakek bernama Jaya. Pak Jaya dikenal sebagai sosok yang pendiam, selalu duduk sendirian di kursi tuanya, menatap keluar jendela seolah menunggu sesuatu. Dulu, ia adalah seorang pengusaha sukses dan memiliki segalanya—kekayaan, keluarga, dan ketenaran. Namun, semuanya berubah sejak sebuah peristiwa yang membuat ia kehilangan akal.

Pak Jaya hidup dengan bayang – bayang rasa bersalah yang membebani hatinya. Hidupnya kosong dan tanpa arah. Keluarga yang tadinya harmonis, menjadi hambar, istri dan anaknya meninggalkannya, mengambil semua kuasa atas usaha yang ia rintis dari nol. Kehidupan yang normal, tidak lagi menyatu pada raganya.

Setiap malam, ia terbangun dalam ketakutan. Suara langkah kaki yang tak terlihat, pintu yang terbuka dengan sendirinya, dan bayangan hitam yang mengikuti kemana-mana, membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Ia merasa, bayangan itu adalah wujud dari rasa bersalahnya yang belum terampuni.

Tetangga sering melihat Pak Jaya di dekat jendela, menatap malam yang kelam. Mereka tidak tahu apa yang terjadi dengan masa lalunya hingga ia menjadi seperti saat ini. Yang jelas, Pak Jaya selalu terasingkan, jauh dari keluarga dan teman-temannya.

Umur Pak Jaya sudah tidak muda lagi, ia mulai sakit – sakitan dan membuatnya semakin rapuh. Di dalam kamar tidurnya yang gelap, Pak Jaya terbangun dengan napas terengah-engah. Tubuhnya basah oleh keringat, meskipun udara malam begitu dingin. Suara hujan yang menghantam atap membuatnya ketakutan dan menangis tersedu – sedu. Dia duduk di tepi ranjang, menatap tangannya yang gemetar. Di tengah kekosongan malam itu, seseorang mengetuk pintu rumahnya.

Pak Jaya yang terhentak karena kaget mendengar suara ketukan membukakan pintu rumahnya. Di balik pintu melihat seorang pria muda berdiri di sana – Serafim, wajahnya penuh kehangatan.

"Pak Jaya, boleh saya masuk?" tanya Serafim dengan suara lembut.

“Kamu siapa?” tanya Pak Jaya.

Pemuda itu tersenyum dan seakan menghipnotis Pak Jaya. Tanpa pikir panjang Pak Jaya mengangguk. Serafim duduk di kursi di sebelah tempat tidur Pak Jaya, dan mulai berbicara dengan penuh perhatian.

"Kenapa kamu memilih hidup sendirian Pak Jaya?" tanya Serafim, matanya tajam namun penuh pengertian. "Kau terlihat sangat tertekan. Apa yang membebanimu?"

Pak Jaya terdiam. Ia enggan menceritakan kisahnya pada Serafim. Akan tetapi, saat Pak Jaya menatap Serafim, pancaran matanya seakan menghipnotisnya lagi dan membuat luluh seluruh tubuhnya. Pak Jaya mulai menceritakan kisahnya.

-

Malam itu, Pak Jaya menyetir sendirian ditengah derasnya hujan yang membuat jalanan licin dan pandangan kabur. Hanya sorotan lampu mobil yang dapat sedikit menembus derasnya hujan. Tiba-tiba, setir mobil bergetar hebat dan ban mobil yang ia kendarai selip.

“Astaga!”

Mobil itu meluncur ke kiri, menabrak pembatas jembatan dengan suara berderak keras. Pak Jaya hanya bisa berpegangan erat pada setir saat mobil berhenti dengan setengah tubuhnya menggantung di ujung jembatan.

Suara gemuruh terdengar jelas disungai bawah sana, siap menelan apa pun yang jatuh. Pak Jaya gemetar. Tubuhnya kaku, napasnya memburu. Ia berusaha membuka pintu, tetapi tak bisa. Ia merasa ajalnya begitu dekat.

Dibalik keputusasaan, terdengar suara Langkah kaki mendekat. Di tengah derasnya hujan, seorang pemuda datang berlari mendekati, wajahnya samar di balik derasnya air, tetapi suaranya jelas ditelinga.

“Pak, bertahan! Saya coba membantu!”

Pak Jaya hanya bisa menatap pemuda itu dengan kepasrahan, matanya penuh harapan. Pemuda itu berpegangan pada pintu mobil, menarik tubuh Pak Jaya keluar dengan susah payah. Hujan membuat semuanya licin, tetapi pemuda itu tak menyerah.

Saat Pak Jaya berhasil keluar dan jatuh terduduk di pinggir jembatan, pemuda itu tergelincir.

Tangan kanannya tersangkut di ujung mobil yang mulai bergeser.

“Pak, tolong!”

Pak Jaya segera memegang tangan pemuda itu dan berusaha menariknya.

“Pegang kuat-kuat!” suaranya bergetar, penuh ketakutan.

Namun genggaman itu mulai menjauh karna derasnya hujan dan membuat segalanya mustahil.

“Pak, saya... saya takut...” pemuda itu menangis, air matanya bercampur dengan hujan.

“Bertahan! Aku akan—”

Sebelum kalimat itu selesai, genggaman tangan mereka terlepas. Pak Jaya menatap tak percaya saat tubuh pemuda itu jatuh ke sungai.

“TIDAK!” teriaknya, suaranya senyap oleh gemuruh air.

Pak Jaya terduduk lama di tengah hujan dengan tubuhnya yang basah kuyup dan gemetar hebat. Ia menatap sungai yang hitam pekat, berharap pemuda itu terlihat dari kejauhan. Tak lama, mobilnya pun ikut tergelincir terjun bebas ke arah Sungai. Arus deras menelan semuanya.

Dalam kepanikan dan pikiran Pak Jaya kacau.

“Jika aku melapor, apa yang akan mereka katakan? Polisi akan menyalahkanku. Mengapa aku masih hidup sementara pemuda itu hilang?” gumamnya penuh kebingungan.

Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia bangkit dan berjalan menjauh dari jembatan. Hujan terus mengguyur, seakan berusaha mencuci jejak dosanya malam itu. Setibanya di rumah, ia mengganti bajunya, duduk di sofa, dan menatap kosong ke arah lantai.

“Tidak ada yang terjadi, aku akan melaporkan tentang kehilangan mobil.” gumamnya berulang kali, berusaha meyakinkan dirinya.

Beberapa hari kemudian, polisi datang kerumah Pak Jaya untuk memberitahukan bahwa mobilnya telah ditemukan di sungai, dan terdapat jenasah seorang pria di lokasi mobil itu terjatuh. Polisi mengkalim bahwa mobil itu telah dicuri dan pencurinya terjatuh ke dalam sungai. Tetapi Pak Jaya menutup kasus itu dengan perdamaian.

Berita itu menjadi heboh dan masuk di stasiun televisi dan koran. Wajah pemuda itu terpampang besar. Pak Jaya melihat keluarganya menangis di layar televisi.

“Anak saya bukan bukan seorang pencuri!” jerit ibunya.

Pak Jaya mematikan televisi, tangannya gemetar. Ia ingin berteriak seakan ingin mengakui kebenaran. Tetapi ketakutan selalu lebih kuat. Ketakutan akan hukuman. Ketakutan akan kebencian.

-

Serafim mendengarkan dengan penuh perhatian saat Pak Jaya menceritakan kisahnya—tentang kecelakaan yang merenggut nyawa pemuda yang coba menyelamatkannya, dan tentang beban yang harus ia tanggung selama bertahun-tahun.

“Setiap malam saya dihantui... Wajahnya, suara hujan, genggaman tangannya... Saya... Saya ingin melupakan, tapi tidak bisa.” kata Pak Jaya dengan suara bergetar.

"Aku telah bersalah, aku yang menyebabkan semuanya," tambahnya lagi.

Serafim menatap Pak Jaya dengan penuh empati dan tersenyum lembut.

“Bila kau merasa bersalah, kau harus melepaskan perasaan itu."

“Lalu... apa yang harus aku lakukan?” tanya Pak Jaya.

“Temui keluarganya dan ceritakan kebenarannya. Mereka berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu.”

Pak Jaya langsung menggeleng, tubuhnya bergetar.

“Tidak... tidak! Bagaimana jika mereka membenci aku? Bagaimana jika—”

“Tuan...” suara Serafim tetap lembut tetapi penuh ketegasan.

“Anda tak bisa terus lari dari ini. Anda bukan satu-satunya yang terluka. Mereka kehilangan putra mereka dan hidup dengan pertanyaan yang tak pernah terjawab. Jangan biarkan mereka tersiksa dalam ketidaktahuan, sama seperti Anda tersiksa dalam rasa bersalah.”

Pak Jaya terdiam lama. Kata-kata Serafim seperti menghantam jantungnya. Ia memejamkan mata dan dalam kegelapan itu, wajah pemuda yang terjatuh malam itu muncul lagi—wajah yang penuh harapan, wajah yang memohon pertolongan.

Serafim kembali bersuara.

“Tubuh mu semakin melemah Pak Jaya. Waktumu sudah tak banyak. Pergilah, sebelum semuanya terlambat. Kau berhak mendapatkan kedamaian... dan mereka berhak mendapatkan jawaban.”

Pak Jaya membuka matanya. Air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Ia tak tahu kapan terakhir kali ia merasa beban ini bisa berkurang meski sedikit.

Pak Jaya akhirnya mengunjungi rumah pemuda itu beberapa hari setelah pertemuannya dengan Serafim. Kakinya gemetar, namun ia tahu bahwa inilah waktunya untuk menghadapi kenyataan yang telah terlalu lama ia hindari.

Seorang wanita paruh baya membukakan pintu, wajahnya lelah dan penuh kesedihan, namun juga penuh pengertian. Pak Jaya bisa merasakan betapa beratnya hidup yang telah dijalaninya.

“Permisi...” Pak Jaya memulai, suaranya penuh keraguan. “Saya Jaya, saya datang kesini untuk memberi tahu Anda... apa yang sebenarnya terjadi pada anak anda.”

Wanita itu menatapnya dengan tidak terkejut. “Apa yang kamu maksud?”

Pak Jaya menelan ludah, suaranya nyaris tak terdengar. “Saya... ada di sana... malam ketika anak Ibu jatuh ke sungai.”

Pak Jaya berusaha menjelaskan dengan hati – hati dan lembut. Ia mengatur perkataan dengan rapi dan dengan intonasi yang baik.

Wanita itu menghela napas dan menahan air matanya.

“Jadi... anak saya memang tidak mencuri ?” ucap wanita itu. “Anak saya... seorang pahlawan...”

Pak Jaya mengangguk, air mata tak berhenti mengalir di pipinya.

“Maafkan saya... Maafkan saya yang pengecut... Saya tidak bisa menyelamatkannya...”

Wanita itu tersenyum dan air matanya mulai berjatuhan tak mampu terbendung lagi.

“Walau kejadian ini tidak terjadi pun, saya akan tetap kehilangannya.”

“Maksud anda?” tanya Pak Jaya bingung.

“Anak saya mengidap kanker stadium akhir, dokter telah memvonis umurnya tidak lama lagi. Saya tidak melarangnya melakukan kesukaannya, termasuk membantu orang lain. Saya sudah memaafkan anda Pak Jaya. Anak saya sudah tenang, dan saya juga akan tenang setelah ini karna saya tau bahwa dia tidak melakukan hal buruk.”jelas wanita itu.

Setelah pertemuan itu, Pak Jaya berjalan pulang dengan langkah yang lebih ringan. Di hatinya, rasa bersalah itu masih ada, tetapi kini ia merasa telah melakukan sesuatu yang benar. Ia telah memberi keluarga pemuda itu sebuah jawaban—kebenaran yang selama ini mereka cari.

Sesampainya di rumah, ia terbaring di ranjang dengan tubuh yang semakin lemah. Ia merasa untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun tidurnya begitu tenang.

Cahaya putih menghampirinya, ia melihat jembatan itu lagi. Hujan tak lagi turun dan sungai tampak tenang, memantulkan cahaya keemasan. Di ujung jembatan tampak seorang pemuda berdiri dan tersenyum kepadanya, ya, pemuda yang membantunya malam itu. Pemuda itu melangkah mendekat.

"Semua sudah selesai. Terimakasih karna kau telah mengungkapkan kebenarannya." Katanya dengan suara lembut dan penuh kedamaian.

Pak Jaya tersenyum kecil. Tubuhnya berjalan pelan menuju pemuda itu. Saat ia mendekat, sebuah pintu cahaya terbuka di belakang pemuda, memancarkan sinar hangat yang menenangkan. Ia merasa ringan, bebas dari beban yang selama ini mengikatnya. Tanpa ragu, ia mengikuti pemuda itu masuk ke dalam cahaya.

Sebelum benar-benar melangkah masuk, Pak Jaya menoleh ke belakang. Di ujung cahaya tampak sosok malaikat dengan sayap yang terbentang lebar - Serafim. Serafim tersenyum penuh kasih, mengangguk kepada Pak Jaya. Semua rasa takut dan penyesalan yang dulu ia rasakan menghilang, digantikan dengan kedamaian yang luar biasa.

Dengan satu langkah terakhir, Pak Jaya memasuki pintu cahaya, meninggalkan dunia dengan hati yang damai dan menuju tempat perdamaian.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!