Serafim - In The Story
Hujan turun deras malam itu, membasahi aspal jalanan kecil di pinggiran kota. Rosye berjalan sendirian, tangannya gemetar karena dingin dan kelelahan. Ia sudah dua hari kabur dari rumah, dengan hanya ransel kecil yang isinya beberapa pakaian dan buku catatan usang.
Di bawah lampu jalan yang remang, ia berhenti sejenak, duduk di bangku kayu yang mulai lapuk. Dalam hatinya, suara itu kembali terdengar.
“Tidak ada yang peduli denganmu., untuk apa kamu hidup?”
Suara itu dingin dan penuh kepastian, seperti sedang menunggu Rosye menyerah. Derasnya air hujan yang turun seakan mencerminkan kekacauan hati Rosye.
Ia melanjutkan perjalanan tanpa arahnya dan berhenti di atas jembatan tua, memandangi sungai di bawahnya airnya berarus deras hingga bergemuruh di bawahnya seolah mengundang untuk mengakhiri segalanya. Tangan Rosye gemetar saat ia mencengkeram pagar besi. Matanya sembab, suara-suara dipikirannya makin jelas dan memintanya untuk melompat.
“Semua ini gak ada gunanya...” gumamnya. “Lebih baik aku selesai di sini.”
Saat ia bersiap memanjat pagar besi, sebuah suara menghentikannya.
“Apa kamu yakin ini jalan keluar terbaik?”
Rosye berbalik dengan cepat. Di bawah bayangan lampu jalan, berdiri seorang pria berwajah teduh, mengenakan mantel panjang yang basah oleh hujan. Tatapan matanya hangat, tapi dalam, seolah-olah tahu segalanya.
“Siapa kamu? Jangan ikut campur!” sergah Rosye.
“Aku cuma seseorang yang kebetulan lewat,” jawab pemuda itu.
“Kamu kelihatan butuh teman ngobrol.”
“Jangan mendekat!” teriak Rosye.
Pria itu tidak mundur. Dengan suara tenang, ia berkata,
“Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu ingin menyerah?”
Rosye diam. Ia memalingkan wajah, air mata mengalir tanpa henti.
“Gak ada yang peduli. Hidupku hancur. Aku cuma beban buat semua orang.”
“Aku di sini untuk membantu,” kata pria itu sambil mengulurkan tangan, suaranya tenang dan hangat.
“Ayo ikut denganku, aku tahu tempat yang lebih aman.”
Meski awalnya ragu, ada sesuatu dalam suara dan tatapan pria itu yang membuat Rosye menurut.
Pria itu membawa Rosye ke sebuah rumah kecil di tengah kota. Tempat itu sederhana dan tampak sudah lama tidak dihuni, tapi terasa nyaman. Di dalam, terdapat gitar tua bersandar di dinding, meja dengan beberapa buku berserakan, dan sebuah sofa empuk.
“Siapa kamu sebenarnya?” tanya Rosye, masih berjaga-jaga.
“Panggil saja aku Serafim,” jawab pria itu sambil menyodorkan handuk untuk Rosye dan menyiapkan minuman hangat.
“Kamu aman di sini. Kamu bisa tinggal selama kamu butuh waktu untuk berpikir.”
Rosye tidak menjawab, hanya memeluk lutut di sofa. Ia belum siap menceritakan apa pun.
Beberapa hari berlalu. Rosye mulai merasa sedikit lebih nyaman di rumah itu. Akan tetapi ia masih enggan menceritakan kisahnya pada Serafim. Malam itu, ia memetik gitar tua yang ada di sudut ruangan. Melodi yang keluar pelan dan tidak teratur, tapi cukup untuk mengisi keheningan.
Serafim memperhatikannya dari dapur. Setelah beberapa saat, ia mendekat dan duduk di kursi di sebelah Rosye.
“Gitar itu milik Daniel. Dia dulu tinggal di sini.”
“Daniel?” tanya Rosye.
Serafim mengangguk. “Dia seperti kamu. Seseorang yang merasa hidupnya tidak ada artinya lagi.”
Serafim sedikit bercerita tentang Daniel—bagaimana Daniel kehilangan harapan, merasa sendirian, hingga akhirnya menyerah pada keputusasaan.
Rosye terdiam dan terpana mendengar kisah hidup Daniel. Rosye seakan tertampar dan dapat membuka matanya kembali.
“Apakah kamu punya cita – cita?” tanya Serafim halus.
“Em… Aku tidak tau apa cita – cita ku, tapi sejak kecil aku ingin menjadi seorang arsitek.” jawab Rosye perlahan.
“Ada apa dengan arsitek?” tanya Serafim lagi antusias.
“Arsitek adalah gambaran keinginanku, seoarang yang bebas membangun segalanya sendiri. Seorang yang bertanggung jawab pada pondasi yang dibuat.” jawabnya sambil menundukkan kepala.
“Em… Itu bagus. Kamu masih punya pilihan, Rosye. Kamu bisa memilih jalan yang berbeda.” tutup Serafim.
Hari berikutnya, Rosye mulai membuka diri. Rosye mulai mencoba memperbaiki hidupnya dan kembali mengejar mimpinya untuk menjadi arsitek. Ia mencari informasi tentang beasiswa agar ia bisa meraih cita-citanya. Ketika ia merasa putus asa Serafim selalu muncul untuk membantu, menemani, dan memberi saran saat ia bingung.
Ketika Rosye akhirnya mendapat kesempatan untuk tes beasiswa, ia merasa gugup setengah mati. Tapi Serafim berkata,
“Kamu sudah berjalan sejauh ini. Apa yang masih membuatmu ragu? Kamu gak sendirian.”
Senyuman muncul di wajah Rosye saat ia tau bahwa ia lolos. Ia mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah arsitektur di universitas ternama. Ia juga mendapatkan pekerjaan part-time sebagai pelayan kafe. Untuk pertama kalinya, ia merasa memiliki kendali atas hidupnya.
Suatu malam, saat Rosye keluar untuk membeli makanan, ia merasa seseorang mengikutinya. Jantungnya berdebar saat ia menyadari siapa itu. Ayah tirinya muncul dari bayangan gelap, wajahnya penuh amarah.
“Akhirnya ketemu juga!” teriak pria itu. Dengan cepat, ia mengayunkan sebuah tongkat ke arah Rosye.
Rosye mencoba menghindar, tapi terjatuh. Ia hanya bisa memejamkan mata, menunggu rasa sakit, namun... tidak ada apa-apa. Ketika ia membuka mata, serafim sudah berdiri di depannya, melindunginya.
Ayah tirinya mundur, bingung melihat pria asing itu. Serafim hanya berkata dengan tenang,
“Pergilah dari sini!” sambil mengayunkan kepalan tangannya yang besar.
Ayah tirinya meludah ke tanah, lalu pergi dengan amarah yang belum terpuaskan.
Rosye gemetar dan berkata, “Dia tidak akan berhenti. Dia akan terus mengejarku.”
“Tidak apa, ada aku disini.” jawab serafim menenangkan.
“Dia akan membunuhku…..” teriak Rosye ketakutan.
Serafim memeluk Rosye yang hampir kehabisan nafas. Setelah tenang, ia memandang Serafim dan akhirnya membuka diri. Ia menceritakan alasan sebenarnya mengapa ia kabur dari rumah.
“Ayah tiriku ingin membunuhku,” katanya dengan suara bergetar. “Ayah kandungku meninggalkanku waktu aku kecil, tapi sebelum dia pergi, ia meninggalkan asuransi atas namaku. Kalau aku mati, ayah tiriku akan mendapat uang asuransi itu.”
Rosye menunduk, air matanya jatuh. “Aku gak mau mati di tangannya, tapi aku juga gak tahu harus ke mana. Maka dari itu aku berpikir... lebih baik aku mengakhiri hidupku sendiri. Sampai aku bertemu denganmu..”
Serafim menepuk bahunya dengan lembut.
“Aku akan melindungimu. Kamu tidak sendirian, Rosye.”
Untuk pertama kalinya, Rosye merasa sedikit aman. Tapi di dalam hatinya, ia masih takut.
Beberapa bulan kemudian. Saat rasa takutnya mulai hilang, ia pulang dari kampus dan berjalan sendirian di jalan yang sepi. Lampu jalan berkedip-kedip, memberikan suasana yang tidak nyaman. Dari kejauhan, ia mendengar deru mesin mobil.
Mobil itu mendekat dengan cepat, Rosye menyadari sesuatu yang mengerikan—itu ayah tirinya, mobil itu melaju langsung ke arahnya.
Rosye tidak sempat menghindar, ia hanya bisa berdiri terpaku. Tapi tepat saat mobil hampir menabraknya, sebuah cahaya terang muncul.
Serafim muncul di depannya, sayap besar bercahaya membentang di kedua sisi tubuhnya. Ia berdiri di antara Rosye dan mobil yang melaju.
Rosye hanya bisa tertegun. Matanya melebar melihat Serafim dalam wujud aslinya—dengan sayap yang memancarkan cahaya hangat, melindunginya dari bahaya.
Mobil itu berhenti tiba-tiba, ayah tirinya ketakutan melihat sosok Serafim. Ia mencoba memundurkan mobil dengan kepanikan. Mobil itu kehilangan kendali, menabrak pembatas jalan, dan jatuh ke jurang.
Rosye yang masih syok duduk di pinggir jalan, napasnya masih tersengal. Ia menatap Serafim, yang kini berdiri di depannya dengan sayap yang perlahan menghilang.
“Kamu... malaikat?” ucapnya gemetar.
Serafim tersenyum tipis. “Aku hanya seseorang yang diutus untuk menjagamu. Sekarang, perjalananmu ada di tanganmu sendiri, Rosye. Teruslah berjalan.”
Rosye menghadapi hari – harinya dengan disiplin, hingga Rosye berhasil mewujudkan mimpinya menjadi arsitek. Dengan tangannya, ia mendesain rumah-rumah yang membawa kenyamanan dan harapan bagi banyak orang.
Sebelum meninggalkan rumah Daniel untuk terakhir kalinya, ia menatap langit malam. Dalam keheningan, ia merasa ada bayangan sayap yang melintas, seperti serafim masih mengawasinya dari kejauhan.
“Terima kasih,” bisiknya sebelum menutup pintu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments