Mobil Dewa berhenti tepat di depan gedung tempat Ariana bekerja. Ariana membuka sabuk pengamannya lalu menoleh ke arah Dewa.
“Kamu yakin udah benar-benar fit buat kerja hari ini?” tanya Ariana dengan nada khawatir.
Dewa tersenyum meyakinkan. “Aku baik-baik saja. Nggak perlu khawatir.”
Ariana masih menatapnya ragu, tapi akhirnya menghela napas. “Oke. Jangan lupa makan siang, jangan terlalu maksa kerja, dan kalau capek istirahat, ya.”
Dewa terkekeh kecil. “Iya, iya. Kamu juga jaga diri baik-baik, jangan terlalu sibuk sampai lupa istirahat.”
Ariana tersenyum. “Aku tahu.”
Dewa menatapnya sebentar sebelum berkata, “Kalau ada apa-apa, kabari aku, ya?”
Ariana mengangguk. “Iya, pasti.”
Dewa tersenyum lalu mengusap kepala Ariana dengan lembut sebelum Ariana membuka pintu dan keluar dari mobil.
Setelah memastikan Ariana masuk ke gedung dengan aman, Dewa langsung menginjak pedal gas dan melaju menuju kantornya. Hari ini, ia siap menghadapi pekerjaannya dengan lebih semangat, karena ia tahu ada seseorang yang selalu mendukungnya.
Dewa Sampai di Kantor
Dewa memarkir mobilnya di area parkir kantor ayahnya. Ia menghela napas sejenak sebelum keluar dari mobil, mencoba mengumpulkan energi untuk menjalani hari ini. Setelah memastikan dirinya siap, ia melangkah masuk ke dalam gedung perusahaan dengan langkah mantap.
Begitu tiba di lobi, beberapa karyawan yang sudah mengenalnya menyapanya dengan ramah.
“Selamat pagi, Pak Dewa.”
Dewa tersenyum kecil dan mengangguk. “Pagi.”
Ia terus berjalan menuju lift, menekan tombol ke lantai tempat ruangannya berada. Saat pintu lift terbuka, ia melangkah keluar dan langsung menuju meja kerja yang sudah menunggunya.
Sesampainya di ruangannya, ia meletakkan tas di atas meja dan duduk. Sebelum mulai bekerja, ia melirik layar ponselnya, memastikan tidak ada pesan dari Ariana. Setelah itu, ia menarik napas dalam dan mulai fokus pada pekerjaannya.
Hari ini, ia bertekad untuk bekerja lebih baik, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depan yang sedang ia bangun.
Dewa Hampir Pingsan di Kantor
Dewa sedang fokus membaca laporan di mejanya ketika tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing. Pandangannya mulai kabur, dan dunia seakan berputar. Ia mencoba mengatur napas, tapi rasa pusing itu semakin menjadi.
Tangannya terangkat ke pelipisnya, berusaha menahan rasa sakit. Ia mencoba berdiri untuk mengambil air, tapi tubuhnya malah kehilangan keseimbangan. Kursinya hampir terjatuh saat ia limbung.
“Pak Dewa!” suara seseorang terdengar panik.
Salah satu rekan kantornya, Raka, yang kebetulan melewati ruangan, segera berlari menghampiri dan menahan tubuh Dewa sebelum benar-benar jatuh.
“Pak, Anda nggak apa-apa?” tanya Raka dengan nada cemas.
Dewa memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan diri. “Aku... cuma pusing sedikit.”
Raka mengernyit, jelas tidak percaya. “Sedikit gimana? Barusan hampir pingsan, Pak. Mending saya panggilkan tim medis kantor.”
Dewa menggeleng lemah. “Nggak usah. Aku cuma butuh istirahat sebentar.”
Namun, Raka tetap terlihat khawatir. Ia segera mengambil segelas air dan memberikannya pada Dewa. “Minum dulu, Pak. Kalau masih nggak enak badan, sebaiknya pulang saja.”
Dewa mengambil gelas itu dan meminumnya perlahan. Setelah beberapa menit, pusingnya sedikit mereda. Ia menghela napas panjang. “Makasih, Raka. Aku nggak apa-apa, serius.”
“Tetap saja, Pak. Kalau nanti makin parah, langsung kasih tahu saya atau yang lain, ya.”
Dewa tersenyum kecil. “Iya, gue bakal hati-hati.”
Raka mengangguk, meski masih terlihat cemas, lalu kembali ke mejanya. Sementara itu, Dewa menyandarkan tubuhnya ke kursi, menutup matanya sebentar. Ia sadar tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih, tapi ia juga tidak ingin terlihat lemah.
Namun, satu hal yang pasti—ia harus lebih menjaga kesehatannya.
Tak lama setelah insiden tadi, pintu ruang kerja Dewa terbuka. Ayahnya masuk dengan ekspresi serius, matanya menatap Dewa penuh kekhawatiran.
“Apa yang terjadi?” suara Ayahnya terdengar tegas namun juga mengandung nada khawatir.
Dewa mengangkat kepalanya dan mencoba tersenyum, meskipun masih terasa sedikit lemas. “Nggak apa-apa, Yah. Cuma pusing sebentar.”
Ayahnya menghela napas panjang dan berjalan mendekat, lalu berdiri di samping meja Dewa. “Raka bilang kamu hampir pingsan. Itu bukan ‘cuma pusing’ namanya.”
Dewa menunduk sedikit, tahu bahwa ia tak bisa mengelak. “Aku baik-baik saja, serius. Mungkin cuma kurang tidur.”
Ayahnya menatapnya tajam, lalu duduk di kursi di depan meja Dewa. “Kamu nggak perlu memaksakan diri seperti ini. Kalau badanmu belum benar-benar fit, lebih baik istirahat.”
Dewa menggeleng. “Aku nggak bisa terus-terusan istirahat, Yah. Aku sudah ambil keputusan untuk bekerja di sini, aku nggak mau kelihatan lemah.”
Ayahnya menghela napas lagi. “Nak, bekerja keras itu bagus, tapi kalau kesehatanmu terganggu, apa gunanya? Aku lebih butuh kamu dalam keadaan sehat daripada memaksakan diri sampai sakit.”
Dewa terdiam. Ia tahu ayahnya benar, tapi ia masih merasa harus membuktikan dirinya.
Melihat Dewa yang ragu, ayahnya melanjutkan, “Setidaknya hari ini, istirahatlah dulu. Aku nggak mau dengar kabar kamu tumbang lagi.”
Dewa menatap ayahnya, lalu akhirnya mengangguk pelan. “Baik, Yah. Aku akan istirahat sebentar.”
Ayahnya mengangguk puas. “Bagus. Kalau masih merasa nggak enak badan, lebih baik pulang saja.”
Dewa hanya tersenyum kecil dan menghela napas. Setelah ayahnya pergi, ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, memejamkan mata sebentar. Ia sadar bahwa terkadang, mendengarkan nasihat orang lain juga penting, terutama jika itu datang dari seseorang yang peduli padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments