Suasana di ruang tamu masih penuh dengan obrolan santai dan tawa kecil. Ezra dan Rangga menikmati makanan mereka dengan lahap, sementara Dewa mulai merasa tubuhnya sedikit lelah. Ia mencoba tetap fokus pada percakapan, tetapi pandangannya mulai buram, dan kepalanya terasa berat.
“Dewa, lo kenapa?” tanya Ezra, melihat Dewa yang tiba-tiba terdiam.
Dewa menggeleng pelan, mencoba tersenyum. “Gue nggak apa-apa, cuma…”
Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya limbung ke depan. Kepalanya hampir membentur meja, tetapi Rangga dengan sigap menahannya.
“Dewa!” seru Rangga panik.
Ezra buru-buru meletakkan makanannya dan berlutut di samping Dewa. Ia menepuk pipi Dewa pelan, tetapi sahabatnya itu tidak merespons.
“Bangun, Bro! Lo nggak bisa bercanda kayak gini!” Ezra semakin panik.
Rangga meraba dahi Dewa dan mengernyit. “Panas banget. Kayaknya dia kecapekan.”
Ezra bangkit dengan cepat. “Gue panggil Tante!”
Ia segera berlari ke arah kamar ibu Dewa, sementara Rangga masih berusaha menopang tubuh Dewa yang terasa lemas.
Tak lama kemudian, ibu Dewa keluar dengan wajah cemas, diikuti oleh Nayla yang terlihat ketakutan.
“Ada apa dengan Dewa?” tanya ibunya dengan suara bergetar.
“Ibu, Dewa tiba-tiba pingsan,” jelas Rangga.
Ibu Dewa segera berlutut di samping anaknya, mengusap wajahnya dengan penuh kekhawatiran. “Dewa, Nak, bangun…”
Nayla mulai menangis kecil. “Kakak kenapa, Bu?”
Ezra menggigit bibir, mencoba berpikir cepat. “Bu, kita harus bawa dia ke kamar. Mungkin dia cuma kecapekan, tapi kita nggak bisa ambil risiko.”
Dengan bantuan Ezra dan Rangga, mereka membawa Dewa ke kamarnya dan membaringkannya di tempat tidur. Ibu Dewa segera mengambil kain basah dan mengompres kening anaknya, sementara Nayla duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan kakaknya dengan cemas.
“Kakak harus bangun…” gumam Nayla lirih.
Ezra dan Rangga saling berpandangan. Mereka tahu Dewa terlalu memaksakan dirinya. Sekarang, yang bisa mereka lakukan hanyalah menunggu dan berharap Dewa segera sadar.
...****************...
Di tengah suasana panik di kamar Dewa, ponsel yang tergeletak di meja bergetar, menampilkan nama Ariana di layar. Ezra, yang berdiri paling dekat, segera meraihnya dan menatap layar sebentar sebelum melihat ke arah ibu Dewa.
“Ariana nelpon,” ucapnya pelan.
Ibu Dewa yang sedang mengompres dahi anaknya menoleh sekilas. “Angkat saja, mungkin dia khawatir.”
Ezra mengangguk dan menggeser tombol hijau, lalu menempelkan ponsel ke telinganya.
“Halo, Ana?”
Suara Ariana terdengar lembut namun penuh rasa ingin tahu. “Ezra? Kenapa kamu yang angkat? Dewa mana?”
Ezra melirik ke arah Dewa yang masih terbaring lemas. Ia mencoba berbicara dengan nada setenang mungkin. “Dewa lagi istirahat, Ari. Dia kecapekan.”
Sejenak, tidak ada jawaban dari Ariana. Kemudian, suaranya terdengar lebih khawatir. “Kecapekan gimana? Dia sakit?”
Ezra menghela napas. “Iya, tadi dia tiba-tiba tumbang. Kayaknya dia kurang istirahat.”
Ariana terdiam, lalu suaranya terdengar lebih pelan. “Aku mau ke sana.”
Mendengar itu, ibu Dewa langsung menoleh ke arah Ezra. “Bilang ke Ariana supaya nggak perlu ke sini. Dewa butuh istirahat, begitu juga Ariana.”
Ezra mengangguk, lalu kembali bicara di telepon. “Ana, Ibu bilang kamu nggak usah ke sini. Dewa cuma butuh istirahat.”
“Tapi—”
“Ana,” potong Ezra lembut. “Gue ngerti lo khawatir, tapi kalau lo datang ke sini dalam kondisi belum sepenuhnya pulih, Dewa pasti bakal makin kepikiran. Percaya sama kita, dia bakal baik-baik aja.”
Ariana menghela napas pelan. “Kamu janji bakal kasih kabar kalau Dewa udah sadar?”
Ezra tersenyum kecil. “Janji.”
Setelah beberapa detik hening, akhirnya Ariana berkata, “Oke, aku nggak akan maksa. Tolong jaga dia, ya?”
“Tentu,” jawab Ezra yakin.
Setelah menutup telepon, Ezra menaruh kembali ponsel Dewa di meja. Ia menatap sahabatnya yang masih terbaring lemah dan menghela napas panjang.
“Cepet sembuh, Bro. Ada banyak orang yang nungguin lo.”
...****************...
Ruangan masih sunyi ketika tiba-tiba Dewa mengerang pelan. Kelopak matanya bergerak sedikit sebelum akhirnya terbuka perlahan. Pandangannya masih buram, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang dingin di dahinya—kompres dari ibunya.
Dewa mengedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya lampu kamar yang remang-remang. Saat kesadarannya mulai pulih, ia menyadari bahwa ada beberapa orang di sekitarnya.
“Ibu…” gumamnya lemah.
Ibu Dewa yang masih duduk di tepi ranjang langsung tersentak dan menatap anaknya dengan mata berkaca-kaca. “Nak, kamu sudah sadar?”
Dewa mencoba mengangguk, meskipun tubuhnya masih terasa lemas. “Aku kenapa?”
Ezra, yang berdiri di sisi lain tempat tidur, bersedekap sambil menghela napas lega. “Lo tumbang, Bro. Gara-gara nggak jaga diri sendiri.”
Rangga, yang duduk di kursi dekat jendela, menambahkan dengan nada setengah bercanda, “Mungkin ini karma karena lo terlalu sok kuat.”
Dewa mencoba tersenyum kecil, meskipun kepalanya masih sedikit pusing. Ia menoleh ke ibunya yang masih menggenggam tangannya erat. “Maaf, Bu… Aku bikin Ibu khawatir.”
Ibu Dewa menggeleng cepat, menahan air matanya. “Kamu jangan minta maaf. Yang penting sekarang kamu istirahat. Jangan terlalu memaksakan diri, Nak.”
Dewa menarik napas pelan, lalu matanya beralih ke Ezra. “Ariana… dia tahu soal ini?”
Ezra mengangguk. “Dia nelepon tadi. Dia khawatir banget, tapi gue bilang supaya dia nggak ke sini dulu.”
Dewa menghela napas lega. “Bagus. Aku nggak mau dia ikut kepikiran.”
Ibu Dewa mengusap kepala anaknya dengan lembut. “Sekarang, kamu tidur lagi, ya? Biar cepat pulih.”
Dewa hanya mengangguk kecil. Matanya mulai terasa berat lagi, tapi kali ini ia tidur dengan lebih tenang, karena tahu bahwa ada banyak orang yang peduli padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments