Chapter 15

"Aku tanya berapa total makanan yang harus dia bayar?" Damian mengulangi kata-katanya, menatap waiter tersebut dengan wajah dinginnya seperti biasa.

Waiter tersebut sampai bergidik ngeri. Pria itu terlalu tampan, tetapi terlalu menakutkan untuk di dekati. Sorot matanya yang tajam saja sudah amat sangat mengintimidasi siapa saja yang berbicara dengannya. Terutama kaum hawa.

"Se-sembilan ratus ribu tu- tuan." kata waiter itu malu dan takut-takut.

"Potong dari sini saja." Damian mengeluarkan black card-nya dari dalam dompet dan menyodorkan ke waiter wanita itu. Sementara proses pembayaran, pandangan Damian berpindah ke Talia.

Hanya gadis itu yang tidak takut membalas tatapannya. Mereka saling bertatapan lama. Damian melihat gadis itu tampak kesal dan membuang muka darinya.

"I- ini kartunya tuan." pelayan perempuan itu mengembalikan kartunya ke Damian, melirik Talia sebentar, lalu keluar dari ruangan tersebut secepat mungkin.

Suasana berubah tenang, karena Talia belum bicara. Gadis itu masih menatap Damian dengan wajah lucunya. Lucu di mata Damian tentu saja. Sesaat kemudian ekspresinya berubah. Talia berdiri dan berkacak pinggang di depan Damian.

Damian masih tidak bicara. Karena dia ingin gadis itu yang buka suara lebih dulu. Asal jangan menyanyi saja. Kepalanya bisa pusing.

"Kamu," Talia maju lebih dekat, berhenti di depan pria itu. Sebelah tangannya menunjuk, sebelahnya lagi di letakan di pinggangnya.

Damian memeluk tangannya di dada dengan gaya sombong, menunggu apa yang akan gadis itu ucapkan. Apa dia akan dimarahi karena pergi tanpa pamit bahkan tidak meninggalkan pesan apapun?

"Kamu tinggi banget. Lubang hidungmu keliatan bagus banget dari bawah sini. Kamu operasi hidung?"

Damian mengangkat alisnya. Dari sekian banyak hal yang bisa gadis ini katakan, itu yang keluar dari mulutnya? Damian sampai tidak tidak bisa berkata-kata.  Ujung bibirnya berkedut. Bisa-bisanya si bocah besar ini.

Operasi hidung? Huh! Dari kecil dirinya sudah terlahir dengan  bentuk wajah yang hampir sempurna. Untuk apa dia operasi.

"Menurutmu?" satu kata itu keluar dari mulut Damian.

"Nggak oplas? Itu asli? Masa sih? Tapi bener juga sih di dunia ini ada yang terlahir dengan wajah dan fisik yang sempurna, contohnya aku. Heran aja kenapa nggak ada agency yang sadar kalau ada emas tersembunyi di dalam kota ini. Padahal kalau aku jadi penyanyi atau paling kurang pemain film, aku pasti akan langsung terkenal di debut pertamaku, agency tempat aku bernaung akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Secara, artis terkenal!" Talia mengatakan kalimat panjang lebar itu sambil membusungkan dadanya bangga.

Mulut Damian sedikit terbuka. Tidak paham dari mana kepercayaan diri Talia ini datang.

Damian menatap Talia dengan ekspresi tercengang, tetapi dia tertarik untuk terus mendengar gadis itu berceloteh. Selama ini ia terlalu tenang, butuh seseorang yang cerewet seperti gadis di depannya ini.

"Jadi ..." Damian menyandarkan punggungnya ke kursi dengan ekspresi santai.

"Kau yakin bisa jadi penyanyi?"

Talia mengangguk penuh keyakinan.

"Jelas dong! Aku punya suara yang luar biasa uniknya, wajah yang menarik, dan karisma alami. Coba bayangkan aku tampil di atas panggung dengan lampu sorot menyorot wajahku yang bersinar. Semua orang akan bersorak. Fans-ku akan memenuhi stadion!"

Damian menatapnya lama, ingin tertawa tapi dia tahan. Beberapa menit kemudian akhirnya ia berkata,

"Tapi di telingaku suaramu lebih cocok untuk mengusir setan. Kau lupa apa kata mamamu? Babi-babi tetanggamu juga pasti kabur."

Talia mengerucutkan bibirnya dan mencebik.

"Cih, sudah menghilang gak pamit dan bikin orang yang nolongin dia sakit hati, pas ketemu malah langsung jatohin mental anak soleh. Dasar netizen. Untung orang yang di bully mentalnya kuat, kalo nggak udah bunuh diri pasti."

Kata-kata itu sukses membuat Damian tertawa kecil, suara rendahnya terdengar menggema di ruangan. Dia sampai lupa Bian dan Bas masih menunggunya di ruangan sebelah. Ia sungguh lupa waktu kalau sedang berhadapan dengan si cerewet absurd yang mengaku-ngaku pendiam itu.

"Jadi sekarang aku netizen?" Damian mengangkat alis, menatap Talia dengan pandangan penuh minat.

"Ya iyalah!" Talia melipat tangan di dada.

"Kamu nyinyir banget, tahu gak? Netizen yang budiman itu kalau ngomentarin sesuatu, minimal kasih solusi atau motivasi."

Damian mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.

"Oh? Mau solusi?"

Talia menelan ludah. Ini pertama kalinya Damian sedekat ini dengannya, dan anehnya, jantungnya sedikit berdebar. Tapi tentu saja, dia mengira itu debaran yang tiba-tiba muncul karena kaget.

"A- apa?" Talia menantang, meski tubuhnya sedikit menegang.

Damian menatapnya sebentar sebelum akhirnya bersandar lagi.

"Solusinya, jangan nyanyi. Dunia ini belum siap mendengar suara nyanyianmu."

Talia membuka mulut, lalu menutupnya lagi tetapi menatap Damian dengan wajah dongkol.

"Apa?" Damian menantangnya balik, ekspresi jahil tersirat di matanya yang tajam.

"Dasar nyebelin!" Talia akhirnya mendesis, wajahnya cemberut.

Damian tersenyum kecil.

"Terima kasih."

Talia mendelik.

"Itu bukan pujian."

"Menurutku itu pujian." Damian mengangkat bahu.

Talia menghela napas panjang, lalu kembali duduk.

"Ganti topik aja biar aku gak makan hati terus. Kenapa kamu pergi gak bilang-bilang? Kamu tahu aku cariin kamu kemana-mana? Aku pikir kamu  cari makanan doang di dapur, eh ternyata beneran pergi. Mana perginya nggak tinggalin apa-apa lagi. Tulis surat ke, kasih tanda mata atau kasih aku duit gitu. Hitung-hitung tanda terimakasih karena udah tolongin kamu. Aku kan agak matre anaknya." ceplos Talia hingga Damian tidak tahan lagi. Tangannya terangkat mencubit pipi Talia. Hal yang tidak pernah dia lakukan pada siapapun kecuali Bian.

"Ih, sakit tahu!"

Damian hanya terkekeh. Saat sadar, ia cepat-cepat bersikap biasa lagi dan berdeham.

"Papa? Papa kok lama banget?"

Seorang bocah muncul di depan pintu ruangan itu bersama pria dewasa. Damian dan Talia sama-sama menatap ke arah mereka. Talia mengernyitkan dahi, ia terus menatap Bian, merasa bocah itu familiar. Otaknya berpikir keras.

"Kakak fales? Pa, kakak ini yang waktu itu nyanyinya jelek banget terus jatoh dari bangku taman?"

Talia melotot. Dia menatap Bian, lalu menatap Damian bergantian beberapa kali. Wajahnya melongo seperti orang bodoh dan nampak  sangat lucu di mata Damian.

Terpopuler

Comments

Dwi Winarni Wina

Dwi Winarni Wina

Jodoh gak akan lari kemana damian bertemu dgn talia gadis absurd dan somplak.....
Waduuuh malu-maluin talia makan gak bisa bayar dan beruntung bertemu damian langsung membayar tagihannya....

Damian sangat happy bertemu lagi dgn talia membuatnya kepikiran,,asal jgn sampai nyanyi aja talia membuat sakit kepala dgn mendengar suaranya sangat jelek dan sumbang klo bernyanyi....

Talia berkecak pinggang marah sm damian pergi tanpa pamit dan tidak meninggal surat,,,...

lanjut Thor...
semangat sll...
sehat sll......

2025-02-21

7

Arin

Arin

Biarpun suara Kakak Fales.......
Tapi udah bikin hati Papa Damian kebat kebit. Tak bisa lupain si Kakak Fales. Pengin dekat2 dengar kata2 absurdnya.....
Hati Damian udah ter-Talia Talia.......

2025-02-21

4

Sugiharti Rusli

Sugiharti Rusli

apa akhirnya si Talia menyadari kalo suaranya memang ga banget jadi penyanyi dengan mendengar ucapan seorang bocah yang pasti jujur dengan ucapannya tuh😝😝

2025-02-21

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!