9 Pintu Perunggu
9 Pintu Perunggu
Anila baru saja melangkah satu kali di depan pintu kamarnya. Tiba-tiba, ia sudah berada di tempat lain yang gelap gulita. "Ini di mana? Kenapa semua gelap?" gumam Anila, menoleh ke kanan dan kiri, namun hanya kegelapan tanpa cahaya yang ia lihat.
Ia mencoba meraba sekelilingnya, dan tangannya menyentuh dinding di sebelah kiri. Anila bangkit, berjalan meraba-raba di sepanjang dinding, tetapi ia tersandung sesuatu dan terjatuh, membuatnya terduduk di tempat.
"Ini di mana sih? Tadi masih siang, kenapa sekarang gelap banget di sini?" batin Anila, firasatnya mulai tak enak. Ia menarik napas dalam-dalam. "Tenang, Anila. Kamu harus tenang dan berpikir jernih."
Di tengah kegelapan total, Anila mencoba fokus. "Apa yang harus kulakukan? Kenapa nasibku sial sekali? Aku cuma mau ambil minum, bukan masuk ke tempat gelap seperti ini," keluhnya. Pikirannya terpecah. Satu sisi memintanya untuk tetap hidup dan mencari jalan keluar, sementara sisi lain membisikkan bahwa ini adalah karma karena ia orang yang tak berguna.
Anila mengabaikan suara-suara itu dan kembali meraba tanah di depannya, berharap menemukan sesuatu yang bisa digunakan. Setelah lama mencari, tangannya menyentuh sesuatu yang aneh. Ia tersenyum tegang dengan wajah berkerut, merasakan ketakutan yang luar biasa. "Ini... bukan tengkorak, kan?" tanyanya pada diri sendiri. Meskipun wajahnya tersenyum, hanya ia yang tahu betapa takutnya ia saat itu. Tapi dia tetap mencari dengan tangan kosongnya untuk bisa keluar dari kegelapan yang aneh dan dingin yang ia rasakan.
“Anila kamu pasti bisa,”ucapnya mencoba merabah kembali yang ada didepannya.
Tanpa pilihan lain, Anila meraba benda di depannya. Ia berharap itu bukan yang ia bayangkan, namun struktur tulang panjang yang ia rasakan membuatnya terdiam. "Kurasa ini seperti yang aku bayangkan. Apa aku sudah mati?" gumam Anila, kini ia yakin dengan apa yang ia sentuh.
"Halo! Ada orang di sini?" teriaknya. Suaranya hanya menggema di lorong yang sunyi.
Anila menunduk lesu, namun ia terus meraba ke depan dengan berani. Tak lama kemudian, ia menemukan sebuah tas dan benda lain, sebuah senter. Dengan cepat, ia menyalakannya senter yang ia temukan. Cahaya yang keluar membuatnya merasa lega, dan ia mengarahkan senter ke depan. Sorot cahaya itu jatuh tepat pada sebuah tengkorak manusia.
"Maaf sudah mengganggu, Tuan. Tolong jangan marah, ya. Jiwa yang kesepian," kata Anila, tersenyum pahit. Ia menggeledah tas di samping tengkorak itu. "Kenapa enggak ada barang bagus?" keluhnya setelah mengeluarkan semua isinya.
Namun, ia menemukan sebuah catatan dan beberapa makanan kering seperti roti. Anila menatap tengkorak itu, bingung. "Bagaimana orang ini bisa mati? Persediaan makanan dan airnya masih ada."
Merasakan ada yang janggal, Anila bangkit. Ia melihat lorong panjang di depannya dan mulai berjalan. Tapi saat melewati tengkorak pertama, ia melihat banyak tengkorak lain tergeletak di depannya membuat dia berhenti melangkah.
“Sebenarnya ini ada dimana sih, kenapa aku bisa ada disini,”tanya Anila sendiri. Didepan Anila dia melihat beberapa di antaranya membawa senjata. Anila tersenyum, menemukan barang bagus untuk perlindungan. Saat ia hendak berbalik, ia terkejut melihat jalan di belakangnya kini hanya tembok.
"Bagaimana bisa? Tadi kan ada lorong di belakangku, kenapa sekarang sudah tidak ada?Apa yang terjadi sebenarnya disini" gumam Anila. "Sial! Ini di mana sih?!" Wajahnya dipenuhi rasa kesal dan ketakutan.
Ia terdiam sesaat, mencoba mencerna situasinya. "Apa aku di dalam makam kuno? Tapi itu tidak mungkin," pikirnya sambil menggelengkan kepala. Anila berjalan melewati setiap tengkorak, mengambil beberapa sepatu yang muat di kakinya, tidak lupa Anila juga mengambil senapan yang bisa dia bawa.
"Oke, sudah siap. Ayo cari jalan keluar. Anila kamu pasti bisa selamat di tempat ini," katanya menyemangati diri sendiri. Dengan sebuah senapan kuno di tangan, yang berbeda dari film yang pernah ia tonton, Anila terus berjalan. "Gimana cara pakai senjata ini ya?" pikirnya lagi.
Ia terus melangkah hingga melihat lorong lain dan segera berbelok. Namun, ia terkejut melihat patung-patung berdiri tidak beraturan di depannya. "Ini apalagi?"
Patung-patung itu menghalangi lorong. Anila mengamati salah satu patung yang terlihat berbeda dan mendekatinya. "Apa ini bisa ditekan? Apa enggak berbahaya?" pikirnya. "Kalau ditekan pakai tangan, mungkin aku bisa kena jebakan. Pakai alat saja."
Anila menggunakan ujung senapan untuk menekan mata patung, tetapi tidak ada yang terjadi. Ia mencoba hidung dan bagian lain. "Bukan ditekan, apa diputar matanya?"
Karena tidak menemukan solusi pada patung, Anila mencari ke sisi dinding. Ia mengamatinya dengan saksama dan menggunakan senapan untuk menekan ubin yang terlihat berbeda.
"Ini bisa ditekan!" serunya, menekan ubin itu hingga ke dalam. Seketika, semua patung bergerak, membuka jalan untuknya. Anila merasa lega, tetapi tetap waspada. "Apa sudah aman?" gumamnya, takut patung-patung itu akan menjebaknya lagi.
Ia berjalan hati-hati, matanya mengawasi ke kanan dan kiri. "Kenapa ada patung di lorong? Sebenarnya mereka menyembunyikan apa?"
"Akhirnya keluar juga," kata Anila lega saat melewati area patung. Namun, melihat lorong panjang di depannya, ia kembali lemas.
“Kapan ini akan berakhir,”guman Anila yang ingin duduk dilorong. Tapi karena suasana lorong yang dingin dan sunyi membuat dia terus berjalan ke depan.
"Aku ingin pulang. Bagaimana aku bisa ada di sini? Apa aku sudah pindah tempat? Atau mati? Itu tidak mungkin," batin Anila.
Di lorong yang panjang dan gelap, ia memikirkan kondisinya dan orang tuanya. Kekhawatiran itu mendorongnya untuk berjalan lebih cepat. Setelah jauh dari lorong patung, ia melihat lorong lain dengan akar rumput kering yang merambat di dindingnya. Anila tidak langsung masuk. "Apa lorong itu aman?"
Saat ia bertanya pada dirinya sendiri, Anila merasa ada bayangan hitam dan sosok tak dikenal di belakangnya. Ketika ia menoleh, tidak ada siapa-siapa. Tubuhnya merinding, dan suasana terasa dingin. Ia berusaha tetap berpikir positif dengan wajah tersenyum polos tanpa dosa.
"Aku harus kuat. Jangan takut, Anila. Kamu pasti bisa," ucapnya menyemangati diri sendiri. Anila pun melangkah ke lorong penuh rumput merambat itu, siap menghadapi apa pun yang ada di depan. Baru satu langkah ia berhenti karena merasakan ada yang salah dengan rumput kering yang ada di dinding lorong.
“Apa aku berhalusinasi kalau rumput ini bergerak ya,”guman Anila mengarahkan senter ke arah rumput kering disampingnya. Tapi setelah melihat dengan seksama rumput kering itu tidak ada yang salah hanya diam saja.
“Apa ini hanya firasatku saja. Tapi ini membuat aku takut, Anila. Bagaimana ini?,”ucap Anila berjongkok tertunduk dan tidak ingin melangkah maju ke depan. Tapi di saat Anila menyerang dia mendengar suara bisikan di telinga membuat dia merasa merinding.
“Aku harus keluar dari sini,”kata Anila menyemangati dirinya sendiri berdiri dan melangkah ke depan. Tapi apa yang akan ditemukan oleh Anila sebenarnya didepan sana?.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments