Lead The Way: Terdepan

Lead The Way: Terdepan

Chapter 1

TOKYO, 28 NOVEMBER

Hari itu hujan deras. Seorang mahasiswi bernama Uminoke berjalan pulang dari kampus ke rumah menggunakan payung birunya. Ia hanyalah gadis biasa yang memiliki kehidupan sendiri bersama kakak perempuannya, Kachi. Ia berhenti dan menengadah menatap langit.

"Bau hujan hari ini sangat berbeda," dia terdiam melihat langit dan merasakan sesuatu yang aneh. Ia melihat ke arah barat, di mana langit berwarna biru gelap. Di selatan, langit berwarna abu-abu dengan banyaknya awan.

"Kenapa warna mereka berbeda, ini tidak seperti biasanya?" ia terdiam berpikir.

Ia lalu kembali melanjutkan jalannya. Namun, ia kembali menengadah melihat ke arah atap sebuah gedung besar. Ada seorang lelaki bersandar santai di pojok balkon atap gedung tersebut. Lelaki itu hanya terlihat dari belakang.

"Apa yang sedang dia lakukan di sana? Apa dia tidak kehujanan?" pikir Uminoke dengan bingung. Karena ponselnya berbunyi, Uminoke harus kembali melanjutkan jalannya. Kachi sudah menunggunya pulang. Kachi adalah kakak perempuannya.

"Aku kembali."

"Selamat datang, bagaimana soal sekolahmu?" kata Kachi dengan wajah penuh kasih sayang.

"Ya, seperti biasa. Ngomong-ngomong, Kakak, apa kau merasa hujan kali ini baunya berbeda?"

"Ya, baunya seperti darah kotor. Hm... mungkin hanya efek pemanasan global."

"Tapi aku juga membaca di berita, hujan ini menyebabkan sakit parah bagi mereka yang benar-benar kebasahan."

"Itu sudah biasa, mungkin hanya demam. Cepat ganti pakaianmu, kita makan bersama."

"Baiklah, aku akan mandi dulu," balas Uminoke yang berjalan ke kamar mandi. Dia berendam air hangat di bak mandi sembari berpikir.

"Hujan ini membuat perasaanku tidak nyaman saat mandi. Dan lagi... Aku masih memikirkan lelaki tadi. Dia terlihat seperti seseorang yang tinggi, tapi aku belum tahu karena aku tidak melihatnya berdiri."

Setelah itu, Uminoke berjalan ke kamarnya dan mengganti baju. Lalu, ia berjalan ke meja makan.

"Uminoke, aku ada sedikit pekerjaan di luar kota. Mungkin aku akan pergi selama satu minggu penuh. Apakah kamu bisa menjaga dirimu sendiri?"

Kachi merupakan seorang asisten direktur di sebuah perusahaan. Kali ini, dia harus ikut atasannya pergi ke luar kota dan meninggalkan Uminoke.

"Ya, aku bisa. Kakak tak perlu khawatir. Ini sudah biasa sejak Ibu dan Ayah pergi."

Setelah Uminoke berkata begitu, Kachi mulai memasang wajah sedih. "Uminoke... wajahmu terlihat biasa saja saat membicarakan Ibu dan Ayah... Maafkan aku... Uminoke."

Pagi hari berikutnya adalah waktu bagi Kachi untuk pergi ke luar kota.

"Umin, aku pergi dulu... Astaga, kenapa hujannya tak mau berhenti sejak kemarin," kata Kachi sambil kecewa menatap langit yang terus mendung.

"Apa Kakak benar-benar akan pergi? Di luar hujan dari kemarin belum reda dan sepertinya baunya tercemar."

"Yah, aku tahu. Tapi nanti kamu makan apa jika aku tidak bekerja? Bagaimana dengan sekolahmu?"

"Sepertinya diliburkan karena dosennya tak ada."

"Kalau begitu, belajarlah di rumah. Kau ingin jadi dokter, kan? Jika aku sakit, kau bisa merawatku," Kachi mengelus kepala Uminoke dengan cepat.

"Apaan sih, aku ini sudah mau jadi dokter. Universitas sudah menerimaku."

"Haha, kalau begitu, aku pergi," Kachi membalikkan badan. Tapi, Uminoke seperti menahan sesuatu. "Ka-Kakak," ia memanggil. Lalu Kachi menoleh. Uminoke langsung memeluknya. "Cepatlah pulang."

"Ya, aku janji," Kachi membelai rambutnya. Lalu ia berjalan pergi ke stasiun menggunakan payung.

Selama satu minggu ke depan, Uminoke tinggal sendiri tanpa kakaknya.

Waktu berlalu, Uminoke terlihat duduk sendiri di sofa melihat televisi yang menyala. Ia mendengarkan berita cuaca. "Hujan diperkirakan tidak akan berhenti sampai akhir pekan karena pemanasan global. NASA akan menelitinya lebih lanjut," kata sebuah berita tersebut.

"Benar-benar mengerikan, tapi aku benar-benar tidak percaya sama sekali," Uminoke terdiam bosan melihat televisinya.

Lalu, Uminoke beranjak ke dapur dan membuka rak. Ia menjadi bingung. "Di mana telurnya? Sepertinya habis. Aku akan membelinya," ia mengambil payung dan berjalan keluar di tengah hujan yang tak begitu deras.

Semua orang terlihat tetap bekerja ke kantor meskipun cuacanya buruk. "Mereka benar-benar tidak punya istirahat di saat hujan begini. Itu sebabnya ada banyak yang sakit sekarang. Mereka lebih mementingkan pekerjaannya. Bagaimana jika dunia ini berakhir? Pastinya mereka tidak akan bisa berjalan begini lagi." Uminoke terus melihat orang-orang yang melewatinya. Hingga ia berhenti karena di depannya ada orang yang tak terlihat wajahnya karena tertutup payung.

Orang itu mengangkat payungnya, dan terlihat seorang lelaki tinggi dengan kucing hitam di pundaknya.

"Yo, kau lagi," kata lelaki itu dengan tatapan haus darah, mata sedikit lemas, dan rambut berantakan tipis berwarna biru tua. Ia memakai mantel hitam seperti layaknya seorang pengawal pribadi.

"Apa kita pernah bertemu?" Uminoke menatap bingung.

"Hm... Kita tidak pernah bertemu. Tapi kau yang menemukanku dulu," lelaki itu membalas dengan senyuman palsu. Uminoke semakin curiga, tapi ia terkejut karena lelaki itu adalah lelaki yang pernah ia lihat di balkon sebuah gedung. "A-apa... Bagaimana bisa... Apa dia benar-benar melihatku saat itu? Tapi... saat itu dia sedang membelakangi ku," Uminoke terpaku. Ia melihat sebuah kalung liontin perak yang dipakai lelaki itu. "Liontin itu... Sepertinya aku pernah melihatnya. Biarkan aku mengingat-ingat... Aduh, lupa," dia berkeringat dingin menatap aura lelaki itu.

"Namaku Line, dan kau pasti Uminoke," tatapnya.

"Bagaimana dia bisa tahu namaku?!" Uminoke berpikir terkejut.

"Tak usah kaget, aku adalah orang yang baru saja kau kenal."

"Tu-tunggu, sebelumnya aku tak mau ada masalah. Kau salah paham... Kita belum pernah bertemu sebelumnya."

"Kita pernah bertemu. Apa kau benar-benar tidak ingat aku?"

"Tu-tunggu... Kata 'bertemu' di kalimatnya berarti kita pernah bertemu dan bertatap muka... Tapi aku hanya melihatnya kemarin," Uminoke terdiam dan menjadi bingung. Dia seperti dipermainkan oleh lelaki itu.

"Jadi, aku hanya ingin memberitahumu sesuatu," lelaki yang bernama Line itu mendekat dan berbisik.

"Dalam waktu tujuh hari ke depan, dunia ini akan menjadi dunia orang mati. Saat hujan berhenti di akhir pekan, kau akan melihat sesuatu yang membuatmu berteriak takut," kata Line. Uminoke terbawa arus bisikan Line. Tiba-tiba, ada seseorang yang memegang pundaknya dari belakang. Ia menoleh dengan terkejut.

"Permisi, Gadis, kau menghalangi jalan orang-orang," kata orang yang menepuk pundaknya itu.

Uminoke menoleh ke depan lagi, tapi Line sudah tak ada, membuat Uminoke panik dan bingung.

"Ap-apa... Apa yang terjadi?! Di mana dia? Apa itu tadi hanya perasaanku? Perkataannya seperti sebuah bisikan saja," ia terpaku bingung dan sedikit penasaran dengan lelaki tadi.

Hari selanjutnya, Uminoke terlihat sedang mengerjakan sebuah buku di kelas kampusnya. Di luar, hujan masih turun.

"Haiz... Sampai kapan ini akan berakhir... Juga... Kenapa dia terus masuk ke pikiranku?" dia terdiam mengingat lelaki bernama Line kemarin. "Jika dipikir-pikir, dia memanglah tampan, tapi kenapa terlihat seperti pembunuh bayaran, atau mantan militer, atau yang lainnya... Kenapa dia bisa bilang kita pernah bertemu? Untuk sesaat aku benar-benar merasa takut diteror olehnya," dia mengepalkan tangannya dengan kesal. 

Lalu, beberapa temannya datang. "Hei, Umin, apa kau merasa ada yang aneh dengan hujan ini? Aku jadi tak bisa menjemur baju, benar-benar menjengkelkan," kata temannya yang mengeluh.

"Em... Mungkin aku juga merasa begitu... Em... Apa kalian percaya bahwa hujan ini akan membuat kita mati?" Uminoke menatap mereka. Temannya terdiam.

"Pfttt... Hahah... Mana ada hujan bisa membunuh," mereka tertawa tak percaya.

Uminoke merasa bingung. "Kenapa mereka tidak percaya? Tapi benar juga... Jangan-jangan lelaki itu hanya berbohong padaku."

Hingga hari ketujuh, Uminoke terbangun dari tidur paginya. "Hng... Hoamm..." ia menguap, mengumpulkan nyawa. Lalu terdiam karena tak mendengar suara hujan sedikit pun. Ia keluar dari rumah dan terkejut senang karena hujan tujuh hari itu sudah reda. Namun, tanaman-tanaman di sekitar semuanya mati dan jalanan terasa sepi.

"Ini begitu aneh, bukannya terlalu sepi," ia masih melihat ke sekitar dengan bingung.

Mendadak, ada pria berjalan sempoyongan jauh di depannya. Pria itu menundukkan kepalanya.

Uminoke tetap terdiam, lalu memutuskan untuk mendekat perlahan padanya.

"Em... Permisi, Pak, apa kau baik-baik saja?" Uminoke mencoba mendekat, tapi ia terkejut dan terpaku saat melihat wajah pria itu yang penuh darah. Orang itu menggeram pelan dan akan menyerangnya perlahan. Karena takut, Uminoke menjadi berteriak. "A... Tolong!"

Mendengar suara teriakan Uminoke, pria itu langsung mengaum keras dan akan menggigitnya. Uminoke segera berlari masuk ke rumahnya dan menutup pintu.

Pria aneh itu terus berusaha membuka pintu itu dengan menggedor-gedornya, dan anehnya dia seperti orang gila tanpa akal yang memukul-mukul kepalanya di pintu hingga membuat pintu Uminoke berlumur darah. Uminoke hanya bisa menahan pintu itu dengan tubuhnya sambil ketakutan, menutup mata, dan menutup mulutnya dengan tangannya.

Tak beberapa lama kemudian, suara pria aneh itu tak terdengar lagi. Uminoke mencoba melihat dari jendela. Yang ia lihat, pria itu sudah tak ada, menyisakan darah-darah di depan pintu.

Uminoke menghela napas, tapi tiba-tiba pria itu muncul memperlihatkan diri di luar jendela.

"Ah...!!!!" Uminoke terkejut dan mundur perlahan dengan tangisannya. Pria itu terus mencoba memecahkan kaca, dan kaca itu sudah hampir retak. "Seseorang, aku mohon tolong aku, aku tidak mau mati di sini... Aku mohon, seseorang..." kini hidup Uminoke terancam.

Tapi tiba-tiba saja kepala orang itu tertembus pisau dari belakangnya, membuatnya tumbang. Karena tembusan pisau itu, kaca jendela jadi pecah. Untungnya pria itu mati berdarah-darah. Pisau tersebut ditarik kembali oleh seseorang yang ternyata adalah Line, lelaki yang bertemu Uminoke saat hujan. Terlihat ia menatap dingin dengan pisau yang ia kibaskan untuk membersihkannya dari darah. Uminoke yang ketakutan, tak tahu apa yang terjadi karena dia gemetar menutupi wajahnya.

"Hei, bukankah aku sudah bilang?" Line berdiri di depannya dengan suara yang lebih kasar.

Lalu Uminoke menengadah dan menatapnya.

"K-kau," ia berdiri dan menatap bingung.

"Bukankah aku sudah bilang padamu, dunia ini akan hancur."

Uminoke yang mendengar itu merasa geram dan seketika menampar Line, membuat lelaki itu terpaku dengan pipinya yang menjadi berbekas tangan Uminoke.

Episodes
1 Chapter 1
2 Chapter 2
3 Chapter 3
4 Chapter 4
5 Chapter 5
6 Chapter 6
7 Chapter 7
8 Chapter 8
9 Chapter 9
10 Chapter 10
11 Chapter 11
12 Chapter 12
13 Chapter 13
14 Chapter 14
15 Chapter 15
16 Chapter 16
17 Chapter 17
18 Chapter 18
19 Chapter 19
20 Chapter 20
21 Chapter 21
22 Chapter 22
23 Chapter 23
24 Chapter 24
25 Chapter 25
26 Chapter 26
27 Chapter 27
28 Chapter 28
29 Chapter 29
30 Chapter 30
31 Chapter 31
32 Chapter 32 Saber-Tooth
33 Chapter 33 Saber-Tooth
34 Chapter 34 Kachi Flashback
35 Chapter 35 Kachi Flashback
36 Chapter 36
37 Chapter 37
38 Chapter 38
39 Chapter 39
40 Chapter 40 Rafid Flashback
41 Chapter 41 Rafid Flashback
42 Chapter 42
43 Chapter 43
44 Chapter 44
45 Chapter 45
46 Chapter 46
47 Chapter 47
48 Chapter 48
49 Chapter 49
50 Chapter 50
51 Chapter 51
52 Chapter 52 Suga Flashback
53 Chapter 53 Suga Flashback
54 Chapter 54
55 Chapter 55
56 Chapter 56 Luke Flashback
57 Chapter 57 Luke Flashback
58 Chapter 58
59 Chapter 59
60 Chapter 60
61 Chapter 61
62 Chapter 62 Zahra Flashback
63 Chapter 63 Zahra Flashback
64 Chapter 64
65 Chapter 65
66 Chapter 66 Nicol Flashback
67 Chapter 67 Nicol Flashback
68 Chapter 68 Barbara Flashback
69 Chapter 69 Barbara Flashback
70 Chapter 70
71 Chapter 71
72 Chapter 72
73 Chapter 73
74 Chapter 74
75 Chapter 75
76 Chapter 76
77 Chapter 77
78 Chapter 78
79 Chapter 79
80 Chapter 80 Chief Flashback
Episodes

Updated 80 Episodes

1
Chapter 1
2
Chapter 2
3
Chapter 3
4
Chapter 4
5
Chapter 5
6
Chapter 6
7
Chapter 7
8
Chapter 8
9
Chapter 9
10
Chapter 10
11
Chapter 11
12
Chapter 12
13
Chapter 13
14
Chapter 14
15
Chapter 15
16
Chapter 16
17
Chapter 17
18
Chapter 18
19
Chapter 19
20
Chapter 20
21
Chapter 21
22
Chapter 22
23
Chapter 23
24
Chapter 24
25
Chapter 25
26
Chapter 26
27
Chapter 27
28
Chapter 28
29
Chapter 29
30
Chapter 30
31
Chapter 31
32
Chapter 32 Saber-Tooth
33
Chapter 33 Saber-Tooth
34
Chapter 34 Kachi Flashback
35
Chapter 35 Kachi Flashback
36
Chapter 36
37
Chapter 37
38
Chapter 38
39
Chapter 39
40
Chapter 40 Rafid Flashback
41
Chapter 41 Rafid Flashback
42
Chapter 42
43
Chapter 43
44
Chapter 44
45
Chapter 45
46
Chapter 46
47
Chapter 47
48
Chapter 48
49
Chapter 49
50
Chapter 50
51
Chapter 51
52
Chapter 52 Suga Flashback
53
Chapter 53 Suga Flashback
54
Chapter 54
55
Chapter 55
56
Chapter 56 Luke Flashback
57
Chapter 57 Luke Flashback
58
Chapter 58
59
Chapter 59
60
Chapter 60
61
Chapter 61
62
Chapter 62 Zahra Flashback
63
Chapter 63 Zahra Flashback
64
Chapter 64
65
Chapter 65
66
Chapter 66 Nicol Flashback
67
Chapter 67 Nicol Flashback
68
Chapter 68 Barbara Flashback
69
Chapter 69 Barbara Flashback
70
Chapter 70
71
Chapter 71
72
Chapter 72
73
Chapter 73
74
Chapter 74
75
Chapter 75
76
Chapter 76
77
Chapter 77
78
Chapter 78
79
Chapter 79
80
Chapter 80 Chief Flashback

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!