Emosi Nicko

"Ini pasti ulah papa, pasti papa yang bikin Dinda di keluarkan dari kampus, aku harus ngomong sama papa," ucap Nicko, dengan menahan emosinya, setelah panggilan telepon dari sahabatnya Raffi mati.

Dengan melangkah cepat, Nicko keluar dari kamarnya dan pergi menemui sang papa, Nicko harus berbicara dengan papanya, dia tidak boleh diam saja.

"Pa, papa," panggil Nicko, dengan suara kerasnya, mengemang di ruang tengah.

"Den Nicko, cari tuan?"

"Ia bi, di mana papa bi? Apa masih di ruang kerjanya?"

"Tuan sedang berada di taman belakang bersama nyonya den," jawab wanita baya itu.

Dengan melangkah lebar, Nicko pergi mencari sang papa di taman belakang, dan benar saja Nicko melihat tuan Nigel dan nyonya, Amelia sedang bersantai di sana.

"Papa," panggil Nicko, membuat kedua orang tuanya melihat ke arah putra mereka.

"Sayang, ada apa?" Tanya nyonya Amelia, dengan suara lembutnya, sedangkan tuan Nigel, menatap putranya biasa saja.

"Papa kan yang udah ngeluarin Dinda dari kampus, kenapa papa lakuin ini semua si pa, Nicko udah ngikutin semua apa yang papa mau, kenapa papa harus membuat Dinda keluar dari kampus pa, kenapa?" Teriak Nicko, menatap sang papa dengan kedua mata memerah karena emosi dan sedih.

"Anak seorang penghianat memang harus pantes menderita, dan papa mau dia menderita," ucap tuan Nigel, tersenyum sinis.

"Apa, papa mau Dinda menderita, pa Dinda sedang mengandung anak aku pa, cucu papa, kenapa papa tega lakuin itu ke Dinda pa, Dinda sudah cukup menderita karena aku pergi meninggalkan dia tampa pamit, kenapa sekarang papa bikin dia tambah menderita pa," teriak Nicko, yang sudah tidak dapat menahan air matanya lagi, menatap sang papa dengan kedua mata berkaca-kaca.

"Cukup Nicko, jangan kamu menangis hanya karena wanita itu, meskipun dia sedang mengandung darah daging keluarga Sanjaya, tapi papa gak sudi menerima anak itu," ucap tuan Nigel, balas menatap Nicko dengan tajam.

"Apa salah Dinda pa, kenapa papa begitu membenci Dinda, aku cinta sama Dinda pa, aku cinta sama dia."

"Tau apa kamu soal cinta, kamu hanya di butakan oleh cinta."

"Nicko akan kembali ke Indonesia, Nicko akan menikahi Dinda, Nicko gak perduli apa kata papa," ucap Nicko, bersiap berbalik dan melangkah meninggalkan kedua orang tuanya.

"Kalau kamu pergi dan ingin menikahi dia, jangan salahkan papa, kalau Dinda dan anak kamu akan tiada," ucapan tuan Nigel, membuat langkah Nicko terhenti.

Nicko lalu berbalik, dan menatap sang papa penuh mohon, dengan air mata berlinang membasahi pipinya yang mulus.

"Nicko mohon, jangan sakitin Dinda dan anak kami, Nicko akan ikutin semua mau papa, tapi tolong jangan biarkan Dinda menderita pa, Dinda sedang hamil anakku saat ini, Nicko mohon, Nicko akan turutin semua kemauan papa, asalkan Dinda dan anak kami tetap baik-baik saja."

Tuan Nigel menatap putranya dengan tatapan sulit di artikan, sedangkan nyonya Amelia, terisak-isak karena tidak dapat menahan tangisannya lagi, melihat pertengkaran sang suami dan juga putra mereka.

"Baik, mulai sekarang papa tidak akan mengusik hidup wanita itu lagi, dan ini kali terakhir, papa akan biarkan wanita itu tetap bekerja di kafe milikmu, tapi dia sudah tidak bisa lagi kembali ke kampus, karena itu sudah menjadi peraturan kampus, mahasiswa yang hamil di luar nikah harus tetap di keluarkan dari sana," ucap tuan Nigel, lalu pergi dari sana meninggalkan istri dan putranya.

"Sayang, ayo bangun nak, jangan seperti ini sayang, mama gak kuat liat Nicko," nyonya Amelia, membantu sang putra untuk berdiri.

"Ma, bagaimana dengan Dinda, Dinda menderita ma," ucap Nicko, di sela tangisnya.

"Kamu yang sabar sayang, ayo masuk," ajak nyonya Amelia.

Ibu dan anak itu, lalu masuk ke dalam rumah, Nicko langsung pergi ke kamar sedang nyonya Amelia, pergi menyusul sang suami juga ke kamar.

* * *

Indonesia....

"Sayang hari ini kita pergi kerja ya, kamu jangan bikin mama mual lagi ya sayang, mama kan harus kuat kerja buat kita," ucap Dinda, mengusap perutnya yang masih rata.

"Nak, minum susu dulu, biar kandungan kamu kuat dan sehat," Bu Fatmin, meletakkan segelas susu di atas meja.

"Terimakasih Bu, Dinda hari ini pulang agak telat ya, karena kan ini malam minggu Bu, kafe rame banget," ucap Dinda, mengambil gelas berisi susu itu.

"Iya, tapi ingat kamu harus jaga kesehatan ya, jangan capek-capek nak, sekarang ini kamu lagi hamil," ucap Bu Fatmin.

"Iya Bu."

"Ayo di minum dulu susunya, nanti keburu dingin lagi."

Dinda meminum susunya, susu ibu hamil yang di belikan oleh Bu Fatmin kemarin, karena wanita itu tau kalau Dinda belum gajian.

"Udah Bu, kalau gitu Dinda pamit kerja dulu ya Bu," ucap Dinda, menyalami punggung tangan sang ibu

"Iya nak, hati-hati ya."

"Iya Bu, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam nak," Bu Fatmin, mengantar Dinda sampai ke depan pintu rumah, dan untung saja mereka tidak di usir dari kampung itu.

Bu Fatma, juga sudah membuat laporan, tentang Dinda yang hamil tampa suami, seperti yang pak RT katakan.

Dinda menumpangi bus umum, sambil duduk di kursi paling belakang, Dinda mengusap perutnya yang masih rata itu, saat ini usia kandungan Dinda, baru akan masuk bulan pertama.

"Bang depan ya."

"Siap neng," supir bus, lalu menghentikan busnya, selesai membayar Dinda lalu turun dari sana.

"Makasih bang," ucap Dinda, lalu melangkah masuk ke dalam kafe.

Beberapa pelayan lain, menatap Dinda dengan sinis, apa lagi pelayan yang bernama Linda, pelayan yang tidak menyukai Dinda, tapi Dinda memilih untuk mengabaikan saja, karena ia di sana bekerja dan cari uang.

"Liat guys, udah hamil di luar nikah aja, masih gak punya malu buat datang ke sini," ucap Linda, menyindir Dinda.

"Mungkin, memang udah gak punya malu kali ya."

Dinda tetap diam, tidak ingin sampai terpancing dan akan membuat keributan di sana, apa lagi saat ini masih pagi.

"Iya lah, kan sekarang lagi berusaha buat dekatin pak Raffi."

"Oh ya, aduh gak punya malu banget ya, udah hamil di luar nikah, mau coba-coba dekatin bos juga."

"Siapa yang nyuruh kalian masih pagi-pagi sudah ngomongin orang, apa saya gaji kalian di sini hanya untuk menjelekkan orang lain," ucap Raffi, berdiri tak jauh dari sana, menatap beberapa pelayan dengan tajam.

"Pak Raffi."

Para pelayan itu menunduk takut, sedangkan Dinda sudah sibuk dengan pekerjaannya, memilih tidak menghiraukan teman-teman kerjanya itu.

"Aku siap, kalau harus di hina dan di ejek, aku juga harus tetap semangat untuk anakku di masa depan yang akan datang, apapun yang akan orang katakan, tidak akan membuat aku menyerah, buat aku, anakku yang paling penting saat ini."

Bersambung...

Terpopuler

Comments

A R

A R

pecat aja. sebel bgt liat mrk.

2025-02-22

0

A R

A R

dinda semangatt

2025-02-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!