Pergi Tanpa Pamit

Ooouuukkkk...

Oouueekkk...

Dinda mual-mual di kamar mandi, membuat bu Fatmin, dengan cepat masuk ke dalam kamar putrinya, mendengar suara mual-mual dari dalam sana.

"Nak, Dinda kamu gak apa-apa kan?" Suara cemas sang ibu, membuat Dinda melihat ke arah pintu yang tertutup rapat itu.

"Dinda gak apa-apa kok Bu, cuma masuk angin aja," ucap Dinda, membasuh wajah dan juga mulut.

Ceklek....

Bu Fatmin, melihat wajah pucat putrinya, ada rasa cemas di hati wanita paruh baya itu, biar bagaimanapun Dinda adalah putri mereka satu-satunya.

"Kamu yakin gak apa-apa, wajah kamu pucat nak."

"Dinda gak apa-apa kok Bu, bapak udah pergi kerja Bu?" Tanya Dinda, mengalihkan pembicaraan.

"Iya, bapak kamu sudah pergi kerja, kamu hari ini gak ke kampus?"

"Gak Bu, Dinda ijin gak masuk, lagi gak enak badan," jawab Dinda, memaksa untuk tersenyum, agar sang Bu tidak begitu cemas.

"Iya, istirahat di rumah dulu, wajah kamu agak pucat, kalau gitu ibu ke dapur dulu ya nak," ucap wanita paruh baya itu, yang mendapat anggukan dari Dinda.

"Maafkan Dinda Bu, Dinda gagal jadi anak baik ibu dan bapak, tapi nanti Dinda siap kok, kalau kalian akan marah sama Dinda," ucap Dinda, dalam hati menatap punggung sang ibu menghilang dari balik tembok.

Dinda, lalu mengambil ponselnya dan bersiap menghubungi sang kekasih, semenjak pertemuan mereka di danau dua hari yang lalu, Nicko hanya sekali saja menelpon Dinda, setelah itu tidak lagi. Dinda, akan menelpon Nicko dan menanyakan bagaimana dengan masalah kehamilannya sekarang, karena Nicko sudah mengatakan kalau dia akan bertanggung jawab.

Panggilan pertama, hanya suara operator yang Dinda dengar, Dinda tidak menyerah dan kembali menelpon lagi, dan lagi-lagi hanya suara operator yang ada, sampai Dinda mencoba beberapa kali dan hasilnya tetap sama.

"Kenapa nomornya Nicko, gak aktif. Gak biasnya Nicko gini," ucap Dinda, seorang diri dengan perasaan yang sudah mulai tidak karuan.

Dinda mencoba untuk mengirim pesan, siapa tau saja nanti Nicko melihat pesannya dan akan membalasnya, tapi sampai berjam-jam Dinda menunggu, tak juga ada balasan.

"Sayang sabar ya, kita akan pergi samperin ayah," ucap Dinda, sambil mengusap pelan perutnya yang masih rata itu, dan tanpa Dinda sadari kalau sang ibu sedang berdiri di ambang pintu.

"Dinda," panggil Bu Fatmin, membuat Dinda dengan cepat berbalik.

"I-ibu," ucap Dinda, terbata-bata.

Bu Fatmin, berjalan masuk dan langsung menghampiri putrinya, sambil menatap tajam.

"Apa maksud dari ucapan kamu barusan Dinda?" Ucap Bu Fatmin, terdengar seperti membentak putrinya.

"Ucapan apa Bu, gak ada mungkin ibu salah dengar."

"Jangan kamu pikir ibu bodoh Dinda, ibu belum pikun dan ibu dengar jelas apa yang kamu ucapkan barusan," ucap Bu Fatmin, menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca.

"Maafkan Dinda Bu," ucap Dinda, menunduk dengan air mata yang tak dapat ia tahan lagi.

Bu Fatmin, menutup mulutnya sambil menggeleng kepala pelan, menatap putrinya dengan air mata yang berlinang, sedangkan Dinda sudah tidak dapat menahan tangisnya lagi.

"Siapa yang sudah menghamili kamu Dinda?" Bentak Bu Fatmin, memegang kedua lengan putrinya dengan erat.

"Nicko Bu, pacar Dinda," jawab Dinda, memberanikan menatap sang ibu, yang saat ini sedang menatapnya kecewa dan air mata.

"Bu maafkan Dinda Bu, Dinda sudah gagal jadi anak baik ibu dan bapak, Dinda siap menerima amarah dari ibu dan bapak, maafkan Dinda Bu," Dinda, langsung berlutut di kaki sang ibu, meresapi apa yang sudah terjadi padanya saat ini, sedangkan Bu Fatmin hanya berdiri dengan diam dan tatapan kosong.

"Sekarang juga, kamu temui pria itu dan minta pertanggung jawaban Dinda, sebelum bapak kamu tau soal ini," ucap Bu Fatmin, lalu keluar dari kamar putrinya.

"Ibu," panggil Dinda, dengan air mata berlinang.

* * *

Dinda, melihat rumah mewah yang ada di depannya saat ini.

"Mbak, jadi turun di sini?" Tanya supir taksi.

"Iya pak, ini ongkosnya, terimakasih ya.

"Iya mbak, sama-sama."

Dinda, lalu turun dari dalam mobil, dan kembali melihat rumah mewah itu, membuang nafas panjang, Dinda lalu berjalan ke arah pintu gerbang.

"Permisi," ucap Dinda, melihat ke arah pos satpam.

"Bang ada tamu tu," ucap salah satu satpam yang sedang berjaga.

"Maaf, cari siapa neng?"

"Emm, saya mau cari Nicko, apa Nicko ada pak?"

"Wah, den Nicko lagi gak di rumah mbak saat ini."

"Memangnya Nicko ke mana pak?" Tanya Dinda, tidak sabaran.

"Den Nicko, sudah berangkat ke Italia tadi pagi mbak," ucap satpam itu, membuat Dinda bak di sambar petir di siang bolong, dunianya hancur seketika.

"Maaf kalau boleh tau, mbak ini siapnya den Nicko ya?"

"Saya temannya pak, mau datang ambil buku tugas kampus, tapi dianya malah gak ada, kalau begitu saya permisi dulu pak," ucap Dinda, dengan cepat berbalik dan menghapus air matanya dengan kasar. Begitu sakit, mendengar kalau Nicko telah pergi jauh keluar negri.

Dinda pergi ke danau, danau yang selalu menjadi tempat favoritnya dan Nicko, di danau itu juga menjadi tempat mereka terakhir bertemu.

Dinda tersenyum kecut, dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipi, Dinda tidak menyangka, kalau kemarin itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Nicko.

"Kenapa kamu pergi ninggalin aku yang lagi hamil anak kamu, kamu tega banget sama aku Nick, mana kata-kata kamu yang bilang mau tanggung jawab, ternyata kamu sama aja seperti laki-laki lain, brengsek," ucap Dinda.

"Aku benci sama kamu Nicko, aku benci sama kamu," teriak Dinda, meluapkan emosi yang saat ini ia rasakan.

Drukk....

Suara guntur mulai terdengar, langit yang tadinya cerah sekarang sudah menjadi gelap, pertanda kalau sebentar lagi akan segera turun hujan, tapi Dinda belum juga beranjak dari sana.

Hujan turun dengan deras, membasahi bumi dan seisinya, Dinda berjalan pelan meninggalkan danau itu.

"Aku benci kamu Nicko," ucap Dinda, dalam hati meninggalkan tempat itu dengan air mata yang sudah bercampur air hujan, Dinda berjanji tidak mau lagi bertemu dengan pria yang sudah membuatnya kecewa dan sakit hati.

Hujan turun semakin deras, Dinda tetap berjalan dengan keadaan basah kuyup, Dinda sudah tidak memperdulikan lagi dirinya saat ini.

* * *

Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore, hujan belum juga reda, saat ini Bu Fatmin dan sang suami sedang cemas menunggu putri mereka yang belum pulang ke rumah.

"Bu, Dinda ke mana kok belum pulang juga."

"Tadi bilangnya cuma mau ke rumah temannya pak, mau ambil buku tugas," ucap Bu Fatmin, beralasan. Bu Fatmin, akan menunggu kabar dari putrinya, apakah pria itu akan bertanggung jawab atau tidak.

Tokkk...

Tokkk...

"Mungkin itu Dinda pak," ucap Bu Fatmin, dengan cepat membuka pintu.

Ceklek....

***

Terpopuler

Comments

tiara

tiara

Nicko cowok ga tanggung jawab banget ya

2025-02-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!