Aku Sang Pewaris
Pukul 8 malam, di Asrama Pria Kampus Bina Marga.
“Doni, ambilkan komputer ku di kamar 101, lantai satu!”
Tiba-tiba, seorang pria berambut kuning dari kamar sebelah menendang pintu kamar Doni. Ia melemparkan uang lima ribu rupiah ke lantai, lalu menyelipkan tangan ke kantong celananya.
“Oh ya, sekalian beliin air mineral di minimarket lantai bawah!”
Tak lama, pria itu kembali lagi. Kali ini, ia melempar uang sepuluh ribu rupiah tambahan.
“Yang ini buat air. Lima ribunya ongkos jalanmu!”
Dari dalam kamar Doni, seorang temannya menghela napas kesal.
“Bagas, kenapa anak-anak kamarmu suka nyuruh-nyuruh Doni? Kenapa kalian suka menindas dia?!”
Bagas menatap dengan sinis. “Heh! Kalian ini teman sekamarnya, tapi belum tahu juga? Doni akan ngelakuin apa aja kalau dikasih duit! Bahkan kalau disuruh makan tai pun, dia bakal makan!”
Doni hanya terdiam, wajahnya memerah. Ia membungkuk, memungut uang itu dari lantai.
“Dengan lima ribu ini... aku bisa beli tiga roti dan sebungkus snack. Lumayan, nggak perlu kelaparan malam ini,” batinnya.
“Doni, jangan pergi! Kalau kamu butuh uang, kami bisa bantu. Nggak perlu dibayar kembali!” ucap salah satu seniornya dengan simpati.
Doni tersenyum pahit. “Terima kasih, Kak... Tapi aku baik-baik saja.”
Ia berbalik dan melangkah pergi. Teman-teman sekamarnya hanya bisa menatapnya dengan iba.
Sebenarnya, Doni ingin menikmati kehidupan kuliah layaknya mahasiswa lain. Tapi kemiskinan memaksanya untuk terus bergerak, terus menunduk. Meski teman sekamarnya baik hati, Doni enggan menerima bantuan. Ia takut bantuan itu merusak persahabatan mereka.
Selain mereka, Doni nyaris tidak memiliki siapa pun di kampus ini.
“Doni, katanya kamu mau turun?”
Tiba-tiba, seorang mahasiswa berpenampilan rapi muncul dari kamar sebelah. Namanya Reza, kepala kamar Bagas. Anak pemilik pabrik besar. Tampan, kaya, dan idola banyak gadis di kampus. Tapi terhadap Doni, ia selalu merendahkan.
“Iya, aku mau turun,” jawab Doni.
Reza menyeringai tipis, lalu mengeluarkan sekotak Durex dari sakunya dan melemparnya ke Doni.
“Kebetulan temanku lagi di hutan belakang kampus. Antarin ini ke dia. Nih, ongkosmu, sepuluh ribu.”
Doni menerima uang dan kotak itu tanpa banyak pikir. Ia butuh uang. Sangat butuh.
Setelah turun, Doni berniat menyerahkan Durex, lalu membeli air, mengambil komputer Bagas, dan kembali ke kamar. Hutan kecil di luar kampus memang tempat populer untuk “belajar” malam hari—tapi semua tahu, belajar itu cuma alasan.
Sesampainya di sana, ia melihat seorang pria dan wanita duduk di bangku taman. Mereka tertawa dan... tangan pria itu mulai menyusuri tubuh wanita di sampingnya.
Doni mematung ketika wajah mereka tampak jelas di bawah sinar bulan.
Itu... Sinta.
Durex di tangan Doni terjatuh.
Sinta adalah mantan pacarnya. Mereka baru putus tiga hari lalu. Sinta bilang dia ingin fokus belajar... tapi sekarang, dia berdua dengan pria lain?
Melihat Doni, Sinta buru-buru menarik roknya yang nyaris tersingkap.
“Doni! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan! Aku dan Rio cuma...”
Sinta panik. Di sampingnya, Rio berdiri dan tertawa. “Wah, Reza luar biasa juga. Aku cuma bercanda minta Durex, ternyata dia serius. Sialan, ini seru banget!”
Rio. Anak orang kaya lainnya. Teman dekat Reza. Sering terlihat mengendarai BMW ke kampus.
Doni mengepalkan tinjunya.
Jadi ini semua cuma permainan?!
“Sinta,” ucap Doni dengan suara bergetar. “Kamu boleh anggap aku miskin... Tapi kamu tahu nggak Rio ini seperti apa? Dia gonta-ganti pacar tiap minggu!”
Sinta mendengus, “Dan kamu pikir kamu siapa? Aku bebas pilih siapa pun! Rio bisa beliin aku skin Mobile Legends, tas branded, iPhone baru! Kamu bisa kasih apa?!”
Matanya melirik Durex yang tergeletak.
“Dasar menjijikkan! Pergi sana!”
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Doni.
Rio tertawa. “Haha, Sinta, jangan usir dia! Suruh dia duduk dan nonton! Aku mau pakai Durex yang dia bawa ini buat bikin kamu bahagia!”
Sinta merapat ke pelukan Rio, “Nggak, Kak... ketemu dia malah bikin mood-ku hilang. Lain kali aja, ya...”
Doni hanya bisa berdiri kaku. Dunia runtuh.
Entah bagaimana dia berjalan keluar dari hutan. Pikirannya kosong. Hatianya hancur.
Semua ini karena aku miskin...
Tawanya pahit. “Hahaha...”
Di pintu asrama, Doni disambut tawa teman-teman sekelas.
Reza tertawa sambil menepuk-nepuk perutnya.
“Hahaha! Doni, kamu lihat apa waktu kirim Durex itu?”
Bagas ikut nimbrung, “Gila, Sinta emang aduhai... mungkin Doni datang pas Rio lagi ‘panas-panasnya’, ya?”
Doni mengepalkan tinjunya. “Kenapa... kenapa kalian memperlakukan aku seperti ini?!”
Reza mendekat. “Anak miskin marah, nih! Aduh, aku takut!”
“Dengar ya... Yang paling aku hina di kampus ini tuh kamu. Sinta terlalu bagus buat kamu. Satu tahun kamu kejar dia, Rio dapat nomor WA-nya cuma setengah jam. Hahaha!”
Tawa meledak dari seluruh lorong. Tak ada yang peduli pada harga diri Doni.
“Sialan! Aku akan bunuh kalian!”
Doni menerjang Reza.
Tapi yang didapatnya hanyalah bogem mentah dari anak-anak Reza. Ia dihajar habis-habisan, lalu diseret pulang ke kamarnya.
Di tempat tidur, Doni menyelimuti dirinya. Ia menangis sejadi-jadinya.
“Kenapa aku diperlakukan seperti ini? Hanya karena aku miskin... mereka bahkan tak menganggapku manusia.”
Ia menarik rambutnya, sesak di dada, dan kenangan tentang Sinta dan Rio terus berputar di benaknya.
Ia tak tahu kapan tertidur, hanya tahu... semuanya gelap.
**
Keesokan paginya, saat ia terbangun, kamar sudah kosong. Doni tahu, teman sekamarnya membiarkannya tidur lebih lama.
Ia membuka ponselnya.
Banyak pesan masuk. Puluhan panggilan tak terjawab.
Yang mengejutkan Doni adalah bahwa semua ini berasal dari nomor telepon yang tidak dikenal.
Ada juga pesan teks yang memberitahukan bahwa seseorang telah mentransfer uang ke rekening banknya!
"[Bank of Dasia] Rekening Anda dengan nomor akhir 10 memiliki saldo sebesar 10.000.005 Rupiah."
Melihat angka itu, kepala Doni langsung berdengung. Ia benar-benar tercengang.
Sepuluh juta rupiah!
Siapa yang mentransfer uang sebanyak itu ke rekeningnya?
Dengan buru-buru, Doni menelepon pihak bank untuk memastikan. Setelah dikonfirmasi bahwa transaksi tersebut benar-benar terjadi, Doni hanya bisa terpaku, bingung tak karuan.
Tak lama kemudian, teleponnya kembali berdering.
Masih dari nomor yang tak dikenal.
Doni segera menjawab.
"Dek, kamu sudah terima uangnya, kan?"
"Aku ini kakakmu!" terdengar suara yang sangat ia kenali dari seberang.
"Kakak?! Apa yang terjadi? Bukankah kakak dan orang tua kita masih banting tulang di luar negeri? Dari mana datangnya uang sebanyak ini?"
Dada Doni bergemuruh. Ada firasat besar yang hendak muncul.
"Ehem," suara kakaknya terdengar pelan namun mantap. "Sebenarnya ayah berniat merahasiakan ini darimu selama dua tahun, tapi aku tahu kamu sering diintimidasi di sekolah. Jadi, kakak ingin menunjukkan satu hal: keluarga kita sebenarnya sangat kaya. Keluarga Salman kita memiliki banyak bisnis besar. Kamu tahu Afrika? 80% tambang emas dan minyak bumi di sana... itu milik keluarga kita!"
"Itu belum termasuk bisnis kami di Dasia dan negara lain."
"Apa?!"
Doni menelan ludah. Kalau bukan karena saldo sepuluh juta yang tiba-tiba muncul di rekeningnya, ia pasti mengira kakaknya sedang tidak waras.
"Aku tahu kamu pasti nggak percaya, Doni. Tapi terimalah ini perlahan. Awalnya kakak juga dibesarkan seperti orang biasa, tapi sekarang aku sudah mulai terbiasa hidup sebagai orang kaya. Oh ya, kakak juga mengirimkan beberapa barang buat kamu. Seharusnya paket itu sudah sampai di kampusmu."
"Dan jangan khawatir soal uang. Gunakan saja uang sepuluh juta itu dulu. Bulan depan, kakak akan kirim lagi."
Setelah telepon ditutup, Doni hanya bisa duduk terpaku. Suasana hatinya kacau, campur aduk.
Ia telah terbiasa menjalani hidup sebagai orang miskin...
Tapi sekarang...
"Jadi... aku ini anak orang kaya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Protocetus
Min kalau berkenan mampir ya ke novelku Mercenary of Dorado
2025-02-28
0
Costa
anjay novel nyolong ganti nama doang wkwkwk
2025-03-03
0