Putri baru saja sampai rumah sore hari. Karena tadi dia dan teman temannya bermain terlebih dahulu.
Putri meletakkan sepedanya di garasi. Dia melihat mobil sang ayah terparkir.
"Tumben papa udah pulang..."
Putri segera masuk ke dalam rumah.
"Putri pulang!"
Mendengar suara Putri, semua menoleh.
Sepertinya ada tamu.
"Eh, ada tamu ya? maaf." Putri membungkukkan badannya untuk minta maaf karena suaranya membuat kaget.
"Ini ya yang namanya Putri?" Salah seorang tamu bertanya.
Putri mengangguk "iya om, nama saya Putri."
"Cantik banget pa, mama juga suka"
Putri melihat tamu perempuan itu sedang berbisik. Sepertinya, mereka suami istri.
Namun Putri sedikit tidak peduli.
"Saya ke kamar dulu ya om, tante." Putri segera naik ke atas untuk masuk ke kamarnya.
Sesampainya di kamar, Putri meletakkan tasnya di meja belajar, lalu segera merebahkan diri di kasur.
Putri mengeluarkan ponselnya, lalu melihat beberapa foto keseruannya bersama para sahabat tadi.
Putri tersenyum. Dia sangat bahagia mempunyai sahabat seperti mereka.
Sampai akhirnya dia menggeser foto yang memperlihatkan dirinya bersama Joan sedang tersenyum mengarah ke kamera.
Putri menghela nafasnya panjang.
Sedikit cerita, Joan dan Putri sudah menjalin hubungan sejak kelas sepuluh. Tetapi ditengah perjalanan, mereka sempat putus, yaitu ketika Putri mengetahui Joan sedang jalan bersama wanita lain dari sekolah yang berbeda. Sampai akhirnya Putri yang memutuskan hubungannya dengan Joan, dan tentu saja Joan menolak dengan alasan, wanita itu hanya teman lamanya.
Cukup lama, hubungan Putri dan Joan renggang. Hingga akhirnya pertengahan semester kelas, mereka memutuskan untuk kembali. Joan yang memaksa.
Dan daripada Putri semakin risih, mau tidak mau harus dituruti.
"Bentar.." Putri bangun dari tidurnya.
"Tadi yang bertamu siapa ya? Apa temennya papa sama mama?" Putri berpikir sejenak.
Tok tok!
"Putri, buruan mandi. Hari ini, kamu mau ketemu guru les yang baru kan?" Teriak papa Reivan dari luar kamar putri
Putri mendengus "Nggak enak banget jadi orang kaya, diatur terus!"
Putri berdiri, dan membawa handuk untuk masuk ke kamar mandi.
.
.
.
.
Setelah mandi dengan bersih dan wangi. Sekarang Putri tengah berada di ruangan belajarnya.
Papa Reivan memang memberikan ruang belajar tersendiri untuk anak anaknya. Alasannya biar lebih bisa fokus sama belajar.
"Mana sih guru lesnya." Juna sedari tadi mengeluh. Karena guru yang dia tunggu tidak kunjung datang.
"Guru les kamu siapa?" Putri bertanya ke adiknya
"Nggak tahu, katanya sih baru. Terus cowok" Juna menjawab
"Cowok?"
Juna mengangguk
"Masih muda apa udah tua?" Putri bertanya lagi.
"Ya Juna mana tau kak Putri, kan Juna baru ketemu hari i—"
"Hallo anak anak!"
Putri dan Juna menoleh ke arah pintu yang terbuka.
Mereka berdua langsung berdiri, setelah mengetahui siapa guru les yang akan membimbing mereka.
"Kak Dimas!" Putri dan Juna segera berlari, Lalu memeluk orang yang bernama Dimas itu.
"Widih, keponakannya kakak udah pada gede ternyata"
Putri dan Juna melepaskan pelukan.
"Kak Dimas jadi guru lesnya Putri ya?" Tanya Putri dengan semangat.
Dimas terkekeh, dia menarik hidung Putri pelan "Kakak jadi guru lesnya Juna"
Ucapan Dimas membuat Putri murung.
"Putri kan udah kelas duabelas. Jadi kak
Dimas belum sanggup ajarin Putri."
"Terus siapa guru lesnya Putri?"
Belum sempat ada jawaban, pintu terbuka kembali.
"Putri, ini guru les kamu datang" papa Reivan menyuruh guru les dari Putri masuk ke ruang belajarnya
"Pak Tiyan?!" Dan Putri terkejut bukan main.
Tiyan hanya tersenyum
"Papa sengaja menjadikan Pak Tiyan guru les kamu, karena papa dengar, Pak Tiyan menjadi guru kamu"
Putri menghela nafas.
Gabisa berkutik nih gue.
Dimas yang ingin tahu juga segera menoleh ke belakang.
"Lah? Bang Tiyan?"
"Dimas?"
"Wah, kayak kebetulan banget ya? Kak Dimas jadi guru lesnya Juna, Kak Tiyan jadi guru lesnya kak Putri. Terus para guru les saling kenal" Juna berbicara.
Papa Reivan tersenyum "Bagus kalau kalian udah saling kenal."
"...."
"Yang akrab ya kalian." Papa Reivan ingin meninggalkan mereka.
"Bang Rei? Gak ada camilan nih disini?" Tetapi dimas nyaut.
"Itu ada kulkas gunanya apa Dim?"
Dimas cengengesan.
"Papa tinggal dulu, kalian berdua belajar yang bener. Jangan menyusahkan guru"
Papa Reivan keluar dari ruang belajar anak anaknya.
"Oke anak anak, markijar." Dimas berbicara.
"Mari kita belajarrrrrrr" Juna menyaut
Putri hanya mengerucutkan bibirnya, dia tidak akan bisa macam macam, karena yang menjadi guru lesnya adalah wali kelasnya sendiri.
Singkat cerita, Dimas ini adalah adik dari Papa Reivan, ayah dari Putri dan Juna.
Dimas anak bungsu di keluarga papa Reivan, istilahnya paling bontot. Karena dulu mama papa mereka menikah muda, dan Dimas ini jarak kelahiran dengan kakak kakaknya terpaut cukup jauh.
Sebab itu, Putri dan Juna memanggil Dimas dengan sebutan kak, karena Dimas juga masih muda.
...*****...
Putri dan Tiyan terduduk di tempat belajar yang jaraknya cukup jauh dengan Juna. Karena jika mereka tidak dipisah, akan ada perang dunia.
"Kamu mau mulai belajar dari mana?" Tiyan bertanya
"Nggak tahu."
"Kok nggak tahu? Terakhir kamu belajarnya dari mana?" Tiyan bertanya lagi dengan lembut.
"Ishh, saya lagi males belajar pak Tiyan. Jadi lupa"
Tiyan yang mendengar terkekeh. Dia mengeluarkan sesuatu di sakunya.
"Mau ini?" Ternyata, Tiyan memberikan Putri sebuah permen berbentuk kaki.
"Saya pernah mendengar, permen itu bisa membuat rileks diri"
Putri dengan ragu menerima permen dari Tiyan
"Terima kasih pak Tiyan."
Tiyan hanya tersenyum "Saya lihat catatan belajar kamu dulu ya?"
Putri mengangguk.
Tiyan mulai memeriksa catatan Putri selama belajar di tempat les lain.
Putri ini memang anaknya cerdas, dia selalu mendapatkan peringkat lima besar paralel. Dan selalu mendapatkan peringkat pertama di kelas. hanya saja memang agak mageran aja anaknya.
Tiyan masih melihat isi buku milik Putri.
"Kamu selalu mendapat nilai sempurna"
"..."
"Tapi untuk nilai matematika, tidak pernah mendapat 100 poin?"
Putri mengangguk "Saya nggak suka matematika pak"
Tiyan menutup buku, lalu menatap Putri
"Kenapa tidak suka?"
"Terlalu rumit, saya nggak kuat mikirnya."
"Nggak kuat?"
Putri mengangguk "Awalnya, papa saya menyuruh untuk masuk jurusan matematika setelah lulus sekolah nanti."
".."
"Tapi sekarang nggak jadi."
"Kenapa tidak jadi?" Tiyan semakin penasaran.
Putri menatap Tiyan "Karena saya dulu pernah jatuh dari selokan pak"
"Hah?" Tiyan kaget sekaligus bingung.
"Dari selokan? Masuk got gitu?"
Putri mengangguk "gotnya lagi kering, nggak ada air. Jadinya kepala saya bocor kena pinggiran got" Putri bercerita dengan santai
Sedangkan Tiyan merasa ngilu membayangkannya.
"Terus semenjak kejadian itu, kepala saya sering nyeri kalau dibuat mikir keras gitu. Nilai nilai saya juga sempet turun waktu itu"
Tiyan mengangguk paham. Dia baru tahu, jika Putri pernah mengalami kecelakaan seperti itu. Pasti sangat menyiksa. Apalagi kepala yang terkena.
Dituntut sempurna memang sangat menyakitkan.
...****...
Setelah hampir dua jam belajar, akhirnya terselesaikan.
"Ya Ampun capek banget" Putri meregangkan badannya sejenak, lalu menatap Juna.
Putri melihat sebuah permen berada di tangan Juna.
Dan ide jahil pun terlintas. Putri berdiri dari kursinya untuk mendekat ke Juna.
"Putri, ini jangan lu—" Tiyan menatap ke arah Putri, dan bangku terlihat kosong.
Tiyan menghela nafas panjang
Putri ini memang tidak bisa diam sepertinya. Ada saja yang dilakukan selama pembelajaran, iseng sekali.
"Kak Dimas, ini bener kan ya ejaannya?" Sementara itu Juna masih belajar dengan Dimas.
"Iya bener, cuma ini—"
Belum sempat selesai berbicara, Putri datang dengan merebut permen yang berada di tangan Juna
"Kak Putriiii" Juna berdiri, lalu mendekat ke Putri
"Heh heh, jangan berantem ya kalian." Dimas paham sekali kelakuan kakak adik ini.
"Kak Dimas nggak kasih Putri permen juga sih"
"Iya nih kakak kasih, udah balikin itu permennya"
"Nggak wek" Putri memang sangat jail sepertinya
Juna mengejar Putri yang sedang menaiki kursi.
"Kak Putri balikin nggak!"
Putri dengan sengaja memasang wajah ejekan
"Kak Putri ini punya Juna! Balikin!"
"Kak Putri minta."
"Nggak boleh!"
"Boleh."
"Nggak bolehhhhhh"
Brak!
Dan gebrakan kecil terdengar. Putri, Juna dan Dimas menoleh ke sumber suara.
Ternyata Tiyan yang menggebrak meja tersebut.
Dan situasi menjadi Hening seketika.
.
.
.
.
Waktu sudah menjelang malam. Putri dan Juna telah menyelesaikan belajarnya bersama para guru guru ini.
Mereka keluar secara bersamaan.
"Jangan lupa, materi yang saya catat di buku kamu harus dipelajari."
Putri mengangguk "iya pak."
Tiyan tersenyum
"Mau pulang lo bang?" Dimas bertanya
Tiyan mengangguk. "Udah malem, gue belum beres beres rumah juga"
"calon suami idaman memang"
Tiyan berdecih, lalu menatap Putri dan juga Juna secara bergantian
"Mama papa kalian kemana?"
"Lagi pergi kayaknya. Biasa orang sibuk" Putri seperti sudah tahu kebiasaan orang tuanya ini.
"Dah, makan sana. Kak Dimas temenin"
"Hm." Putri segera memasukki kamarnya terlebih dahulu untuk meletakkan buku, begitupun Juna
Tiyan hanya bisa menatap.
"Biasa, namanya anak kecil bang"
Tiyan tersenyum tipis.
.
.
.
.
Dimas dan Tiyan kini sedang berada di depan rumah.
"Lo kapan dateng bang?" Dimas bertanya
"Udah dua bulan lalu sebenernya. Cuma kan gue harus ngurus berkas berkas pindahan disini"
Dimas mengangguk "Gue pikir, lo mau nikah, makanya pulang kampung"
Tiyan tersenyum "Doain aja"
Ucapan Tiyan membuat Dimas menoleh
"Beneran mau nikah lo?"
"Nggak sekarang Dim, makanya lo doain"
"...."
"Lo doain, biar calon istri gue ini mau sama gue"
"Wahh, siapa siapa? Gue kenal nggak?"
"Kepo banget lo, dah gue mau balik. Jagain Putri sama Juna yang bener"
Tiyan segera keluar dari rumah Putri, untuk pulang ke rumahnya.
Karena rumah Tiyan dekat, jadi dia jalan kaki saja.
Dimas hanya menatap "Siapa ya calon istrinya bang Tiyan?"
Dimas berpikir sejenak.
"Kenapa gue bayangin si Putri ya yang jadi bininya bang Tiyan?"
Dimas tertawa geli "Yakali bang Tiyan nikahin bocil banyak tingkah kayak dia"
Setelah berbicara, Dimas segera masuk ke rumah, tentu saja untuk menemani para keponakannya ini.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments