"Oke! Ada satu orang yang aku rasa sangat cocok buat tugas ini. Namanya Pak Dirgantoro, panggilannya Pak Dirga. Dia kepala regu marketing tim B di anak perusahaan kita, di CV PAKO," jelas Thomas singkat.
"PAKO?? Berarti di daerah Brebek sana?" koreksi CEO muda itu.
"Iya. Pak Dirga ini kerjanya bagus banget. Bulan ini mau naik ke posisi supervisor. Dan aku pribadi sering ketemu dia pas ke PAKO," tambah Thomas.
"Oke! Tarik dia ke kantor pusat. Sekarang. Dan langsung training buat supervisor tim audit kita di lapangan. Siapa yang pegang PAKO?.... Ah,nggak! Kamu urus aja itu ya. Pokoknya senin depan aku mau ketemu bentar sama Pak Dirga itu. Sekiranya aku tau wajahnya kayak gimana. Paham?" perintah Emeris tegas.
Thomas mengangguk mantap.
"Ok! Sekarang drop aku ke MCKO. Abis itu kamu langsung urus keperluan buat narik Pak Dirga itu ke Kantor pusat," ucap Emeris sembari bangkit dan berjalan keluar ruangannya.
Thomas mengikuti di belakang.
Emeris berdiri beberapa menit di depan lobby gedungnya sebelum mobil yang di ambil Thomas datang. Tidaklama mobil itu datang dan ia segera naik ke dalam mobil.
Mobil melaju ke arah Surabaya pusat.
Diperjalanan Hp Emeris bergetar. Telfon dari Ruby.
"Iya tante?" sapa Emeris menggoda dengan omongan Ruby beberapa waktu lalu.
"Oh iya, ponakan!" sambar Ruby terdengar setengah menahan tawa.
"Masihdi NY?” tanya Emeris.
"Iyalah. Mau kemana lagi. Hidupku disini. Eh, itu si cewek imut siapa? Kok aku familiar gitu sama tuh cewek," Ruby mulai bergosip.
"Cewek imut??" Emeris bingung.
"Itu loh..., cewek yang di video kamunya joget sexy sampe tuh cewek imut jungkel kebelakang!" suara Ruby terdengar heboh.
Emeris mengangkat kedua alisnya. Ah, dia ingat sekarang.
"Masa kamu nggak kenal?" tanyanya kemudian memancing.
"Aku kenal??"
"Iya. Malah kamu yang kenalin dia ke aku."
"Hmm..., aku kenal ya..., emang sih wajahnya kek familiar gitu. Eh..!! Aku inget! Si cewek olshop itu kan?? Yang nggak bisa senyum?!" suara Ruby terdengar setengah berteriak.
"Hmmm...," sahut Emeris tersenyum puas.
"Ih! Aslinya imut banget ya. Sumpah!" Ruby kagum.
"Hemm..., imut banget. Wajahnya..., bahkan badannya. Kayak hobbit dan aku bangsa elf-nya haha...," lelaki dalam balutan baju casual formal itu terkekeh geli ketika mengingat betapa imutnya Miki.
"Iiih..., tumben nih ponakan segitunya muji cewek. Kok aku ngerasa ada sesuatu gitu."
"Hhh..., ada emang. Tapi dikit."
"Horee!! Emer bakalan punya pacar dan aku bakalan lepas dari perjanjian pertunangan gila ini!!" seru Ruby terdengar sangat girang.
Emeris menyunggingkan sebelah senyumnya, melemparkan pandangannya ke pemandangan di balik kaca jendela tengah mobil. "Yakin bisa lepas dari perjanjian tunangan kita? Papiku nggak segampang itu loh," ucapnya kemudian.
Sunyi....
"Emer..., kamu serius setuju sama pertunangan kita?" ucap Ruby tidakpercaya.
"Lebih baik nikah sama kamu ketimbang sama cewek lain yang nggak aku kenal...," sahut Emeris mengantung.
"Kamu tuh beneran gila..., kebanyakan pacaran sama monitor jadi tuh otak udah kena virus juga!" sambar Ruby kesal.
"Bukannya emang lebih baik kita nikah sama orang yang udah lama kita kenal. Seenggaknya kita tuh tau baik buruknya dia. Entah secara sifat atau fisik. Seenggaknya kamu nggak perlu malu lagi nunjukin tanda lahir birumu yang ada di bokong kananmu sama aku. Secara aku udah puas gitu liat dari jaman dulu," cerocos Emeris bermaksud candaan.
"Emer!!! You're fucking ashole!!" maki Ruby yang kemudian memutus sambungan telepon.
Emeris menghela napas panjang. Lagi-lagi ia membuat wanita yang minta di panggil tante itu marah. Padahal ia hanya mengatakan sebuah kejujuran dan fakta.
Ruby memang memiliki tanda lahir itu di pantat kanannya. Ia sudah kenyang melihat tanda itu tiap kali keduanya mandi bersama ketika mereka masih kanak-kanak dulu.
"Thomas," panggilnya pada asistennya yang tengah fokus menyetir.
"Ya?" sahut Thomas.
"Seberapa parah videoku nyebar?” tanya Emeris memeriksa kekacauan yang tanpa sengaja ia lakukan.
"Sebagian udah di hapus dari beberapa situs. Tinggal dikit lagi," jawab Thomas sembari menyetir.
"Ok. Aku serahin sama kamu."
"Siap, bos!"
*****
"Mama, pesenan temennya Miki udah di siapin?” tanya Miki begitu ia masuk ke dalam butik kecil itu.
"Namanya siapa?” tanya mama balik sambil memeriksa tumpukan baju yang sudah di kemas dan di pilah.
"Gisti. Satu atasan sama satu mini skirt," jawab Miki.
Mamanya terlihat mencari untuk beberapa saat, kemudian ia mengangkat sebuah kantong kertas bergambar khas butiknya.
"Ini," mama mengangsurkan tas kertas itu.
"Ini uangnya ma. Sama ongkirnya," Miki mengangsurkan uang Gisti.
"Yang ongkir pegang. Uang reseller diakumulasi tiap minggu kayak biasanya. Okay?"
"Oke ma! Miki jalan dulu," Miki siap-siap berbalik.
"Eh! Kearah rumah gisti kan? Sekalian nitip kirim customer yang lain. Searah kok!" mama mengambil beberapa kantong kertas lagi.
"Banyaknya...," celetuk Miki begitu melihat kantong-kantong yang harus ia antar.
"Berapa itu..., satu..., dua..., tiga...,Iima ya?"
"Ongkirnya?"
"Iya ini! Sembilan ribu kali lima..., ini!" mama langsung memberi tunai uang ongkir untuk jasa kirim Miki.
"Makasih ma. Miki jalan dulu," pamit Miki.
"Hati-hati loh ya. Siapin Mantel jaga-jaga hujan."
"Oke ma!" Miki berjalan masuk ke arah ruang packing. Menyapa beberapa karyawan Mama lalu berlalu menuju ruang pemotretan dan keluarke teras rumah, dimana motor meticnya terparkir.
"Kemana Miki?” tanya Papa yang baru saja pulang kerja dan berpapasan dengan Miki di teras.
"Ngurir pa. Kayak biasanya," Miki menyambut papanya dengan ciuman di punggung tangan.
"Hati-hati loh ya. Mantel jangan lupa. Mendungnya udah mulai dateng," nasehat yang sama seperti mamanya.
"Mantel udah di jok kok pa. Miki jalan dulu," pamit Miki begitu ia memakai helmnya dan menstarter motor meticnya.
"Hati-hati!" seru sang papa yang terus mengekori kepergian putri sulungnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sepertinya mamanya benar-benar merencanakan ruter kirim anak sulungnya. Bagaimana tidak, hampir ditiap gang sepanjang jalan menuju rumah Gisti pasti adalah tujuan mengurirnya Miki.
Diperumahan sebelumnya juga ada. Sekarang sebelum ke rumah Gisti, Miki harus berputar-putar terlebih dahulu di perumahan itu untuk mengantar pesanan.
Miki akhirnya tiba di rumah Gisti tepat dengan turunnya hujan. Motor Miki yang biasanya hanya parkir di depan gerbang pun kini langsung ia parkir masuk kedalam teras rumah Gisti karena hujan lebat. Beruntung pintu pagar memang tengah terbuka lebar. Pekarangan depan rumah Gisti memiliki kanopi yang menutupi penuh area itu.
Miki melepas helmnya dengan kepala celingukan memandangi pekarangan luas Gisti penuh dengan motor yang terparkir rapi. Ia belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya.
"Untung kamu nyampe pas ujannya turun!" seru Gisti yang keluar dari gang samping rumahnya.
"Haha iya. Tapi aku bawa mantel kok," sahut Miki yang kemudian mengambil paperbag milik Gisti.
"Tunggu ujan reda di sini aja. Baru berangkat ngirim lagi. Toh bagasi motormu nggak bakalan muat sama paperbag gede itu," Gisti menerima paperbagnya lalu menggoyangkan ujung dagunya kearah sebuah paperbag besar yang ada di bagian tangan motor matic Miki.
Miki menoleh ke arah paperbag itu. Lalu tersenyum keki. Memang benar apa yang dibilang Gisti. Paperbag itu tidak akan muat di bagasi motornya.
"Udah, masuk sini!" Gisti mengajak Miki masuk ke pekarangan samping rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments