Mr. Robi adalah salah satu miliarder dan juga presiden di negara Dubai yang ingin berkunjung ke Korea Selatan. Namun, perjalanannya tidak mulus karena jahitan di bagian perutnya tiba-tiba lepas. Mungkin hal itu terjadi karena lukanya masih basah. Karena kejadian ini, ia tidak bisa melanjutkan perjalanannya.
Tim pusat dari Korea Selatan meminta kepada seluruh tentara yang sedang bertugas tak jauh dari lokasi Mr. Robi untuk datang dan membawanya ke kamp. Tidak ada perintah untuk mengoperasi lukanya atau melakukan pengobatan karena dokter pribadi Mr. Robi akan segera datang.
Lee pergi menuju lokasi bersama dengan dua puluh pasukannya. Penjagaan kali ini harus ketat karena Mr. Robi adalah orang yang penting. Siapa saja bisa melukainya, dan mereka tak butuh alasan untuk itu.
Lee dan timnya sampai di lokasi. Ia melihat sebuah helikopter sudah terparkir di gurun pasir. Mereka turun dan menghadap pasukan khusus dari Dubai.
Lee memberikan hormat.
"Kami dari pasukan Korea Selatan yang diutus datang ke sini agar bisa mengawal perjalanan Mr. Robi menuju kamp kami."
Pasukan dari Dubai menatap mereka tajam. Mereka memperhatikan satu per satu pasukan Lee.
Lee merasa mereka belum menerima pesan dari pusat. Mereka juga terlihat curiga terhadapnya dan tim.
Lee menunjukkan kartu tanda pengenalnya. "Kami adalah pasukan khusus. Kalian tenang saja, dia akan aman." Ia membuka jalan agar Mr. Robi dan pasukannya segera turun dan masuk ke dalam mobil.
Mereka bertatapan.
"Baiklah. Tetapi jika terjadi sesuatu kepada presiden kami, maka kalian semua akan mati," ucap ajudan presiden itu.
Lee menatapnya. "Kau tidak akan kecewa."
Pasukan khusus Dubai membawa presiden mereka menuju mobil. Baju kemeja putih yang dikenakan Mr. Robi sudah penuh dengan darah, dan wajahnya tampak pucat.
Lee menatap sekilas luka di tubuhnya. "Apakah dokternya masih lama?" tanyanya pada salah satu pasukan Dubai.
"Kami tidak tahu. Tetapi pesannya, dia sedang dalam perjalanan kemari," ucapnya dengan wajah panik.
Lee membawa mereka menuju mobil. Setelah mereka semua masuk, Lee dan pasukannya melaju dengan sangat cepat, membunyikan sirene agar semua orang bisa memberikan mereka jalan.
*
*
*
Di kamp,
Renata dan tim medisnya sudah siap sedia. Mereka sudah menyiapkan semua alat yang akan digunakan, tetapi mereka belum tahu siapa tamu yang akan datang.
Anna merasa badannya sedikit tidak nyaman. Sejak pagi, ia muntah dan juga pusing. Renata melihat sikap Anna yang tampaknya tidak biasa.
Renata mendekati Anna dan memegang jidatnya. "Kau tidak demam. Lalu kenapa wajahmu pucat?" tanyanya, menatap Anna.
Anna dengan wajah khawatir menatap Renata. "Aku hanya masuk angin. Aku muntah sejak tadi," ucapnya sambil memegang perutnya.
Renata hendak mengambil obat untuk Anna, tetapi mobil yang digunakan untuk menjemput tamu VVIP sudah sampai.
"Renata!!" teriak Rafael.
Renata menatap ke arah suara. "Anna, kau ke kamar saja. Aku dan Rafael akan mengurus pasien ini. Dan tolong minum obat," ucap Renata.
Renata berlari ke arah mobil. Ia membantu mereka mengeluarkan Mr. Robi dari dalam mobil dan melihat kemejanya sudah penuh dengan darah.
Renata membuka kemejanya, namun tangannya ditahan oleh pasukan dari Dubai. "Kau tidak boleh menyentuhnya. Tidak sembarang dokter yang bisa memeriksanya," jelasnya.
Renata menatapnya tajam. "Kau tidak lihat darahnya? Dia bisa mati jika kita tidak segera menjahit lukanya," ucap Renata.
Pasukan itu menatap Lee karena sejak awal perjanjian sudah disepakati bahwa tidak ada tindakan medis, tetapi Lee menyiapkannya.
"Renata, kau tidak perlu memeriksanya. Dia akan baik-baik saja," ucap Lee dengan wajah khawatir.
"Apa? Kau tidak lihat darahnya? Dan kau tahu kan bahwa di kamp ini tidak ada persediaan darah?" jelas Renata dengan nada sedikit tinggi.
Pasukan Dubai membawa Mr. Robi masuk ke dalam kamp perawatan. Mereka hanya melihat presiden mereka yang kehabisan darah dan sudah tidak sanggup lagi.
Sementara Lee dan Renata berdebat di luar,
"Kau ini kenapa, Lee? Dia adalah pasien. Dia bukan siapa-siapa saat ini," Renata mencoba membujuk agar Lee mau memberikan izin kepadanya.
"Renata, dia adalah presiden. Dokter yang ahli akan memeriksanya. Kita cukup diam saja," jelas Lee.
Lee tidak bisa melakukan apa pun karena ini bukan haknya. Namun, Renata masih saja terus keras kepala. Lee sama sekali tidak bisa melihat hal ini—pasien yang sudah di ambang kematian, sementara sebenarnya ada dokter, tetapi tidak ada izin bagi mereka.
Renata masuk ke dalam kamp perawatan. Ia menatap Mr. Robi yang sudah tidak sadarkan diri.
"Sudah berapa lama ia menutup matanya?" tanyanya pada pasukan yang ada di sana.
Namun, sama sekali tidak ada jawaban.
Renata mulai pusing. Ia tidak bisa melakukan tindakan medis, tetapi pasien yang sedang berada di hadapannya sangat membutuhkannya.
Lee masuk dan menatap Renata. "Kau yakin bisa mengatasinya? Apa yang sedang terjadi padanya? Kau bisa janji padaku bahwa ia akan aman dan selamat?"
Renata mendekat dan menatap Lee. "Aku adalah seorang dokter. Aku akan mengobatinya tanpa membuatnya semakin merasa sakit," ucap Renata.
Lee mengeluarkan senjatanya bersama timnya dan mengarahkannya kepada para pasukan khusus Dubai.
"Dr. Renata, bawa dia masuk ke ruang operasi dan keluarkan dia dengan selamat. Apa pun yang terjadi, aku akan bertanggung jawab penuh," ucap Lee, masih dengan senjata yang mengarah pada pasukan Dubai,
" Kau salah kapten, kau akan dalam bahaya " ucap nya kepada Lee,
Lee hanya diam saja, dan fokus pada bidikan nya, apa saja bisa terjadi, tidak ada yang tau jika nanti mereka yang akan saling mengerang,
Renata dan tim membawa Mr. Robi masuk ke dalam ruang operasi. Sementara itu, Lee menerima pesan dari pusat bahwa tindakannya ini bisa membuatnya dan timnya kehilangan jabatan mereka.
Namun, Lee hanya diam saja dan membiarkan Renata membawanya.
"Kau melanggar perjanjian kita, Kapten," ucap pasukan Dubai.
Lee tersenyum. "Dalam perjanjian kita, tidak ada disebutkan bahwa mengobati seseorang bisa dihukum," ucap Lee, masih dengan senjatanya terarah kepada mereka.
"Kau akan mendapatkan hukuman yang berat, Kapten," ucap pasukan Dubai.
Sementara di ruang operasi,
Renata bersiap untuk operasi. Ia mencuci tangannya dan masuk ke dalam setelah semuanya steril dan aman.
Renata menatap wajah pasien yang akan ia bedah. Karena jahitannya lepas, mungkin ada kesalahan di dalamnya.
"Kita akan mulai dari membuka jahitan lama dan memasang jahitan baru. Ini hanya sebentar, dan aku yakin kalian bisa," Renata menatap semua timnya.
Renata maju dan mulai membedah perutnya. Entah apa yang salah, tetapi darah muncul sangat banyak. Darah keluar dari perutnya dan membuat ruang operasi banjir darah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments