Lee menyelesaikan misinya dengan baik dan ingin segera kembali ke kamp. Namun, malam sudah larut, dan tidak mungkin baginya untuk kembali sekarang. Terlebih lagi, ia dijadwalkan berjaga selama satu minggu, meskipun ia bisa mengajukan cuti jika ada alasan mendesak.
Lee duduk di sebuah bangku, menatap langit malam yang disinari bulan, sesekali tertutup awan, membuat cahayanya redup.
Choi datang dan duduk di sebelah Lee. "Maaf, Kapten, tapi sepertinya besok aku akan mengajukan izin. Aku ingin melihat keadaan Perawat Anna," ujar Choi dengan suara penuh harap.
Lee menatap Choi dengan senyum tipis. Senyum itu bukan tanda kebahagiaan, melainkan penyesalan. "Jika bisa, tentu akan kuberikan izin, tapi aku tidak bisa. Kita harus mengajukan surat permohonan kepada atasan terlebih dahulu, baru kemudian kepadaku," jelas Lee.
"Kenapa semua peraturan di dunia militer ini begitu rumit? Aku hanya ingin melihat Perawat Anna," keluh Choi, merasa frustasi.
Tiba-tiba, seorang anggota tim datang tergesa-gesa. "Maaf mengganggu, Kapten. Kita baru saja menerima perintah dari atasan untuk mengawal vaksin yang telah diracik untuk para pasien yang terinfeksi virus di kota."
Lee menatap prajuritnya dengan penuh keterkejutan. "Tim kita yang berada di sini akan kembali ke kota dan mengantarkan vaksin?" tanyanya, seolah tak percaya.
"Benar, Kapten. Karena vaksin ini sangat penting, Kapten diminta untuk ikut serta mengawalnya. Kondisi di kota sudah sangat parah," jelas prajurit tersebut.
"Baiklah, siapkan kendaraan. Aku akan memberi tahu tim," ucap Lee, bersiap pergi, namun...
"Kita akan berangkat besok pagi, Kapten. Malam sudah larut, dan vaksin juga baru akan dikirimkan besok," sambung prajurit itu.
Lee menatap Choi dan tersenyum kecil. "Sepertinya Choi sangat senang ingin kembali ke kota. Itu sebabnya aku terburu-buru," goda Lee.
Di kamp kota, Renata sibuk mengobati pasien, memastikan mereka mendapatkan infus dan obat tepat waktu. Namun, ia lupa bahwa dirinya juga telah terinfeksi virus. Terlalu sibuk merawat orang lain, ia mengabaikan kondisinya sendiri.
"Dokter, istirahatlah sebentar dan makanlah. Saya akan memeriksa pasien," ucap salah satu anggota tim medis yang ikut bersamanya ke ruang karantina.
Renata menatapnya lelah. "Aku tidak lapar. Aku harus memberikan obat kepada pasien-pasien ini. Kau periksa saja yang lain dan berikan obat sesuai instruksiku," jawab Renata, tetap sibuk dengan obat-obatan di tangannya.
"Vaksin sudah ditemukan, Dokter. Itu semua berkat racikanmu. Vaksin akan sampai besok pagi. Kau bisa duduk dan makan sebentar," bujuk rekannya, tetap bersikeras agar Renata beristirahat.
" Akan ku berikan obat kepada mereka semua, baru aku akan istirahat, kau juga lakukan tugas mu degan baik " Renata menatap perawat yang berusaha membujuk nya,
Sudah ada sekitar dua orang perawat yang membujuk Renata namun hasil nya tetap nihil, akhirnya mereka meminta rekan mereka yang lain untuk membujuk Renata lagi, karena jika tidak, Renata bisa jatuh sakit, wajah nya sudah pucat,
" Dr.Renata, maaf aku menganggu pekerjaan mu, tetapi dokter, kau belum makan sejak pagi dan ini sudah mah tengah malam, lebih baik kau makan atau minum segelas air " berusaha membujuk Renata,
Renata menatap nya " aku akan istirahat nanti, kau lanjutkan saja pekerjaan mu " ini adalah jawaban yang selalu mereka dapat kan,
" Dokter harus punya tenaga untuk mengobati pasien nya " tetap kekeh membujuk Renata agar istirahat sebentar saja, hanya untuk minum air saja,
Renata melirik jam tangan, tetapi pandangannya buram. Semua terlihat samar. Kepalanya terasa berputar. "Baiklah, aku akan duduk sebentar. Jika terjadi sesuatu padaku, berikan aku obat yang sama seperti mereka," ucapnya lirih.
"Baik, Dokter," jawab rekannya.
Renata berjalan menuju ruang penyimpanan obat, duduk di sana, dan memegang kepalanya dengan kedua tangan. "Kenapa pusing ini semakin menjadi-jadi? Apakah virusnya sudah menyebar?" gumamnya.
Tiba-tiba, darah mengalir deras dari hidungnya. Ia ingin menyekanya, tetapi tubuhnya tak lagi bertenaga. Dalam hitungan menit, Renata terjatuh dan pingsan di ruang penyimpanan obat yang sepi.
Sementara itu, tim medis lainnya masih sibuk merawat pasien yang harus menerima suntikan obat setiap enam menit sekali. Tak ada yang menyadari Renata telah pingsan.
Di luar ruang karantina, Anna duduk di kursi yang disediakan, tepat di depan tenda karantina. Penjaga memintanya masuk ke tenda untuk beristirahat, namun ia menolak. Ia tak bisa tidur tanpa memastikan keadaan Renata.
Rafael datang membawa segelas susu. "Kau belum makan sejak tadi. Ini sudah larut. Setidaknya, minumlah susu ini," ucap Rafael, duduk di sebelah Anna.
"Aku tidak ingin makan. Apakah Renata di dalam sana sudah makan?" tanya Anna, cemas.
"Untuk sekarang, pikirkan dulu kondisimu. Aku sudah berusaha menyiapkan susu ini. Tolong, cicipi sedikit," bujuk Rafael lembut.
Anna menatap gelas susu di tangan Rafael. "Aku ingin masuk ke sana. Tolong, Rafael," pinta Anna dengan nada memohon.
"Baiklah, aku akan membawamu masuk, tapi kau harus menghabiskan susu ini dulu," jawab Rafael sambil menyerahkan gelas susu.
Percaya pada Rafael, Anna menghabiskan susu tersebut, lalu mengikuti Rafael.
Saat petugas membawa obat ke ruang karantina, Rafael melihat pintu masuk yang tak dijaga. Dengan pakaian medis yang sama seperti perawat lainnya, Rafael dan Anna berhasil masuk tanpa dicurigai. Mereka mulai mencari keberadaan Renata.
Di dalam, suasana begitu kacau. Pasien-pasien dalam kondisi kritis, dan perawat-perawat sibuk tanpa henti. Anna dan Rafael terus mencari, tetapi tak menemukan Renata.
Seorang perawat tiba-tiba menarik tangan Anna. "Kenapa kau hanya diam? Dokter Renata akan marah jika melihatmu tidak membantu. Ayo, berikan obat ini pada pasien," ujar perawat sambil menyerahkan beberapa jarum suntik.
Anna mengangguk. "Baik, tapi di mana Dokter Renata?" tanyanya.
"Dokter Renata tadi masuk ke ruang penyimpanan obat untuk beristirahat. Ia belum makan atau minum sejak tadi," jawab perawat tersebut.
Anna menghela napas lega. "Baiklah, pasien mana yang harus diberi obat ini?"
"Pasien di ujung sana. Setelah selesai, tolong panggil Dokter Renata. Beberapa obat racikannya sudah habis," pintanya.
Anna menatap Rafael. "Awasi pasien-pasien ini dan cari tahu di mana ruang penyimpanan obat. Masuklah ke sana lebih dulu. Aku akan menyusul," ucap Anna cepat.
Rafael segera mencari ruang penyimpanan obat. Setelah selesai memberikan obat, Anna berlari menuju ruang yang dimaksud.
Saat masuk, Anna terkejut melihat Rafael membersihkan darah di wajah Renata. "Apa yang terjadi?" tanya Anna panik.
"Jangan ke sini, Anna. Pergilah, aku akan mengurus Renata," ujar Rafael, berusaha menutupi kondisi Renata.
Namun, Anna sudah melihat semuanya. "Renata..." panggil Anna dengan suara bergetar, jatuh terduduk, air matanya mengalir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments