Anna melihat beberapa penduduk yang sebelumnya juga dilihat oleh Renata. Namun, ia menyadari sesuatu yang aneh: setelah mereka memakan logam atau besi berkarat, mereka mengalami mimisan, lemas, dan bahkan demam, ini bukan demam biasa, ini sangat tinggi,
Anna mendekati seorang bapak tua yang duduk lesu di atas tumpukan rumput kering. "Maaf, boleh saya periksa sebentar, Pak?" tanyanya dengan lembut.
Bapak itu menatap Anna. Alih-alih setuju untuk diperiksa, ia malah meminta makanan. "Makan... makan... makan..." ucapnya berulang kali, seolah ingin Anna tahu bahwa ia membutuhkan makanan, bukan obat.
Anna menatapnya dengan prihatin dan ingin memeriksa kondisinya.
Namun, ia mendengar teriakan Rafael.
"Jangan sentuh dia, Anna! Itu bisa saja berbahaya!" teriak Rafael sambil berlari ke arahnya.
Anna menatap Rafael dengan bingung. "Apa maksudmu? Kau tidak ingat apa yang Renata katakan? Kita harus mengobati setiap orang yang terluka. Dia demam," ucap Anna dengan tegas.
"Iya, aku tahu dan aku ingat, tapi ini berbahaya. Bagaimana jika kau terkena virus?" jelas Rafael dengan cemas.
"Virus?" Wajah Anna menunjukkan kebingungan; dia sama sekali tidak mengerti apa yang Rafael maksud.
Di tengah perdebatan mereka, Renata mendengar percakapan tersebut. Tanpa rasa khawatir akan nyawanya, ia menghampiri bapak itu.
Renata memasang infus padanya dan memberikan beberapa suntikan obat. "Tolong pakai ini, dan minta kepada tim di kamp untuk menyediakan tempat karantina, karena ada beberapa pasien yang akan dimasukkan ke sana," jelas Renata sambil memberikan masker dan sarung tangan kepada Rafael dan Anna.
Anna menatap Renata dengan kebingungan.
"Kenapa kau melakukan ini dan untuk apa ruangan karantina?" tanyanya.
Rafael menatap Anna. "Aku tahu seharusnya aku mengatakan hal ini kepada mu, karena tidak wajar membahas kasta atau derajat dalam tugas, tetapi Kau adalah seorang perawat, mungkin kau tidak paham akan hal-hak seperti ini, akan aku katakan pada mu, logam yang mereka makan itu terkontaminasi virus," jelas Rafael dengan wajah datar.
Anna menatap Renata yang dengan sukarela mengobati pasiennya, menyentuh mereka semua tanpa perlindungan, masker dan sarung tanggan tidak ia pakai, dia juga terluka itu mungkin saja membuat virus lebih mudah untuk masuk ke dalam tubuh nya,
"Renata," ucap Anna dengan wajah sedih, takut jika sahabatnya itu akan terkena virus.
Renata menatap Anna.
"Jangan tatap aku. Cepat bawa mereka ke dalam ambulans; mereka sudah tiba. Aku sudah berbagi di grup kita bahwa mereka harus memakai pakaian khusus untuk menyentuh pasien ini," jelas Renata.
Anna melihat tangan Renata; dia sama sekali tidak memakai sarung tangan, bahkan masker pun tidak. Kaki Renata terluka, yang mungkin memudahkan virus masuk.
Anna ingin menarik Renata dari sana dan membawanya, namun ia ditahan oleh Rafael.
"Renata sudah tahu bahwa mereka semua terkena virus, dan sepertinya Renata sudah mengalami gejalanya," jelas Rafael.
"Apa maksudmu?" Anna tidak percaya pada ucapan Rafael.
Rafael menelan air ludahnya, menarik napas panjang.
"Aku sudah bicara dengannya, dan dia mengatakan itu bukan masalah. Walau mematikan, dia akan melakukan apa pun untuk mereka dan dia meminta aku untuk menjagamu."
Anna menatap Renata, dengan kerah baju yang sudah berdarah. "Dia mimisan?"
"Ya, dan mimisan adalah salah satu gejalanya. Dia akan demam dan mungkin saja demamnya itu sangat tinggi," Rafael menatap Renata dengan cemas.
"Kau sudah tahu ini? Kenapa kau tidak melarangnya, Rafael?" Anna menatap Rafael dengan sedih.
"Aku terlambat," ucapnya dengan penyesalan.
Sementara di bagian timur,
Lee sedang mengawasi timnya yang sedang berperang, atau bisa dikatakan sedang melawan penyusup yang masuk, agar tidak sampai ke kawasan warga dan kota.
Dia menerima pesan dari timnya yang berada di kota melalui walkie-talkie-nya.
"Pesan dari kota, beberapa warga terkena virus, dan mereka sudah dibawa ke kamp dengan disediakannya tempat untuk karantina," ucap suara dari kota.
Lee menjawab, "Ada berapa orang yang terkena virus?"
"Yang terkena virus sekitar 50 orang dan lainnya masih akan menjalani tes. Sampel sudah kami kirim ke pusat, dan satu orang di antara pasien katanya adalah Dr. Renata."
Lee terdiam, sempat tidak bisa menjawab.
Ia tidak menyangka bahwa Renata juga akan terkena virus ini.
"Dr. Renata terkena virus ini karena dia dokter yang mengobati mereka semua, bahkan penawarnya belum ditemukan. Bagaimana ini, Kapten?" ucap orang dari kota, karena Lee tak menjawab.
Lee menutup walkie-talkie-nya, dia duduk sejenak, melupakan bahwa dia saat ini sedang berada di medan perang. Rencana yang sudah ia rancang terlihat di atas meja yang ia tinggalkan.
Ia cukup lama terdiam, dan sadar saat mendengar suara tembakan dari arah barat. Dia kembali duduk dan menyusun pertahanan.
"Kita harus segera selesaikan mereka, bunuh saja jika memang tidak bisa diatasi!" ucap Lee dengan tegas.
Di kota,
Renata mengobati semua pasiennya. Setelah selesai, dia masuk ke dalam ambulans, namun kepalanya terasa sangat berat. Dia memegang jidatnya, terasa panas, namun sampai di rumah sakit dia tetap harus mengobati pasiennya.
Dia menahan rasa sakitnya, menghapus darah yang keluar dari hidungnya, dan tetap menjalankan tugasnya.
Sampai di kamp,
Renata turun bersama pasien yang ia bawa. "Tolong siapkan pakaian khusus untuk dokter yang bertugas, dan siapkan banyak infus serta obat demam. Paracetamol, siapkan lebih banyak," instruksinya kepada para dokter.
"Baik, Dokter," jawab para dokter.
"Dan jaga keselamatan kalian," sambung Renata.
Di sisi lain, Anna yang mendengar Renata sudah kembali, berlari menuju tempat karantina, namun dia dihadang oleh pasukan khusus, karena Renata sudah meminta kepada mereka agar dokter lain dilarang masuk kecuali yang bertugas.
"Maaf, Perawat, kau dilarang masuk, karena semua orang yang berada di dalam sedang sibuk dengan urusan mereka," jelas penjaga pintu itu.
"Tetapi saya harus bertemu dengan Dr. Renata, saya harus bicara dengannya," ucap Anna berusaha untuk tetap masuk.
Renata keluar karena ingin mengambil obat, dia melihat Anna yang berada di pintu masuk dan berusaha untuk masuk. Dia mendekat dan menatap Anna dari jarak kurang lebih satu meter.
"Anna, dengarkan aku. Untuk saat ini, tolong jangan membantah dan taati aturannya."
Anna menatap Renata, matanya berkaca-kaca.
"Aku juga ingin ke sana, aku ingin bersamamu, aku ingin membantumu," Anna menangis.
"Kau tidak bisa masuk ke sini, Anna. Jika kau terkena virus ini, maka aku tidak bisa melakukan apa pun, karena..." ucapnya
" Karena apa Renata? " Anna berteriak histeris,
" Karena obat atau pun vaksin nya belum di temukan Anna " masuk ke dalam lagi, sambil mengusap air mata nya,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments