Renata dan timnya tiba di lokasi evakuasi. Saat ia turun dari mobil, rambutnya dikuncir rapi, membuatnya terlihat berbeda dari biasanya, Renata mengunakan celana pendek hari ini, mungkin itu akan membuat nya terluka, tetapi cuaca di sini sangat panas, jadi dia mengunakan pakaian yang nyaman,
"Dia cantik dengan gaya rambutnya," gumam Lee sambil menatap Renata dan tersenyum kecil
Di sisi lain, Anna terus mengawasi Renata dengan cermat. Situasi kali ini lebih sulit dari sebelumnya. Jika seseorang kehilangan nyawa karena Renata, Anna tahu bahwa ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri, dan Anna tidak mau jika hak itu terjadi lagi, sudah cukup bagi nya melihat Renata seperti kemarin, cukup sekali,
Tatapannya beralih ke Choi. Ia ingin Choi menyampaikan kepada Lee bahwa kejadian seperti kemarin tidak boleh terulang lagi.
"Choi, bisa kita bicara berdua saja?" tanyanya, melirik teman-teman Choi yang berdiri di dekatnya.
Rekan-rekan Choi langsung menatap mereka dengan penuh rasa ingin tahu, seolah ada sesuatu di antara mereka.
Choi, yang peka akan situasi itu, segera menanggapinya. "Kami hanya akan bicara. Tidak lebih dari itu. Lagipula, dalam tugas militer, jatuh cinta adalah sesuatu yang terlarang," jelasnya tenang.
Wajah teman-temannya berubah datar, seolah memahami maksudnya.
Anna menarik tangan Choi, membawanya ke sudut yang lebih sepi. Kini, hanya ada mereka berdua.
"Tolong katakan pada Kapten Lee untuk mengawasi Renata dengan baik. Jangan sampai kejadian seperti di kamp kemarin terulang lagi," ucapnya serius.
Choi menatap Anna.
Anna, yang dikenal sebagai perawat paling cantik di tim Renata, memiliki aura lembut yang sulit diabaikan. Tatapan Choi tidak bisa berbohong.
"Baiklah, aku akan sampaikan padanya. Sekarang kau akan ke mana, Perawat Anna?" tanyanya.
Anna menatap sekeliling. "Aku akan ke belakang gedung ini. Jika aku butuh bantuan, aku akan memanggilmu," jawabnya sebelum pergi.
Choi menatap punggungnya yang menjauh. Dalam hati, ia berdoa, Bolehkah wanita itu menjadi milikku, Tuhan?
Di Samping Reruntuhan
Renata berlutut di samping seorang pria yang terjebak di bawah puing-puing bangunan. Tangan dan kakinya tertindih beton yang berat. Darah mengalir dari kepalanya, bercampur dengan debu dan keringat.
"Kapten Lee, jangan diam saja! Panggil timmu dan angkat beton ini. Aku akan memberinya obat," perintahnya tegas, tangannya sibuk mencari alat bantu pernapasan.
Lee segera bergerak, memanggil timnya.
Renata mengambil jarum suntik dan dengan cepat menyuntikkan ketorolac untuk mengurangi rasa sakitnya. Lalu, ia menyiapkan tranexamic acid untuk mengendalikan pendarahan.
Napas pria itu tersengal. Rasa sakit jelas terpampang di wajahnya.
"Pak, saya akan memberikan infus dengan ringer laktat agar tubuh Anda tetap terhidrasi," ujar Renata lembut, menusukkan jarum ke lengannya dengan hati-hati.
Darah mengalir ke dalam selang infus.
Renata menatap luka di kepala pria itu, lalu membalutnya dengan perban steril. "Tolong bertahan, Pak. Kami akan segera mengangkat Anda keluar dari sini," katanya lirih.
Tak lama, tim Lee datang.
"Kalian angkat beton ini! Setelah itu, yang lain tarik bapak ini ke atas bed hospital," instruksi Lee lantang.
Anggota tim segera bekerja. Dengan penuh tenaga, mereka mengangkat beton itu, lalu menarik pria itu ke atas tandu.
"Bawa dia ke tenda dokter dan minta Dr. Rafael untuk segera menangani," kata Renata, mencatat kondisi pasiennya dalam buku kecil yang ia selipkan di sakunya.
Ia merobek halaman itu dan menyerahkannya kepada tim medis. "Berikan ini kepada Dr. Rafael. Jangan sampai ketinggalan."
Lee melihat wajah Renata yang penuh kekhawatiran. Ia tidak pernah berhenti bekerja, mengobati satu pasien lalu beralih ke yang lain. Dedikasi wanita itu membuatnya kagum.
Namun, ia tak bisa berlama-lama. Ada hal lain yang harus ia lakukan.
Lee masuk ke dalam reruntuhan untuk memastikan tidak ada korban lain. Di tengah kegelapan, ia menemukan seorang anak laki-laki dengan luka di kakinya. Luka itu tidak parah, tapi cukup membuatnya kesulitan berjalan.
"Kim, bawa anak ini keluar dan antarkan ke tenda dokter. Aku akan mencari korban lain," perintahnya.
Kim menatapnya ragu. "Kapten, kau harus keluar sekarang. Ada perintah dari Korea bahwa kau harus segera kembali."
Lee terdiam.
Ia teringat bahwa tugas lain menunggunya. Timnya memang sudah siap pergi, tapi ia belum sempat mengatakannya pada Renata.
Dengan berat hati, ia menggendong anak itu dan keluar dari reruntuhan.
Setibanya di luar, tim medis langsung membawa anak itu ke tenda dokter.
Lee ingin menemui Renata. Namun, saat itu juga, tim yang akan berangkat ke bagian timur sudah berkumpul. Tidak ada waktu untuk menunda.
Ia menatap Renata dari kejauhan. Wanita itu masih sibuk mengobati pasiennya, wajahnya terlihat lelah, dan kakinya terluka. Mungkin karena ia mengenakan celana pendek.
Lee berbalik, masuk ke dalam mobil.
"Aku tidak sempat mengatakan apa pun padanya," ucapnya lirih pada Choi yang duduk di sampingnya.
Choi juga terlihat muram. "Aku juga tidak sempat berpamitan dengan Perawat Anna."
Mereka saling menatap, sama-sama tenggelam dalam penyesalan.
Di Sisi Lain
Sementara itu, Renata dan Anna masih sibuk menangani pasien.
Di sudut jalan, Renata melihat seorang ibu mengunyah sesuatu yang aneh—sepotong besi berkarat.
Ia terkejut.
Renata segera menghampirinya. "Jangan makan itu! Itu bukan makanan!" serunya, mengambil potongan besi dari tangan si ibu.
Wanita itu menatapnya dengan mata kosong.
"Kami lapar... Tidak ada makanan di sini," suaranya lirih. "Besi ini terasa manis, jadi kami memakannya."
Renata menggenggam potongan besi itu, merasakan dingin dan tajamnya di tangannya.
Kenyataan ini terlalu kejam.
"Kalian tidak boleh makan ini lagi. Ini bukan makanan. Apa pun yang kalian temukan di sini tidak semuanya bisa dimakan. Paham?" ucapnya penuh empati.
Ibu itu hanya diam, seolah tak punya pilihan lain.
Renata menghela napas, lalu pergi saat mendengar panggilan seseorang.
Seorang anggota tim Lee mendekatinya.
"Dr. Renata," panggilnya.
Renata menoleh. "Ya?"
Prajurit itu menyerahkan sebuah tas kecil. "Ini titipan dari Kapten Lee."
Renata membuka tas itu. Di dalamnya ada sepasang sepatu dan sarung tangan baru.
Ia terdiam, lalu menatap sepatu yang ia kenakan—penuh debu, hampir rusak.
"Terima kasih," katanya pelan. "Tapi... di mana Kapten Lee? Kenapa bukan dia yang memberikannya langsung?"
"Kapten Lee sudah berangkat ke bagian timur. Mungkin ia akan kembali dalam satu minggu," jawab prajurit itu.
Renata terdiam.
Lalu—
"Dr. Renata, hidungmu berdarah," kata prajurit itu cemas.
Renata menyentuh hidungnya. Setetes darah menempel di ujung jarinya.
Namun, ia hanya tersenyum tipis.
"Iya," jawabnya pelan, lalu berbalik, melanjutkan pekerjaannya seolah tidak terjadi apa-apa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments