Renata masih duduk di kafe itu, menatap jam tangannya, lalu sesekali melirik ke arah pintu.
Seseorang yang ia tunggu tak kunjung datang. Apakah dia lupa? Atau memang tidak mau bertemu? Pikiran itu terus berputar di kepalanya.
Hingga akhirnya, seorang pelayan mendekat.
"Maaf, Nyonya. Kafe kami akan segera tutup," ucapnya sopan.
Renata menunduk, menatap jam tangannya sekali lagi. Sudah pukul sepuluh malam.
"Baik," jawabnya dengan senyum tipis, meski hatinya terasa sedikit berat.
Keluar dari kafe, ia melangkah kembali ke kamp. Suasana di sana sudah sangat sunyi—hanya suara angin malam yang berhembus pelan. Begitu sampai, langkahnya terhenti di depan kamar Lee.
Haruskah aku mengetuk pintunya?
Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan. Apa alasannya tidak datang? Apa dia benar-benar melupakan janji mereka? Namun, sebelum tangannya sempat terangkat untuk mengetuk, Renata menghela napas panjang.
Siapa aku baginya?
Mereka baru saling mengenal, dan ia merasa tak pantas untuk bertanya hal-hal seperti itu. Akhirnya, ia memilih untuk masuk ke kamarnya sendiri, di mana Anna sudah tertidur lelap.
Renata duduk di tepi ranjang, melepas riasan wajahnya, lalu berbaring. Perlahan, kelopak matanya menutup, membiarkan malam menelannya dalam keheningan.
---
Lima jam sebelumnya.
Lee baru saja akan pergi menemui Renata ketika ponselnya bergetar. Ia meraihnya, membaca pesan singkat dari kaptennya:
"Lapor ke Kadravia bagian timur. Kemungkinan perang dalam seminggu ke depan. Bagi timmu. Misi ini bersifat rahasia."
Lee terdiam. Rahangnya mengatup, matanya menatap layar ponselnya cukup lama. Ia tahu, tugas adalah segalanya bagi seorang tentara. Tanpa pikir panjang, ia segera mengatur timnya.
Ia bahkan tidak sempat mengirim pesan kepada Renata.
---
Pagi hari.
Renata membuka matanya perlahan. Sinar matahari menembus celah jendela, menyilaukan pandangannya. Tangannya terangkat, menyentuh jam yang masih melingkar di pergelangan tangannya sejak semalam.
"Sudah jam delapan," gumamnya malas.
Anna baru saja keluar dari kamar mandi, terlihat segar.
"Renata, cepat bersiap! Hari ini kita akan keliling bersama tim pasukan khusus," ucap Anna sambil merapikan riasannya.
Renata menoleh, matanya berbinar penuh harapan.
"Kita akan pergi bersama tim siapa?" tanyanya, berharap bisa bersama Lee.
"Kita bersama tim Kapten Lee, Choi, dan dua orang lainnya," jawab Anna santai.
Senyum kecil muncul di wajah Renata. Ia segera bangkit, mengambil handuk serta baju ganti, lalu keluar kamar. Saat berjalan melewati area luar, matanya menangkap sosok yang ia cari—Lee dan timnya sedang lari pagi.
Lee tidak menyadari kehadirannya. Tapi Renata tersenyum kecil sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya.
---
Dua jam kemudian.
Semua tim sudah bersiap. Mereka telah menerima tas dan perlengkapan medis masing-masing.
"Tim Rafael, kalian akan pergi ke sekolah yang hancur tak jauh dari sini. Tugas utama kalian adalah mengevakuasi murid-murid. Jika ada luka yang tidak bisa ditangani, bawa mereka ke sini. Dan ingat, jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak kuinginkan," jelas Renata tegas.
Rafael mengangguk, meski ada sedikit rasa bersalah di hatinya karena kejadian kemarin.
"Baik, Renata. Aku dan timku akan berhati-hati."
Renata mengangguk dan tersenyum padanya sebelum beralih ke tim lainnya.
"Tim Bunga, kalian akan ke bangunan tua yang runtuh. Fokus pada pegawai yang sudah tua, terutama cleaning service di sana. Paham?"
Bunga tersenyum. "Paham, Dokter. Aku dan tim akan bekerja keras. Jika ada masalah, kami akan segera menghubungimu."
Renata mengangguk bangga.
"Timku dan Anna akan pergi ke pabrik. Fokus kita sama, yaitu para pekerja yang sudah tua. Dan untuk tim yang tidak mendapat tugas, tetaplah di sini dan siaga menerima pasien gawat darurat," lanjutnya.
Semuanya sudah terbagi dengan jelas. Mereka berbaris, menunggu mobil yang akan membawa mereka ke lokasi masing-masing. Renata memastikan semuanya siap sebelum berangkat.
Namun, saat ia hendak mengikat rambutnya, karet yang ia gunakan putus begitu saja.
"Anna, kau punya karet rambut lagi?" tanyanya.
Anna menggeleng. "Aku hanya pakai satu. Mau aku ambilkan?"
"Tak perlu, mobilnya sudah tiba," ujar Renata, menatap kendaraan yang akan membawa mereka.
Saat melihat ke arah pasukan khusus, matanya tanpa sadar mencari sosok Lee. Ia menemukannya. Namun, pria itu tampak berbeda—seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.
Alih-alih menyapa, Renata memilih diam.
Yang terjadi malah sebaliknya.
"Selamat pagi, Perawat Anna," sapa Choi dengan canggung.
Anna tersenyum. "Selamat pagi, Choi. Apa kau juga di tim ini?"
Choi mengangguk.
"Ya, tentu saja. Makanya aku ada di sini," jawabnya, sedikit malu-malu.
Tiba-tiba, Lee mendekat.
"Dia membujukku sepanjang malam agar bisa masuk ke tim satu," ucapnya pelan, memastikan hanya Anna yang mendengar. "Supaya bisa bertemu dan bicara denganmu lebih bebas."
Choi melotot ke arah Lee. "Kapten, bisakah kita segera berangkat?" ujarnya kesal.
Lee hanya tersenyum kecil.
Saat ia menoleh ke arah Renata, wanita itu sama sekali tidak menatapnya. Seolah ia tak ada di sana.
Apakah ini karena semalam?
Ia tidak tahu harus merasa bersalah atau justru merasa aneh dengan sikap Renata.
"Masuklah ke dalam mobil. Aku akan menghitung," ujar Lee akhirnya.
Semua timnya masuk ke dalam mobil.
Renata masih berdiri di luar, memastikan semuanya aman.
Tiba-tiba, suara yang ia kenal baik terdengar dari belakangnya.
"Selamat pagi, Dr. Renata."
Renata menoleh. "Pagi, Kapten," jawabnya formal.
Lee mengamati ekspresinya. Ada jarak di sana.
Apa aku seharusnya menjelaskan alasanku tidak datang?
Ia tahu ini kesalahannya. Tapi malam itu, tidak ada jaringan untuk sekadar mengirim pesan.
"Kau marah?" tanyanya pelan.
Renata menatapnya. "Aku tahu kita baru bertemu, dan aku juga tahu tidak pantas rasanya jika aku bertanya alasanmu tidak datang. Jadi biarkan saja semuanya berlalu. Mari berikan ruang untuk kita saling menunggu."
Lee terdiam. Kata-kata Renata seakan membuatnya merasa semakin bersalah, bukan tak ingin memberikan kabar, hanya saja sangat sulit untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi,
Lee menatap Renata " kita mungkin tidak akan bertemu selama dua Minggu atau mungkin bisa lebih, aku harap mata mu tetap sama indah nya seperti sekarang, saat aku kembali nanti " isi hati Lee,
Ia menatap rambut Renata yang terus berantakan karena angin dan itu membuat nya merasa tidak nyaman, karena kecantikan Renata tertutupi,
Tanpa banyak bicara, ia melepas gelang hitamnya dan memberikannya pada Renata.
"Apa ini? Kau ingin menyuapku?" Renata menatapnya curiga.
Lee tersenyum kecil.
"Ikat rambutmu dengan ini, agar kau nyaman beraktivitas," ucapnya sebelum berbalik dan berjalan menuju mobil,
Renata menatap punggung Lee " mungkin sikap ku terlalu berlebihan, siapa aku yang ingin tau segalanya tentang dia " ucap Renata sambil mengikat rambut nya dengan gelang Lee,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments