Janji yang di lewat kan

Renata membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, dunia di sekelilingnya terasa asing dan berputar. Kepalanya terasa berat, denyut sakit menusuk pelipisnya.

" Di mana aku? "

Kilasan ingatan mulai berusaha menembus kabut pikirannya—suara ambulans, aroma darah yang menyengat, tangisan putus asa, dan tatapan kosong seorang ibu yang tak bisa ia selamatkan.

Dua jam yang lalu...

Di dalam ambulans yang melaju di jalanan tak rata, Rafael tengah mencoba memasangkan selang oksigen ke hidung pasien. Namun, di saat yang bersamaan, infus yang telah Renata pasang terlepas akibat guncangan keras. Ia hanya butuh satu detik untuk meraihnya kembali, tetapi satu detik itu sudah cukup untuk mengubah segalanya.

Pendarahan terjadi. Perut sang ibu yang membesar perlahan mengecil sebelum operasi sempat dilakukan. Darah mengalir deras, bercampur dengan cairan tubuh yang keluar tanpa tindakan medis. Tak ada waktu, tak ada kesempatan kedua.

Saat mereka tiba di kamp, nyawa sang ibu telah pergi.

Renata merasakan dadanya sesak.

"Kenapa aku di sini?" gumamnya sambil memegang kepala, mencoba memahami situasi. Ia melihat ke cermin di hadapannya dan terkejut.

"Rambutku...?"

Sekali lagi, ingatan itu kabur. Inilah yang kerap terjadi pada Renata—sebuah mekanisme pertahanan yang membuatnya lupa akan kejadian traumatis. Otaknya memilih untuk menyimpan hanya kenangan baik, menghapus segala yang bisa melukai jiwanya.

Dengan langkah sedikit goyah, ia membuka pintu tenda dan melihat Lee duduk sendirian di luar.

"Lee?" panggilnya sambil melangkah mendekat. "Apa yang terjadi? Kemana semua orang?"

Lee menoleh, tatapan dalamnya seolah menelanjangi kerapuhan Renata. Ia teringat saat wanita itu mencapai titik terendah dalam hidupnya. Luka yang sama kini tampak di mata Renata—hanya saja, kali ini, ia bahkan tidak menyadarinya.

"Kau sungguh tidak ingat apa yang terjadi tadi?" suara Lee terdengar hati-hati, seolah takut merusak kepingan ingatan yang mungkin masih tersisa.

Renata mengernyit, bingung. "Apa yang terjadi?"

Sebelum Lee sempat menjawab, suara teriakan dari kejauhan memecah keheningan.

"Renata!!"

Anna berlari ke arah mereka, nafasnya memburu. Ia menatap Lee sejenak sebelum berkata, "Kapten, kau dipanggil oleh prajurit Kim. Ada sesuatu yang harus kau selesaikan."

Lee menatap Anna curiga, namun ia tidak mengatakan apa-apa.

Renata memperhatikan Anna dengan seksama. Mata gadis itu sembab, jelas baru saja menangis.

"Anna, kau menangis?" tanyanya lirih.

Anna tersentak, buru-buru mengusap matanya. "Ah, ini tidak apa-apa. Aku hanya rindu ibuku."

Renata tak bertanya lebih jauh. Ia tahu betul bagaimana rasanya rindu yang menyakitkan.

Malam semakin larut.

Anna menyuruh Renata mandi lebih dulu karena antrean akan panjang.

"Pergilah dulu, aku akan menyusul nanti," ujar Anna sambil menyerahkan peralatan mandi.

Renata mengikat rambutnya. "Baiklah. Tapi, Anna..."

"Hm?"

"Di mana anak yang aku obati tadi?"

Anna terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. "Dia sudah pulang. Ini sudah malam, kan?"

Renata mengangguk, lalu melangkah pergi. Dari pantulan cermin, Anna melihat wajahnya sendiri—penuh kebohongan yang ia ucapkan demi menjaga luka yang lebih besar.

Sementara itu, di luar tenda...

Anna berjalan cepat mencari Kapten Lee. Ia harus segera berbicara dengannya sebelum rumor tentang kondisi Renata menyebar.

Saat ia hampir sampai di markas, ia melihat Choi sedang bercanda dengan rekannya.

"Maaf mengganggu, apa kau tahu di mana Kapten Lee?" tanyanya, sambil menatap Choi dengan sangat dalam,

Choi menghentikan tawanya. "Terakhir kulihat, dia bersama Dr. Renata. Tapi setelah itu, aku tidak tahu, aku juga sedang menunggu nya, apakah ada pesan yang ingin kau sampai kan? "

Anna berpikir sejenak, lalu mengeluarkan kartu namanya.

"Jika kau melihatnya, bisakah kau menghubungiku?"

Choi menerima kartu itu dan menatapnya lama, seolah ada sesuatu ganjal menurut nya,

"Kenapa kau memberikan nomor teleponmu padaku? Kau tahu bahwa dalam tugas ini, kami tidak boleh jatuh cinta, itulah janji kami para tentara " jawab Choi,

Anna hampir tertawa. "Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin tahu jika kau melihatnya, dan tolong kirim aku pesan, hanya itu saja "

Saat mereka asik berbicara, Lee tiba-tiba muncul. Anna langsung memasang ekspresi serius dan mendekatinya dengan cepat, dia meninggal Choi tanpa satu patah kata, dia bahkan tidak mengucap kan selamat tinggal,

Choi menatap Anna yang berlari " kenapa aku terlibat dalam tugas yang cukup sulit kali ini? "

Anna berteriak

"Kapten Lee!" panggilnya dengan keras,

Lee terus berjalan seolah tidak mendengarnya, mungkin ada sesuatu yang sedang ia pikirkan saat ini,

Anna berlari lebih cepat, lalu menyentuh bahu pria itu. "Kapten Lee , aku harus bicara denganmu." ucap Anna dengan nafas yang tak beraturan,

Lee menatapnya dengan ekspresi kosong. "Maaf, aku tidak fokus, katakan ada apa? "

Anna menarik napas dalam-dalam, lalu menggiring Lee ke tempat yang lebih sepi. Tak jauh dari sana, Renata yang baru selesai mandi melihat mereka.

Renata tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi entah kenapa, perasaan aneh menyelinap di hatinya, seolah merasa ada yang aneh, namun tidak terlalu mempermasalahkannya.

Di tempat terpencil itu, Anna menatap Lee serius.

"Aku tidak ingin kejadian tadi tersebar. Renata sudah lama berada di ambang trauma. Aku harap kau dan timmu bisa menjaga rahasia ini." ucap Anna tanpa basa basi,

Lee terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Aku mengerti."

Ia pun berjalan pergi, meninggalkan Anna.

Anna menatap nya " apakah dia memang benar mengerti apa yang aku katakan tadi? Aku harap begitu " ucap Anna lalu pergi juga dari tempat itu,

Di tempat lain.

Renata duduk di bawah langit malam, mengambil foto bintang dengan kamera kecilnya.

Tanpa ia sadari, Lee mendekatinya.

"Dr. Renata," panggilnya.

Renata menoleh, masih dengan handuk di bahunya. "Kenapa kau ke sini? Aku tidak memakai make-up," katanya sambil menutupi wajah dengan kedua tangan.

Lee tersenyum tipis.

"Mau bertemu denganku di kafe yang kau sebutkan tadi?"

Jantung Renata berdebar. Ia menurunkan tangannya perlahan, menatap Lee.

"Aku mau," jawabnya pelan, dengan senyum malu-malu.

Lee mengangguk. "Baiklah, sampai bertemu di sana."

Setelah pria itu pergi, Renata tak bisa menyembunyikan senyumannya. Ia tak menyadari, bahwa tanpa ia sadari...

Ia jatuh cinta pada Kapten Lee Jinwoo.

Di kamar Anna dan Renata...

Renata memilih pakaian yang sederhana tapi terlihat indah di tubuhnya. Ia menatap cermin, membiarkan perasaan hangat menyelimuti hatinya.

Ia datang lebih awal ke kafe, duduk dengan sabar, menunggu.

Namun di sisi lain...

Lee hendak masuk ke mobilnya ketika ponselnya bergetar. Ia membuka pesan itu, membaca isinya,

Dan tiba-tiba, langkahnya terhenti.

Alih-alih pergi ke kafe, ia malah berbalik, Menuju markasnya.

Meninggalkan seseorang yang tengah menunggunya dalam harapan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!