Gadis dengan luka yang tak terlihat

Dalam perjalanan menuju kamp, Renata ikut bersama Lee karena di dalam ambulans sudah ada Rafael. Tak perlu lagi ia berada di sana. Sebelum masuk ke dalam mobil, Renata melepas sarung tangannya, membereskan semua perlengkapan yang tadi ia gunakan untuk mengobati sang ibu.

Lee menatap wajah Renata. Ada sesuatu dalam sorot mata perempuan itu—sesuatu yang tulus. Renata bukan hanya seorang dokter biasa. Ia seperti satu dari sedikit dokter yang benar-benar menghayati janji profesinya.

"Kalau aku boleh tahu, apa alasanmu memilih menjadi seorang dokter?" tanya Lee, begitu saja, tak ada alasan khusus,

Renata menghentikan gerakannya. Ia menatap Lee sejenak sebelum meminta pria itu duduk di sebelahnya.

"Duduklah, aku akan cerita sedikit tentang aku dan pekerjaanku," ucapnya.

Lee menatap kursi kosong di sebelah Renata. Hatinya berbisik, "Wanita asing yang ada di hadapanku ini berbeda. Dia ingin bercerita tentang dirinya padaku. Apakah dia juga merasa nyaman denganku?"

Renata menoleh, menatap Lee yang masih berdiri di tempat. "Kenapa kau tidak duduk? Atau kau memang lebih suka berdiri?"

Lee masih diam, meski dalam hatinya ada kalimat yang tak berani ia ucapkan. "Dari sini... kau terlihat sangat cantik, Dr. Renata."

Renata tertawa kecil melihat Lee yang tetap terpaku di tempatnya.

"Apa ada yang salah? Kenapa kau tidak duduk?"

Lee menghela napas dan akhirnya duduk. Renata mulai berbicara, suaranya terdengar lebih ringan.

"Ayah dan ibuku adalah dokter. Kakakku juga. Rasanya aku akan jadi orang paling bodoh di keluarga jika tidak lulus di jurusan kedokteran. Semua akan menganggapku tidak berguna, tidak pandai, berbeda dari mereka."

Lee mendengarkan tanpa menyela. Ada sesuatu dalam nada suara Renata—sesuatu yang bukan sekadar cerita biasa.

"Tapi ternyata aku salah... Aku gagal saat pertama kali ikut ujian. Aku tidak lulus. Aku berpikir keluargaku akan kecewa. Tapi tidak. Ibu dan ayah tidak marah. Mereka hanya berkata, 'Jadikan ini batu loncatan. Ayah yakin kau bisa.'"

Renata menatap jauh ke depan, lalu menghela napas.

"Aku tidak menangis saat itu. Aku tidak merasa gagal. Sampai akhirnya..."

Lee menunggu, namun Renata tiba-tiba terdiam. Ia menatap pria di sebelahnya yang begitu serius menantikan kelanjutan cerita.

Renata tersenyum kecil.

"Kita lanjutkan lain kali. Sudah senja. Ayo kembali ke kamp, yang lain mungkin sudah menunggu kita, " katanya, lalu beranjak menuju mobil.

Lee mengikutinya. Ia mengambil tas Renata tanpa diminta.

"Kapan kau akan melanjutkan ceritamu? Bisakah kita bertemu di luar kamp?" Lee mengambil kesempatan untuk menghabiskan waktu berdua saja dengan Renata,

Renata menatapnya sekilas. " tentu saja bisa. Besok sore, aku tunggu di sebuah kafe di ujung jalan ini."

Lee mengernyit. "Dari mana kau tahu ada kafe di sana?"

Renata tersenyum tipis. " Sejak tadi aku memperhatikannya. Aku sudah berpikir, siapa yang akan aku ajak ke sana, tempat nya sangat indah dan cocok untuk berbagi cerita, Dan ternyata... orang itu adalah kau." menatap Lee sekilas,

Ia membuka pintu mobil dan masuk.

Lee menatapnya, senyum perlahan muncul di wajahnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bisa menemukan kebahagiaan tanpa Hyejin. Dan orang yang bisa membuatnya melupakan Hyejin... adalah Renata.

Di Kamp,

Renata turun dari mobil. Pandangannya langsung tertuju pada sosok seseorang yang terbaring di atas ranjang rumah sakit darurat, dari posturnya ia merasa tak asing dengan sosok yang terbaring itu,

Ada sesuatu yang aneh.

Ada sesuatu yang familiar.

Renata melangkah mendekat. Wajahnya menegang., seolah dia merasakan firasat buruk,

Di sebelah ranjang itu, Rafael berdiri dengan wajah penuh duka.

"Rafael, siapa dia? Kenapa semua orang menatapnya seperti itu? Kenapa ada air mata di wajah kalian?" menatap semua orang yang ada di sana, namun...

Tidak ada yang menjawab dari mereka semua, semua membungkam,

Semua tim medis menunduk dalam diam. Begitu pula tim Kapten Lee.

Lalu, dari kejauhan, terdengar suara tangisan seorang gadis.

"IBUUU!!!"

Renata berbalik, matanya membelalak. Gadis kecil yang ia tolong tadi berlari ke arah mereka.

Dan tubuh yang terbaring di atas ranjang itu…

Renata menatapnya dengan napas tertahan.

Tangan Renata gemetar. Dada terasa sesak., seolah setiap tarikan nafas yang ia ambil menjadi beban pada dirinya,

Gadis itu mendekat, lalu terhenti di depan tubuh ibunya.

"Ibu? Kenapa kau tidur di sini? Bukankah dokter bilang ibu akan membuka matanya malam ini? Bukankah ibu tak akan merasa sakit lagi? Dokter!!"

Gadis itu menoleh, menatap Renata dengan mata penuh air mata.

Lalu ia mengguncang tubuh Renata.

"Dokter!! Kau dokter, kan? Kenapa ibu ada di sini? Kau bilang ibu akan baik-baik saja!! Kau bilang!! Jawab aku!!"

Isaknya semakin keras.

Renata tidak bisa menjawab pertanyaan nya,

Suara tangisan gadis itu seperti pisau yang menembus hatinya.

Dunia terasa menyempit. Seolah hanya ada ia, gadis itu, dan tubuh tak bernyawa di depannya.

Tangan Renata mencengkeram jasnya sendiri. Napasnya berat.

"Apa… ini?"

Matanya mulai basah. Dadanya sesak.

Anna melangkah mendekat, meraih Renata dan berbisik lembut.

"Renata, tenanglah… Semua akan baik-baik saja, kau percaya padaku, kan?"

Renata tak bergerak. Wajahnya kosong.

Lalu tiba-tiba, ia berteriak.

"KENAPA?! KENAPA?!"

Tangannya mencengkeram rambutnya sendiri, tubuhnya gemetar hebat.

Anna langsung memeluknya erat.

"Rafael! Bawa ibu itu ke dalam! Yang lain, tenangkan anak ini!"

Rafael menatap Anna. Ada kekhawatiran dalam sorot matanya.

"Anna, kau harus ikut denganku. Kita harus menyiapkan pemakamannya. Kau yang paling mengerti soal ini."

Anna menoleh ke arah Renata yang masih terguncang di pelukannya.

Lalu tatapannya beralih ke Lee yang berdiri tak jauh dari sana.

"Kapten Lee, tolong pegang Renata. Aku akan kembali nanti."

Lee menatap Renata yang masih menangis. Perlahan, ia melangkah maju, lalu meraih tubuh Renata ke dalam dekapannya.

Renata terus meronta.

"Lee… aku yang memberikan obat padanya… Aku yang menyuntikkan infus… Aku yang merasakan detak jantungnya terakhir kali… Lalu KENAPA?! KENAPA?!"

Tangisannya pecah.

Lee memeluknya lebih erat.

"Renata… nyawa seseorang bukan ada di tanganmu. Kau hanya menunda kematian mereka, meringankan sakit mereka. Selebihnya… itu sudah ditentukan oleh Tuhan. Ini bukan salahmu."

Renata menatapnya, matanya yang basah kini penuh kelelahan.

"Bukan… salahku?" suaranya lemah, hampir tak terdengar.

Lee menghapus air matanya, merapikan rambutnya dengan lembut.

"Bukan. Kau tidak salah."

Tubuh Renata melemas. Lututnya kehilangan kekuatan untuk menopang dirinya sendiri,

Lee sigap menangkapnya sebelum tubuhnya jatuh.

Menatap wajah Renata yang kini begitu rapuh, Lee berbisik lirih.

"Kau menyimpan luka yang sangat dalam, Renata…"

Lalu, tanpa ragu, ia menggendong Renata dan membawanya masuk ke dalam tenda tim dokter.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!