Kita bisa

Renata membawa gadis itu masuk ke dalam tenda dan memintanya untuk duduk.

"Tunggu di sini, aku akan kembali dan membawakan obat untuk lukamu," ucap Renata.

Namun, gadis itu menahan tangan Renata. "Bolehkah kau ikut denganku? Tidak jauh dari sini ada ibuku yang sedang sakit. Perutnya sangat besar," ujarnya dengan nada cemas.

Renata mengira perut besar yang dimaksud hanyalah perut membesar biasa. Ia hanya tersenyum dan menganggap semua nya hal yang sepele. "Baiklah, nanti aku akan datang ke sana," jawabnya dengan santai.

Renata kemudian melihat Anna yang tengah menyiapkan obat. "Anna, tolong siapkan tas untuk pemeriksaan darurat dan beri tahu tim bahwa aku akan pergi bersama gadis ini," pintanya.

Anna menatap gadis yang dibawa Renata. "Baiklah, tapi mengapa kau membawa tas dengan peralatan pemeriksaan darurat, apakah ada keadaan yang serius?" tanyanya heran.

Renata tersenyum. "Sepertinya ibu anak ini sedang mengalami rasa sakit di bagian perut. Dia terlihat cemas, seolah ibunya dalam kondisi yang sangat parah, aku yakin itu hanya sakit perut biasa " jawabnya.

"Baiklah aku akan siapkan semua yang kita perlukan disini, kau hati-hati lah " balas Anna dengan curiga. Ia menduga ibu yang akan dikunjungi Renata mungkin mengalami kondisi medis yang lebih serius.

" Yaa kau tenang saja, tidak perlu menyiapkan banyak hal, kita baru tiba di sini. Aku yakin hari esok akan lebih seru," ujar Renata, tetap memilih tas berisi peralatan darurat biasa.

Renata membawa gadis itu keluar dan menatap deretan mobil di luar kamp. Sayangnya, tidak ada satu pun yang bisa ia pinjam, hingga akhirnya ia melihat Kapten Lee yang sedang berbincang dengan Choi.

Ia melangkah mendekati mereka. "Maaf mengganggu kalian. Aku ingin mengantar gadis ini pulang dan memeriksa ibunya, aku tidak begitu paham jalanan di sekitar sini, Apakah salah satu dari kalian bisa mengantarku? " tanyanya, menatap Lee dan Choi secara bergantian.

Choi, yang sudah mengetahui bahwa Lee menyimpan perasaan pada Dr. Renata, dia segera mengambil kesempatan untuk menggoda temannya, ini dia lakukan agar Lee bisa pulih dari luka lama nya,

"Aku juga tidak terlalu mengenal jalan di sekitar sini. Biasanya, kapten kami yang sering keluar kamp. Mungkin dia bisa mengantarmu," ucap Choi, sambil sedikit menyenggol bahu Lee.

Lee tersenyum. Ini bukan pertama kalinya ia jatuh cinta, tetapi perasaan yang ia rasakan kali ini terasa berbeda dan jauh lebih kuat, namun dia juga masih ragu, tidak mungkin perasaan itu bisa datang secepat ini,

"Baiklah, Dr. Renata. Saya akan mengantarkan Anda. Masuk saja ke dalam mobil Jeep hijau di sana," katanya, menunjuk kendaraan yang biasa ia gunakan.

Renata menatap mobil itu dan tersenyum. "Baiklah, terima kasih."

Setelah Renata menjauh, Lee menarik napas panjang, seolah baru saja menahan sesuatu yang berat di dadanya. "Aku bisa gila jika terus berada di dekatnya," gumamnya sambil mengusap dada.

Choi menatapnya sambil tersenyum. "Aku sudah menduga kalau kau menyimpan perasaan padanya. Aku melihat tatapanmu pada Hyejin waktu itu, dan itu sama seperti tatapanmu sekarang," ujarnya.

Lee terdiam, dia larut dalam kenangan masa lalu. Ia belum sepenuhnya melupakan Hyejin, Karena dia dan Hyejin menjalin hubungan cukup lama, akan tetapi saat bersama Renata, perasaannya berbeda. Seolah seluruh raganya menjadi milik Renata. Namun, begitu seseorang menyebut nama Hyejin, pikirannya kembali terperangkap dalam masa lalu.

Tanpa berkata apa pun, Lee berjalan menuju mobil dan membawa Renata serta gadis itu ke rumahnya, dia dalam perjalanan menuju ke rumah gadis itu, Lee hanya diam saja, padahal ini adalah kesempatan yang bagus untuk nya,

Di Rumah Gadis Itu

Renata turun dari mobil, membawa tas besar yang cukup berat. Melihatnya sedikit kesulitan, Lee segera turun dan membantunya.

"Biar aku saja," ucapnya.

Renata menatap Lee. "Aku tidak pernah mendengar kau bicara seperti ini. Ternyata seorang kapten juga bisa peka," ujarnya dengan nada menggoda.

Namun, Lee masih larut dalam pikirannya sendiri. Ia tidak mengerti maksud Renata dan hanya diam, mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah.

Saat melihat ibu gadis itu, Renata segera menyadari bahwa perutnya membesar ukan hal biasa, ada yang aneh dengan perut nya. Bahkan, perut nya mengalami pembengkakan yang luar biasa besar.

Ia segera duduk dan mulai memeriksa kondisi sang ibu. "Apakah sering terasa panas?" tanyanya.

Sang ibu meringis kesakitan. "Bukan hanya panas, tapi juga terasa sangat tegang, Dokter. Perutku mulai membesar sejak seminggu lalu, dan rasanya sangat sakit," jelasnya.

Renata membuka tasnya, mengenakan sarung tangan, lalu dengan hati-hati meraba perut sang ibu. "Sepertinya ada cairan di dalam perutnya. Kemungkinan ini adalah peritonitis," katanya.

Lee, yang ikut khawatir, segera bertanya, "Lalu bagaimana? Jarak dari sini ke kamp cukup jauh. Tidak mungkin aku kembali ke sana dan meminta timmu datang."

Renata menatap walkie-talkie yang dikenakan Lee. Ia menariknya dan segera menghubungi tim medis.

"Tes, tes. Di sini Dr. Renata. Bisakah seseorang datang ke rumah gadis yang tadi kubawa? Tolong, jika ada yang mendengar pesan ini," ucapnya penuh harapan.

"Renata," suara Rafael terdengar dari walkie-talkie.

Rafael selalu siaga, terutama dalam situasi darurat seperti ini.

Renata menarik napas lega. "Rafael, tolong bawa ambulans ke sini. Pasien berusia 34 tahun, seorang wanita. Saturasi oksigen 40%, tekanan darah 100/95, perut membesar, dan tangannya dingin. Aku sudah memeriksanya, ini adalah peritonitis."

Rafael mencatat semua informasi yang diberikan Renata. "Baik, aku akan segera datang," jawabnya sebelum mematikan sambungan.

Renata kemudian menatap Lee. "Tolong berikan tas yang kau pegang dan berikan obat yang kuminta. Bisakah kau melakukannya?" tanyanya dengan penuh harapan.

Lee terdiam sejenak.

"Kumohon, jawab aku. Aku tidak ingin kehilangan pasienku," ucapnya dengan wajah cemas.

Lee akhirnya mengangguk dengan tegas. "Baiklah."

Renata menatapnya. "Baik, kita pasti bisa," katanya, mencoba memberi semangat.

Dengan sigap, Renata merobek baju sang ibu, lalu menyuntikkan Ceftriaxone untuk mengatasi infeksi bakteri. Ia juga memberikan Normal Saline untuk mencegah dehidrasi dan obat penstabil denyut jantung.

"Infus," ucapnya pada Lee, karena tangannya masih sibuk menangani pasien.

Lee sempat kesulitan mencari infus di dalam tas, tetapi Renata tidak mendesaknya, meskipun situasi sedang darurat. Lima menit kemudian, Lee akhirnya menemukannya.

"Ini," katanya, menyerahkan infus tersebut.

Renata segera memasangnya dan mulai menstabilkan detak jantung pasien.

Tak lama, suara sirene ambulans terdengar.

"Ambulans sudah tiba. Kerja bagus, Kapten Lee," ucap Renata dengan senyum lega, meskipun ada bercak darah di sarung tangannya.

Lee terdiam. Kata-kata itu "kerja bagus" adalah sesuatu yang selalu ingin ia dengar dari Hyejin. Namun, kini ia mendengarnya dari seorang wanita lain yang bahkan baru ia kenal sehari.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!