Lee Jinwoo bersama rekan timnya sudah sampai di negara Kadravia. Ia sangat terkejut melihat suasana di sana—asap di mana-mana, gedung-gedung yang dulu menjulang tinggi kini telah hancur. Bekas tembakan memenuhi tembok yang tersisa. Warga sipil duduk di bawah reruntuhan, berusaha berlindung agar tidak terkena bom atau tembakan.
Hanya ada satu orang yang mendekati mereka saat itu, seorang pria bernama Ryan, seolah-olah relawan yang sudah sangat lama berada di negara ini.
“Kalian pasukan khusus dari Korea Selatan?” tanyanya, menatap Jinwoo dan rekan-rekannya yang masih terpukau oleh kekacauan kota ini.
Sebagai kapten, Lee Jinwoo maju paling depan dan menatap Ryan. “Iya, benar. Kami datang untuk melaksanakan tugas di sini. Perkenalkan, saya Kapten Lee Jinwoo. Anda bisa memanggil saya Kapten Lee.”
Karena sudah sering bertugas di berbagai negara, kemampuan bahasa Lee Jinwoo sangat baik. Ia menguasai banyak bahasa, membuatnya mudah bersosialisasi.
Ryan menyambut mereka dengan senyuman hangat. Di matanya terlihat sedikit harapan yang ia titipkan kepada pasukan khusus pertama yang datang ke negara ini.
“Aku Ryan, hanya seorang relawan. Aku diminta untuk menjemput kalian semua dan membawa kalian ke kamp,” ucapnya.
Hari Jinwoo bergetar saat tatapannya bertemu dengan Ryan. Ada hal yang tidak biasa yang ia rasakan saat ini. Seolah semua warga di sini, terutama Ryan, berbisik padanya, “Tolong kami, kau adalah harapan kami.” Kata-kata itu terus terngiang di telinganya.
Lee Jinwoo dan timnya mengikuti Ryan. Mereka menatap warga yang terluka parah. Tak ada dokter yang bisa memberikan pengobatan yang layak. Luka-luka mereka hanya diperban seadanya dan diberikan obat apa adanya.
Mereka hanya duduk di bawah reruntuhan gedung, di antara kepingan semen besar. Mereka tidur di bawah sana, menatap langit dan berdoa agar Tuhan memberikan kedamaian, karena tak ada satu hari pun yang tenang di tempat ini. Terlalu banyak ledakan dan tembakan.
Sesampainya di kamp, Jinwoo dan timnya disediakan satu tenda, karena memang benar-benar tidak ada tenda lain yang tersedia.
“Kami semua akan tinggal dalam satu tenda?” tanya Jinwoo memastikan.
Ryan tersenyum. “Maaf, Kapten Lee. Kami hanya bisa memberikan ini kepada kalian, karena hanya ada dua tenda kosong.”
“Dua tenda? Kenapa kami tidak bisa menggunakan keduanya?”
“Karena tenda yang satu lagi akan dipakai oleh tim dokter. Sepertinya doa warga negara ini telah dikabulkan oleh Tuhan. Mereka sudah lama meminta pasukan khusus untuk melindungi mereka dan dokter yang bisa mengobati luka-luka mereka,” jelas Ryan.
Jinwoo menatap tenda yang akan dijadikannya tempat tinggal, lalu menatap timnya. Ia berpikir bahwa jika mereka tinggal lama di sini, mungkin mereka bisa membangun rumah sendiri. Untuk saat ini, mereka akan tinggal di tenda ini.
“Kalian masuklah ke dalam. Susun barang kalian dengan rapi. Dua jam lagi aku akan membagi tugas untuk kalian. Aku dengar ada sekelompok dokter yang akan datang, jadi beberapa dari kita akan menjemput mereka, sementara yang lain berjaga dan membantu warga yang terluka,” ucap Jinwoo.
Dua jam berlalu, dan untuk pertama kalinya, tak ada ledakan. Jinwoo meminta timnya untuk melindungi warga serta membagikan makanan yang sudah mereka bawa, juga beberapa yang mereka terima dari negara tetangga.
Sementara itu, ia dan Letnan Choi pergi untuk menjemput para dokter, menggunakan mobil yang mereka bawa.
Sementara di Pelabuhan
Renata dan timnya menatap negara yang kacau ini. Ada rasa sedih dan pilu dalam dirinya melihat kehancuran yang begitu besar. Begitu banyak gedung indah yang kini hancur. Begitu banyak asap dan suara ledakan di mana-mana.
Apakah warga sipil negara ini bisa tidur dengan suasana seperti ini?
Renata mengambil foto keadaan negara ini. “Sungguh, aku tidak tahu jika ada negara yang seperti ini. Aku pikir aku akan menyesal datang ke sini. Ternyata aku salah.” Matanya penuh dengan air mata.
Anna, yang juga ikut bersama Renata, menatap sekelilingnya. “Taman bunga yang indah kini penuh dengan debu. Awan biru berubah menjadi abu-abu. Apa yang terjadi dengan negara ini?” ucapnya, sama herannya dengan Renata.
Tak lama setelah mereka mengamati keadaan, Kapten Lee dan Letnan Choi tiba. Jinwoo turun dari mobil Jeep-nya dan menatap mereka semua.
“Saya Kapten Lee Jinwoo, bertugas menjemput kalian,” katanya sambil menatap tim dokter.
Sebagai ketua tim dokter, Renata maju paling depan. “Saya Dr. Renata, ketua tim mereka. Terima kasih sudah bersedia datang ke sini dan menjemput kami,” ucapnya dengan senyum hangat.
Jinwoo terdiam. Ia tidak bicara dan tidak bergerak sama sekali. Ia hanya menatap. Dalam tatapannya, seolah tersirat sesuatu—rasa ingin tahu, ketertarikan, dan satu hal yang begitu besar yang bahkan ia sendiri tidak tahu apa itu.
“Dia hanya memperkenalkan dirinya. Dia hanya tersenyum. Tapi mengapa aku merasa seolah sudah menunggunya seumur hidupku?” batinnya.
Letnan Choi yang menyadari tingkah aneh Jinwoo segera mengambil alih dan menyapa Renata serta timnya.
“Baiklah, karena kita sudah saling kenal, lebih baik kalian semua masuk ke dalam mobil. Ada banyak pasien yang membutuhkan kalian,” ucap Choi.
Mereka semua masuk ke dalam mobil, sementara Jinwoo masih terdiam dalam lamunannya.
“Kapten, kau tidak akan ikut? Kau terpukau dengan keindahan alam di sini atau... dengan dokter Renata?” sindir Choi.
Lee Jinwoo tersadar. Ia menatap sekitar, lalu melihat Renata yang duduk di antara timnya.
“Ayo kita berangkat sekarang,” ucapnya sebelum masuk ke dalam mobil.
Di Kamp
Jarak yang mereka tempuh tidak terlalu jauh. Setelah sampai, Ryan menunjukkan tempat yang akan mereka gunakan. Semua anggota tim dokter masuk ke dalam tenda, kecuali Renata.
Ia berjalan mengitari kamp dan melihat seorang gadis kecil yang terluka cukup parah. Renata mendekatinya dan memeriksa kakinya. Tak banyak yang bisa ia lakukan karena alat dan obat sangat terbatas.
Dengan hati-hati, ia membersihkan luka gadis itu dengan alkohol, membalutnya, lalu mengoleskan salep.
“Ini tidak akan terasa sakit lagi nanti. Aku harap lukamu cepat pulih,” ucap Renata dengan senyuman lembut.
Gadis kecil itu menatap Renata yang saat itu sedang mengenakan jas dokternya.
“Kau seorang dokter?” tanyanya.
Renata hanya mengangguk.
“Saat aku besar nanti, aku juga ingin menjadi dokter sepertimu. Dokter yang cantik dan baik hati,” ucap gadis itu.
Renata tak kuasa menahan air matanya. Ia memeluk gadis itu dengan lembut. “Aku harap doamu dikabulkan Tuhan,” bisiknya sambil mengelus rambut gadis kecil itu.
Dari kejauhan, Jinwoo melihat momen itu. Tatapannya tidak lepas dari Renata dan gadis kecil itu.
“Jika ini adalah mimpi, maka ini adalah mimpi paling indah dalam hidupku.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments