Aku juga datang ke sana

"Iya, Ibu, aku akan pulang jika jam istirahatku panjang. Ini saja aku hanya istirahat selama sepuluh menit, mana mungkin bisa sampai di rumah dalam waktu sesingkat itu," ucap seorang dokter wanita dengan rambut dikuncir satu. Ia mengenakan jas lab rumah sakit dengan namanya tertulis di sana: Dr. Renata Ivanova.

Ia duduk di salah satu kursi di depan Hope Memorial Hospital, menikmati angin malam sambil meneguk sebotol minuman yang tampaknya untuk meredakan sakit tenggorokannya.

Saat sedang bersantai, tiba-tiba suara sirene ambulans menarik perhatiannya. Ia kehilangan fokus pada teleponnya dan langsung menatap ambulans yang baru tiba. Tak lama setelah itu, panggilan dari ruang UGD masuk ke ponselnya.

"Ibu, aku akan menelepon lagi nanti," ucap Renata sebelum berlari cepat menuju ruang gawat darurat.

Sesampainya di sana, ia langsung melihat seorang perawat yang sedang membawa pasien dari ambulans.

"Apa yang terjadi padanya?" tanyanya sambil berlari di samping perawat.

"Pasien pria, usianya sekitar 35 tahun, mengalami nyeri dada dan patah tulang rusuk sejak 35 menit lalu. Tekanan darahnya 140/40, dengan oksigen nasal 4 liter per menit. EKG menunjukkan STEMI di dinding inferior. Pasien sudah diberikan aspirin 160 mg," jelas perawat tersebut.

Renata menatap pasien yang tampak sekarat. "Bawa dia ke ruang operasi. Aku akan memanggil dokter yang akan mengoperasinya. Tolong panggil juga dokter jantung untuk datang ke ruang operasi," perintahnya.

Pasien segera dibawa ke ruang operasi, sementara Renata membuka room chat dengan timnya.

Renata: Ke ruang operasi sekarang. Ada pasien kecelakaan lalu lintas.

Rafael: Aku akan datang, Renata. Aku juga akan membawa dokter anestesi kita.

Renata mematikan ponselnya setelah mendapat respons dari Rafael. Ia segera berlari ke ruang operasi, mengganti pakaiannya, mengenakan penutup kepala dan masker, lalu mencuci tangan dengan sabun yang telah disediakan. Sambil menatap tangannya, ia menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, ia tetap harus fokus. Menarik napas dalam, ia akhirnya masuk ke dalam ruang operasi.

Di dalam, ia melihat pasien serta dokter Rafael dan perawat Lily yang sudah bersiap.

"Pasien berumur 35 tahun, mengalami nyeri dada dan patah tulang rusuk sejak 35 menit lalu. Tekanan darahnya 140/40, dengan oksigen nasal 4 liter per menit. Kita akan melakukan operasi singkat karena lukanya tidak terlalu dalam. Anestesi siap?" tanya Renata pada perawat Lily.

"Pasien sudah diintubasi, oksigen stabil. Operasi bisa dilakukan," jawab Lily.

"Ada perdarahan pada arterinya, kita harus mulai dari sana, Dr. Renata," ujar Rafael.

"Baik, kita lakukan eksplorasi. Suction, berikan padaku," kata Renata sambil mengulurkan tangan kanannya ke perawat di sebelahnya.

"Suction diberikan," jawab perawat.

Renata dan Rafael memulai operasi mereka. Tidak terlalu lama, karena keadaan pasien cukup stabil, dan mereka menyelesaikannya dalam waktu kurang lebih dua jam.

"Anestesi bagaimana?" tanya Renata.

"Stabil," jawab Lily.

"Kita hanya tinggal menjahit lukanya, lalu operasi malam ini bisa ditutup," ujar Renata.

Setelah jahitan terakhir selesai, Renata keluar dari ruang operasi. Ia merasa kakinya sakit, jadi ia memutuskan untuk duduk sebentar di kursi tunggu untuk wali pasien. Menatap jam tangan, ia bergumam, "Sudah larut. Sepertinya aku tidak akan pulang."

Tak lama, Rafael datang dan memberikan sebotol minuman padanya. Lalu ia duduk di sebelahnya.

"Terima kasih," ucap Renata sambil tersenyum menerima minuman itu.

Rafael menatapnya. "Aku dengar profesor akan meminta beberapa tim untuk pergi ke negara Kedravia sebagai dokter relawan. Apa kau tertarik untuk datang ke sana? Aku yakin jika kau datang ke sana, kau akan sangat banyak membantu warga di sana " Rafael yang seperti nya ingin ke negara itu, namun dia tak ingin pergi sendirian, dia harus pergi bersama Renata,

Renata membuka botol minumannya dan meneguk isinya, lalu menatap Rafael "Jika aku dan timku ditugaskan ke sana, maka aku akan datang. Lagipula, sudah lama rumah sakit tidak mengadakan hal seperti itu, tapi di sana juga berbahaya, mungkin akan ku pertimbangkan lagi, sebagai ketua tim, aku harus menjaga keselamatan tim ku " ujarnya sambil memijat tangannya.

"Ya, aku yakin kau dan timmu akan dikirim ke sana. Kalian adalah yang terbaik. Bahkan semua orang di rumah sakit mengatakan bahwa tim Dr. Renata adalah jantung rumah sakit, kau sudah banyak membantu pasien di rumah sakit ini, mereka semua menyukai mu " kata Rafael dengan senyuman di wajah nya.

Saat mereka asyik berbincang, tiba-tiba suara Anna terdengar keras.

"Renata!!" teriak Anna, membuat semua wali pasien di ruang tunggu operasi menoleh ke arahnya.

"Anna, kenapa kau berteriak? Semua orang melihat mu " tanya Renata sambil menutup mulut Anna.

Anna menarik tangan Renata dari mulutnya. "Tentu saja aku harus berteriak! Ini kabar buruk untuk tim kita! apakah kalian tidak tau? "

"Tolong katakan dengan jelas. Aku sama sekali tidak mengerti apa maksudmu," ujar Renata, bingung dengan ucapan Anna yang tak langsung ke intinya.

Anna duduk di sebelah Renata. "Di papan mading ruang dokter, sudah ditentukan tim mana saja yang akan menjadi relawan ke negara Kedravia. Dan kalian tahu apa?!"

Anna sengaja berhenti berbicara untuk membuat Renata dan Rafael penasaran.

"Anna, tolong jangan buang-buang waktu kami. Katakan ada apa?" desak Renata yang sudah tidak sabar.

"Tim Dr. Renata yang akan berangkat ke sana. Batas waktu kepulangan kita tidak ditentukan. Dan di sudut kanan pengumuman itu tertulis bahwa jika terjadi sesuatu pada kita, rumah sakit tidak akan langsung turun tangan," jelas Anna dengan ekspresi serius.

Renata langsung terdiam. Ia sama sekali tidak ingin pergi jika ini melibatkan seluruh timnya, apalagi dengan kebijakan rumah sakit yang tidak akan turun tangan langsung jika ada keadaan darurat. Semua orang sudah tahu bagaimana situasi di Kedravia saat ini.

Apa mungkin ini adalah perintah dinas terakhir bagi aku dan timku?

Renata sempat mengajukan keberatan kepada direktur rumah sakit dan profesornya. Namun, keputusan tetap tidak bisa diubah. Lebih parahnya lagi, timnya justru tidak sabar untuk berangkat ke sana. Mereka semua setuju untuk pergi.

Akhirnya, mereka akan berangkat bersama keesokan paginya. Jadwal penerbangan sudah ditentukan, dan semua persiapan sudah siap—hanya persiapan pribadi yang belum dilakukan.

Karena malam itu Renata tidur di rumah sakit, ia tak sempat mampir ke rumah. Ia hanya mengirim pesan kepada ayah dan ibunya secara terpisah. Ayahnya saat ini sedang dalam perjalanan dinas, jadi hanya ibunya yang ada di rumah.

Menatap jam tangan, Renata segera mengambil kopernya dan berangkat ke bandara bersama timnya,

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!