19# Poison

Bersamaan dengan laporan mama Rena yang mencemaskan Aya, ponsel Ghi bergetar di saku celananya. Kebetulan sekali, pas diomongin pas orangnya nelfon.

"Aya," tunjuk Ghi pada mamanya, yang memantik helaan nafas lega.

"Hallo."

Belum juga bertemu dengan orangnya langsung, Ghi sudah mengumpati Aya di sepanjang perjalanan. Ulah apa lagi yang dilakukan istrinya, sampai-sampai polisi menelfonnya melalui ponsel Aya, Ghi menggeber gas laju-laju.

Raga yang lelah, hati yang jengkel bercampur menjadi satu kali ini. Bahkan badannya masih lengket dengan baju seragam yang masih melekat di badan. Jangankan untuk bersih-bersih, sepatu saja belum sempat ia lepas. Tapi Aya, seolah tak memberinya kesempatan untuk menghela nafas lega. Tak bisakah ia? Damn! Patutlah om Regata dan tante Fitri angkat tangan mendidiknya.

Kiranya, sewaktu mengandung Aya...tante Fitri tuh ngidam apa? Sampe-sampe punya anak macam kincir! Bikin orang pusing.

Langkah Ghi ia percepat, bukan karena ingin segera bertemu dan menjemput Aya, melainkan ingin segera menyelesaikan urusan ini agar sesegera mungkin memberikan pelajaran yang tepat untuk istri nakalnya itu lalu merantainya di pohon asem.

**

Aya masih berada di ruang tadi, bersama dengan yang lain, menunggu pihak wali datang.

Masih bisa membuat para petugas keamanan pusing dengan perdebatan tentang siapa yang memulai, Aya tak mau kalah sewotnya.

Mana polisi pake manggilin wali, ia jadi bingung sendiri. Awalnya ia ingin memanggil papa Sakti atau mama Rena, namun mengingat keduanya sudah terlalu banyak direpotkan dan juga tak lagi muda, kesehatannya pun tak lagi fit, maka Aya urungkan hingga akhirnya mau tak mau ia memberikan nomor ponsel Ghi untuk ditelfon.

Ia sudah menggetarkan kakinya gugup, tak bisa ia bayangkan bagaimana marahnya Ghi nanti, mengingat ini adalah kali kedua selama mereka bersama yang hanya berselang beberapa hari saja dari pemanggilan pertama. Bisa-bisa Ghi meloloskan pengesahan rusun untuknya dan Aya besok. Agar lebih leluasa menghukum Aya di pusat latihan dan pendidikan para taruna polisi.

Benar saja. Kehadiran Ghi seketika mengubah suasana ruangan menjadi kelam dan dingin, entah efek sudah malam? Namun rasanya lebih menusuk saja bagi Aya.

Riri, Yena dan Alma hanya saling bersenggolan tak tau. Mungkin mereka akan mengira Ghi masihlah aparat yang bertugas disana untuk mengamankan mereka. Terlebih saat beberapa perwira polisi menyalaminya kenal.

"Bang."

"Bang Ghi..."

"Suttt....yang ini polisinya ganteng datang, awww...penjarakan aku, pak." kekeh Riri berbisik, pada Yena yang ikut cengengesan, beda dengan kedua temannya Alma justru sudah mele nguh kesekian kalinya, "mama pasti ngambek ini. Mau pulang jam berapa kita, Man?"

Aya menggeleng namun pandangannya terus saja melihat Ghi, yang tak lama kemudian menjatuhkan tatapan sangar nan tajamnya pada Aya.

"Bang..." nyengir Aya membuat ketiga temannya itu sontak menoleh Aya, "bang???!"

Masih dengan keterkejutannya, ketiga teman Aya hanya bisa memelas minta dikasihanu saat Ghi justru hanya menyeret Aya pulang, "saya hanya wali Umanda Ranaya saja, bang."

"Wah, saya ngga ngira...kirain adek ini bukan keluargamu, Ghi?"

Ghi mengangguk kecut, malas betul ia menganggap Aya keluarga sepertinya. Setelah mengobrol beberapa saat. Akhirnya Aya berhasil keluar dari ruangan, meninggalkan ketiga temannya yang menungu pihak keluarga masing-masing, sementara gerombolan lawan Aya yang terciduk mengonsumsi minuman keras dan zat adiktif digiring ke kantor polisi, mengingat usia mereka pun sudah bukan anak di bawah umur lagi.

Tap...tap...tap...

Aya mengekor di belakang punggung tegap Ghi yang berjalan cepat.

"Tawuran." Dengus Ghi mengehkeh sumbang, sembari menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan gadis bertubuh kecil dibanding teman-teman dan beberapa yang Ghi tebak adalah lawannya.

"Ngga disengaja bang, mereka duluan yang cekal tangan Aya. Masa iya dijahatin orang, Aya diem aja."

Ghi menghentikan langkahnya praktis membuat Aya mengikutinya dan menatapnya dengan sorot mengiba. Lihat si drama queen ini, di balik wajah lugunya itu tersimpan jiwa yang nakal!

"Saya bahkan belum nginjek lantai rumah, belum sempet buka pintu. Kamu sudah nyangkut di pos keamanan, kedapatan tawuran sama orang yang usianya jauh di atas kamu, Aya??"

Aya mengernyit, dengan menunduk ia bergumam lirih, "kenapa ngga masuk rumah dulu, minum dulu..."

Dan untuk apapun? Ghi semakin dibuat spechless dengan ucapan Aya barusan, ia greget! Sampai-sampai ingin rasanya ia melahap Aya ditempat saat ini juga.

"Bilang apa barusan?" jelas Ghi bukan sedang bertanya atau kurang pendengaran, melainkan ia hanya ingin memastikan jika apa yang diucapkan Aya itu betulan gadis itu tanyakan untuknya?

Aya segera menggeleng, "maaf."

"Kamu tau ngga? Mama di rumah khawatirin kamu! Saya baru pulang, yang beliau tanyakan dan sampaikan itu kabar kamu, Aya!"

Aya cukup dibuat merasa berdosa pada mama Rena, sebab hanya mengatakan kerja kelompok saja, mungkin ini karmanya yang dibayar secara kontan oleh sang pemilik hari.

"Harus saya katakan apa tentang kamu, Aya?! Astagfirullah!"

Aya kembali menggeleng, "iya. Aya minta maaf, tadi cuma bilang kerkomnya aja sama mama. Tapi suerr bang, yang barusan tuh kejadiannya ngga kaya gitu, abang mau dengerin dulu ceri----"

"Ngga usah!" tukas Ghi memotong ucapan Aya, "saya sudah dengar dari bang Marwan tadi."

Aya hanya bisa mengatupkan bibirnya saja kali ini, wajah Ghi juga sudah menunjukan permusuhan, tak memberikan celah sedikitpun untuk mentolerir sikap Aya hari ini. Maka percuma saja Aya bersuara, toh Ghi lebih percaya fakta yang terlihat dan ucapan polisi.

"Saya capek Aya. Sekarang kita pulang dulu." Ghi melangkahkan kakinya duluan, sembari memikirkan hukuman apa yang cocok untuk Aya, jika hanya hukuman fisik...buktinya Aya tak jera, maka-----

Mama Rena menyerbu Aya sepaket rasa khawatirnya, semakin saja Aya tak enak hati dibuatnya. Sementara Ghi, melengos begitu saja masuk ke dalam sembari menjatuhkan badannya di kursi.

"Darimana kamu, Ay...kerja kelompok kok lupa waktu."

"Minimalnya telfon, Ay...mamamu khawatir tuh..." papa Sakti ikut bersuara.

Aya benar-benar semakin merasa bersalah melihat kasih sayang yang tumpah ruah dari mama Rena dan papa Sakti untuknya kali ini, "maafin Aya, ma..." lirih ia ucapkan tulus sambil memeluk mama Rena, bunda? Hufft! Ia pun merasakan hal yang sama untuk bunda disana, rinduuu! Bunda maafin Aya!

Ghi sengaja tak memberitahu mama saat tadi polisi dengan menggunakan ponsel Aya menghubunginya, takut membuat mama semakin khawatir. Ia hanya mengatakan Aya memintanya menjemput di rumah temannya, itu saja.

Tak sampai hati ia memberitahu mama dan papa masalah ini. Biarlah, untuk urusan Aya, menjadi urusannya seperti apa yang sudah ia janjikan di hadapan Allah pagi itu.

Dan disinilah Aya berakhir malam ini dengan wajah cengo setengah mendadak bloonnya. Sebenarnya ia sudah bersiap tidur, bahkan jiwanya sudah mulai ia lepas menjadi partikel-partikel kecil, melebur di awang-awang bersama suasana tenang kamarnya.

Namun dering ponsel membuyarkan usahanya itu. Alih-alih ia hindari dengan mereject panggilan, Ghi justru langsung datang dengan mengetuk pintu kamarnya kencang bermaksud membuat si empunya ruangan mau keluar.

Disaat itulah jiwa Aya kembali bersatu, saat mulut Ghi dengan sadisnya menurunkan hukuman untuknya, meminta Aya untuk datang ke kamar dan----

"Pijit?!" seru Aya heboh.

Ghi mengangguk, ia bahkan sudah menaruh badannya menelungkup di atas kasur, "hari ini saya capek banget, kerjaan banyak. Tapi kamu malah makin nambahin beban saya, suruh siapa bikin ulah terus! Cepet pijitin saya!" tak tanggung-tanggung, Ghi menunjuk minyak gosok yang baunya itu, masyaAllah! Aya sampai memeletkan lidahnya, "ngga usah pake yang begituan kenapa sih, bang! Bau tau! Mana panas kena tangan!" manyunnya ogah-ogahan namun tak urung masuk lebih dalam ke kamar bernuansa monokrom itu, iya...kamarnya persis tuannya, hitam putih kaya papan catur! Rumit. Bahkan Aya tak sudi meraih botol itu.

"Abang anak muda, tapi sukanya pake barang aki-aki..." cibir Aya. Seolah menulikan diri, Ghi tak peduli dengan kritikan dan cibiran Aya.

"Buruan. Kamu juga kaya nenek-nenek ngomel-ngomel terus! Makin lama kamu mulainy, makin lama juga kamu selesainya..."

"Sebelah sini, pundak saya sakit, Ay..."

"Sakit? Heran...abang mikul senjata api apa kembang desa kampung sebelah?!" tembaknya tak serta merta membuat Ghi tergelak, ia justru menunjukan ekspresi datar saja.

Dengan langkah yang ia gusur dan hati yang tak ikhlas Aya menyambar botol plastik minyak gosok dan duduk di tepian ranjang Ghi dimana sosok Ghi sudah berbaring menelungkup, namun saat Ghi mulai menarik ujung kaosnya, Aya menjerit, "stoppp--stopp!"

Ihhh, aduhhh! Gusarnya tak enak duduk, "racun nih...racun!"

.

.

.

.

.

Terpopuler

Comments

Munji Atun

Munji Atun

Dibalik wajah yang lugu tersimpan jiwa yang nakal itu bukan mensana in corporesano ya 😄 gak papa ya disuruh mijit doang eee belum apa" udh salah paham 😇itu si abang buka kaus krn kan mau dipijit punggungnya Ya ngeres aja 😇 otak kecil isinya pasir gitu deh ngeres 😝ok mbak Shin mksh upnya ditunggu terus nextnya gpl yuuk semangat love you always💞🌺💖

2025-03-03

7

jumirah slavina

jumirah slavina

habislah Kauu Ayaaaa.....🤣🤣🤣🤣

unboxing kikira nih hukuman Aya²Wae🤣🤣🤣🤣🤣

2025-03-03

4

Tri Tunggal

Tri Tunggal

ahhh si aya mah malu malu mau ayyy... bilang racun ntar jg ngiler ay klo tau tahu sutranya si abang...😂😄
jan sadis sadis bang ntar anak perawan porek berabe ntar"tiada maaf bagimu"😁😅
lain kali ngomong yg bener ay kasian si mamah khawatir anak gadis orang digondol kucing garong,padahal mah dirumah kucingnya garang bgt loh ayy

2025-03-03

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!