Aya menjatuhkan dirinya di atas kasur, rasa berat dan sesak yang sejak tadi ditahan kini membludak dan melebur jadi sebuah tangisan kekesalan.
"Kenapa jadi gini sih," lirihnya bergetar menahan sesak di dada, ia berusaha sekeras mungkin untuk mengontrol perasaannya.
Tangannya terulur mengusap wajah, tepatnya di samping mata dimana kulitnya telah basah oleh air mata. Rasa kantuk sudah menguap sejak tadi. Tapi bukan Aya namanya jika hanya bersedih meratapi nasib. Ia bangkit dan mulai mencari seragam sekolahnya, life must go on sistah....kalo mesti mewek meraung-meraung terus bu nuh diri cuma karena dijodohin itu bukan dirinya.
Rasa malu dan takut masih menyergapnya pagi itu, tapi hidup masih harus terus berjalan.
Dengan drama dan perdebatan alot yang mengisi waktu sarapan, akhirnya meski sama-sama terpaksa Ghi mengantarkan Aya sekolah, walaupun keduanya sama-sama manyun.
Tak ada lembut-lembutnya, jika tak ingat Aya adalah perempuan, putri dari sahabat orangtuanya, jika tak ingat ia adalah seorang aparat, abdi negara yang bersumpah sepenuh hati mungkin sudah ia bawa Aya ke hutan dan ia tinggalkan gadis itu berada di perut macan kumbang.
Roda mobil dipaksa berhenti kasar di depan gerbang sekolah, dimana beberapa siswa dan pengguna jalan udah minggir-minggir sampai hampir kepeleset gara-gara mobil ini lewat dan berhenti disana.
"Turun!" kasarnya pada Aya.
"Santai aja keles! Kalo ngga ikhlas ngapain juga anterinnya sampe sekolah, kenapa ngga turunin aja di tengah jalan tadi?!" sewot Aya menggendong tali tasnya tak berbudi.
"Maunya saya nurunin kamu di hutan, biar ngga balik lagi ke rumah, biar ngga datang-datang lagi ke hidup saya." Akuinya lebih kejam, memantik bibir julid Aya menyungging setinggi tower. Bahkan ia sudah membanting pintu sekeras cobaan kehidupan dan menoleh sekilas ke arah mobil Ghi sambil mengacungkan jemari tengahnya sebal pada lelaki itu dan segera berjalan masuk ke gerbang sekolah.
Mata Ghi sontak melotot tak percaya dari dalam, "Ayaaaaa! Awas kamu!!!!"
Ia lantas menghela nafasnya lelah nan berat, "astagfirullah...." sejenak ia terdiam disana dengan mesin mobil menyala, mengusap wajahnya begitu kasar.
Bahkan kediamannya itu membuat para calon penghuni sekolah lain sedikit terganggu karena Ghi yang parkir tepat di depan gerbang sekolah, menghalangi akses masuk.
Tangannya sedikit meluruh gontai meski masih memegang kemudi, akan seperti apa nantinya hubungan pernikahan keduanya? Sepertinya tak akan mudah bagi Ghi, mengingat ia yang akan stress menghadapi istri macam Aya.
Ia mendengus getir setengah geli, "lu bodoh Ghi...ngapain juga kehasut buat bales kelakuan si Aya tadi...jadinya lo sendiri yang susah ke depannya..." lirihnya bergumam, namun kembali ia berdecak, "awas kamu, Ay..."
Tiittt!
Lamunannya dibuyarkan oleh suara memekik klakson yang menyerang pendengaran, "shitt!" ia segera menginjak pedal gas dan pergi dari sana.
Aya manyun saat kini dirinya layaknya boneka manequin tante Rena dan bunda.
"Lucu ngga Fit? Menurut teteh sih lebih bagus yang tadi ada payetnya...lebih cocok sama seragam Ghi nanti waktu pedang pora..." ujar tante Rena menatap visual Aya di depan cermin sebesar dirinya, dimana pantulan itu menampilkan sosok gadis ranum yang cocok dengan beberapa kebaya hasil buruan ibunda dari Ghi dan bundanya itu di butik langganan tante Rena, butik milik salah satu artis dan desainer ternama ibukota di kota kembang ini.
Bunda berdecak melihat wajah bebek kecemplung bumbu marinasi Aya, rasanya pengen ia goreng saja anaknya itu yang berwajah menyebalkan, bunda mengubah posisi duduknya yang dirasa sudah cukup bikin pegal.
"Bagus teh...bagus kok...iya sih, bagus yang ada payetnya tadi..." senyumnya setengah dipaksa melihat tante Rena dengan tak enak hati karena Aya yang begitu.
"Kamu suka yang mana Ay?" tanya tante Rena bergantian, kini menatap mata Aya dari pantulan kaca. Tak ada sorot mengintimidasi seperti yang bunda lakukan sejak tadi sampai detik ini, lebih terkesan lembut bikin nyaman...sebenarnya bunda dan tante Rena, apakah ibunya yang tertukar?
"Ngga ada." ketusnya justru memancing tawa tante Rena dan cubitan gemas dari ibu Ghi itu, padahal bunda saja sudah gemas nan melotot ingin memanggangnya dari tadi, malu-maluin!
Berkali-kali lengannya kena cubit bunda untuk bersikap baik pada tante Rena, tapi Aya seolah-olah dengan sengaja melakukan hal itu.
"Kalo gitu tante anggap Aya setuju juga." senyumnya menyipitkan mata, lantas pandangan tante Rena beralih pada pelayan perempuan yang sejak tadi berada di belakang mereka, "mbak yang tadi aja ya." angguknya.
"Bungkus..." lanjut tante Rena undur diri dari samping Aya dan kembali memilih beberapa kebaya untuknya, "sekarang giliran tante yang mau nyamain calon mantu...Fit, mau nyari juga *kemon* atuh..." ajaknya diangguki bunda yang beranjak dari duduknya, "boleh teh."
Namun jelas bunda bukan berjalan menyusul tante Rena yang sudah banyak melontarkan pertanyaan pada karyawan butik, melainkan kembali menyarangkan cubitannya di lengan Aya.
"Harusnya kakak tau diri. Kakak yang salah kakak juga yang kaya gini! Jangan bikin bunda sama ayah makin malu!" sorot mata bunda tak lagi main-main, membuat Aya menoleh untuk melihat mata bunda secara langsung dari jarak dekat.
"Aya ngga mau nikah! Bunda ngga tau bang Ghi gimana, bang Ghi tuh sengaja nikahin Aya buat balas dendam!" gerutunya.
"Ck. Ngga mungkin...Ghi itu sudah dewasa. Yang ada kamu yang kekanakan! Mau ditaro dimana muka bunda sama ayah, Aya...pertanggung jawabkan apa yang sudah kamu lakukan!" bunda semakin geram akan itu.
.
.
Ghi membawa beberapa undangan di tangannya, berkas pengajuan pernikahan sudah sejak beberapa minggu lalu ia ajukan sejak kejadian **apes** itu. Kalau bukan karena papahnya yang memaksa dan menyuruh bawahannya untuk segera memaksa Ghi memasukan berkas pengajuan, mungkin akan ia bakar saja persyaratannya.
Tapi nasi sudah menjadi bubur, ia hanya tinggal menambahkan topping cakwe, kecap, ayam suwir, lada bubuk dan kerupuk saja biar enak dilahap. Semua takdir Tuhan yang sudah dikodratkan meski tak sesuai keinginan harus ia terima dan tinggal dibikin enak saja....
Plak....
Ghi menaruh kertas undangan bersampul dan berplastik di atas meja, dimana tangan Gavin masih bermain di atas jemari keyboard.
Praktis saja Gavin melongok dan betapa terkejutnya ia melihat nama calon mempelai yang tertera disana.
...***Al Ghiffari*** ***Patiraja***...
...***Dan***...
...***Umanda*** ***Ranaya***...
...***Sabtu, 12 November 20XX***...
...***Kepada***...
...***Gavin***...
...***Di tempat***...
Senyum usil mengembang seiring lirikan mata bergantian pada si pemberi dan kartu undangan itu, "an yinkkkk!" tatap Gavin tak percaya, bahkan ia sudah menghempas dan mengacuhkan pekerjaannya demi keajaiban dunia yang terjadi di depannya sekarang. Tak angin tak hujan, tau-tau temannya itu akan melakukan prosesi pernikahan tanpa dirinya tau.
Wajah Ghi suntuk tak terkira, sudah pasti rekannya itu akan menyerangnya dengan seribu pertanyaan dan ketidakpercayaan, sembari memukul-mukul lengan dan memberikan tonjokan di perut liatnya Gavin mengatakan, "lo buntingin anak gadis orang, Ghi?!"
*Dasar anak se tan*...dengus Ghi.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Tri Tunggal
sukalah ama si aya 😂 bikin si ghi tensian ay.... sampai dia g bisa berkata kata ama kelakuan kamu ay.... duh jgn bernada tinggi dong ghi klo ngomong ma perempuan,sensi amat ma si aya... emang knpa sih ghi??! ama si ica welcome bgt tuh adeknya si aya.
nah sama si aya na ko kayak sinis bgt sih ghi/Grievance/
2025-02-07
3
Marliyanipratama
itu mulut kgak ade saingan nye ape vin...?? enak bae bilang buntingin anak org, emng nye elu udeh buka tutup sama si rania...?? org bang ghi liat hutan hijau yg masih ranum dikit aje die udh langsung otw pedang pora... ape lagi buntingin anak gadis org auto di lempar ke pedalaman amazone sama si papah... /Smile//Smile/
2025-02-08
2
ieda1195
berasa lihat gio sama letta nihh😆😆 gk ada akur2nya,,
ati2 bang ghi jgn manyun2 muluu,, ntar jadi bucin akut looo
2025-02-07
4