Bersamanya

...Ellaine...

...────୨ৎ────જ⁀➴...

Walaupun permintaan maaf Antari aja nggak cukup, gue bisa ngerasa kalau dia beneran tulus. Itu bikin gue mikir kalau dia nggak sebenci yang gue kira. Malah, gue jadi agak berharap bisa bikin situasi ini lebih gampang buat kita berdua.

Tanpa sadar, kaki gue sudah jalan sendiri naik ke lantai atas, dan tahu-tahu gue sudah berdiri di depan pintu kamarnya Asta. sepertinya gue ngeremehin seberapa butuhnya gue buat ngobrol sama seseorang, buat interaksi sama manusia lain.

Gue suka ngobrol sama Anan juga, tapi dia jarang ada di rumah. Dia punya kehidupan sosial yang rame banget. Beda sama Asta yang lebih sering ngurung diri di kamar, baca buku, atau ngelakuin hal lainnya.

Gue ketuk pintu, terus denger suara, "Masuk," yang artinya gue boleh masuk.

Meskipun sudah malam, Asta masih duduk di sofanya yang kecil di sebelah jendela, megang buku yang terbuka di tangannya. Pas dia melihat gue, senyumnya langsung muncul. Dia nutup bukunya dan naruh di pangkuannya. "Ada apa nih, tiba-tiba mampir?"

Gue mengeluh pelan terus duduk di kasurnya, langsung berhadapan sama dia. "Hari ini panjang banget buat gue."

Dia memperhatikan gue dengan tatapan penuh perhatian. "Antari gangguin lo lagi?"

"Nggak. Gue geleng kepala."

"Bu Mulan baik-baik aja?"

"Iya. Akhir-akhir ini nyokap gue stabil, dan itu ngurangin stres gue. Cuma capek aja, sepertinya."

Asta bangkit dan jalan ke depan gue, bikin gue harus sedikit mendongak buat melihat dia.

"Mau pijet?"

Pijatannya Asta tuh juara banget. Gue langsung senyum dan ngangguk. Dia naik ke kasur dan duduk di belakang gue, berlutut. Tangannya pelan-pelan mendarat di pundak gue, gerak dikit sampai ke antara leher dan bahu. Dia teken titik itu, dan gue otomatis merem, menikmati rasanya.

"Lo tegang banget." Dia mulai mijat, dan rasanya enak banget sampai gue nggak sengaja ngeluarin suara lega pelan.

"Hari-hari ini stres banget." keluh gue pelan.

Asta nurunin tangannya ke punggung gue, ibu jarinya mijat sepanjang tulang belakang, membidik titik-titik yang bikin badan gue otomatis rileks.

Gue kaget pas tiba-tiba dia berhenti, buru-buru gue buka mata. "Sorry, enak banget soalnya."

Dia condong ke depan, napasnya kena telinga gue.

"Santai, wajar kok."

Gue telan ludah. Napasnya bikin geli, dan suasana di antara kita tiba-tiba jadi aneh. Padahal ini bukan pertama kalinya dia mijat gue.

Tangan Asta naik dari bawah punggung ke tengah, terus dia ngelewatin tangannya di bawah lengan gue dan taruh di perut. Dada dia nyentuh punggung gue tipis-tipis.

"Tarik napas, ini buat ngurangin stres."

Gue ngikutin kata-katanya walaupun kita duduk super dekat sekarang.

"Tutup mata lo, fokus ke napas aja."

Gue tarik napas, buang, tapi kehadiran dia di belakang gue makin bikin gue sadar kalau gue nggak rileks sama sekali. Dada dia anget banget, dan gue bisa ngerasain semuanya. Pas bibirnya nyenggol telinga gue dikit, gue mikir itu pasti kecelakaan.

Harusnya kecelakaan, kan?

Asta, lo ngapain sih?

Hidungnya kena telinga gue, napasnya membelai kulit gue, dan jantung gue sudah seperti mau lompat dari dada.

Bisa nggak sih, dia juga ngerasain ini?

Gila, malu banget.

Santai, Ellaine.

Cuma pijet doang.

"Ellaine…" bisik Asta di telinga gue. Bulu kuduk gue langsung berdiri, wangi parfumnya bener-bener ngehipnotis.

Tiba-tiba pintu terbuka kenceng banget, bikin gue langsung lompat berdiri, menjauh dari Asta.

Antari berdiri di sana, bingung, tatapannya pindah dari gue ke Asta, yang masih duduk di kasur dengan tangan setengah ke arah gue, tapi buru-buru nurunin tangannya.

Antari nyilangkan tangan di dada. "Lo pada ngapain?"

Asta lihat gue sekilas sebelum jawab. "Cuma…" Dia nggak nyelesaiin kalimatnya, dan Antari naikin alis.

"Gue belum dapet jawaban."

Muka Asta langsung bete. "Gue juga nggak harus jawab."

Dahi Antari mengernyit, jelas dia nggak nyangka jawaban itu. Gue nggak mau bikin suasana jadi tegang lagi, kita sudah sepakat buat bersikap lebih dewasa dan nggak ribut.

"Gue pergi dulu. Gue kasih senyum tipis ke Asta sebelum keluar kamar tanpa melihat ke belakang."

Gue nggak seharusnya ke kamar Asta tadi. Sekarang Antari ada di rumah, gue harus lebih hati-hati. Bukan karena gue peduli sama pendapatnya, tapi gue nggak mau bikin masalah buat Asta.

Pas gue turun tangga, tiba-tiba Anan ngelewatin gue, lari kenceng tanpa baju dan nyeker.

"Anan?"

Dia megang HP di tangannya, mukanya panik banget.

"Nanti gue jelasin!" teriaknya sebelum ngilang keluar pintu depan.

Dia mau ke mana sih, dengan tampang seperti itu?

Gue jadi kepikiran dan nggak bakal bisa tidur sebelum dia ngirimin pesan kalau dia bakal nginep di luar.

Dengan tampang seperti itu?

Gue punya firasat ini ada hubungannya sama anak cewek tetangga kita. Kalau nggak salah namanya Zielle.

Seumur-umur, gue nggak pernah lihat Anan segitu tertariknya sama cewek.

Ya ampun, Anan, sepertinya cewek ini bakal jadi orang yang akhirnya bisa ngasih kehangatan buat hati lo yang selama ini lo jaga tetap dingin.

Gue balik ke kamar dan duduk di sebelah nyokap. Dia duduk bersandar di kepala ranjang, rambut pendeknya nge-frame wajahnya, dengan beberapa helai uban yang bikin rambutnya terlihat ada bagian putih. Kerutan di wajahnya makin jelas pas dia senyum ke gue dan genggam tangan gue.

"Sudah pulang."

Gue balas senyum, terus maju buat nyium keningnya. Pas gue mundur, gue usap pipinya pelan.

"Mama harusnya sudah tidur."

"Kamu tahu kan, Mama nggak bakal bisa tidur sebelum kamu pulang."

"Mama gimana?" Gue perhatiin wajahnya baik-baik. Nggak ada yang lebih penting buat gue selain kesehatannya.

"Baik." Dia nyentuh kantung mata gue. "lihat tuh, mata kamu bengkak banget. kamu capek. sudah, tidur yuk."

"Oke, Ella ganti baju dulu."

Dia nungguin gue sampai gue lepas seragam bodoh yang dikasih Antari dan ganti ke piyama yang lebih nyaman. Gue langsung rebahan di sebelahnya.

"Selamat tidur, Ma."

"Selamat tidur, Nak."

Tapi gue nggak bisa tidur. Otak gue muter terus dari permintaan maafnya Antari sampai yang tadi terjadi sama Asta.

Itu tadi apa sih?

Gue pengen percaya kalau gue cuma lagi banyak pikiran, makanya mikir aneh-aneh, tapi mungkin gue harus sadar kalau Asta sudah bukan anak kecil lagi.

Dia remaja, dan… ya, hormon remaja lagi tinggi-tingginya.

Mungkin gue selama ini terlalu santai di dekat dia. Mulai sekarang gue harus hati-hati. Kalau nggak, ini bisa kelewat batas.

Ellaine…

Suara lembutnya masih terngiang di kepala gue. Gue geleng-geleng kepala, paksa diri buat berhenti mikirin itu. Gue cuma mau tidur dengan tenang malam ini.

Dingin…

Dingin banget.

.........

Badan gue gemeteran. Bibir gue pecah-pecah gara-gara dingin, kulit gue kering dan dehidrasi. Gue peluk Moly, boneka beruang gue yang sudah kotor banget sampai baunya nggak enak, tapi gue nggak mau ngelepasinnya.

Rumah tempat kita tinggal gelap gulita. Listrik sudah jadi hal mewah yang nggak pernah kita punya lagi sejak lama. Gue nemuin nyokap di sofa, nggak sadarkan diri, tangannya tergantung di udara, jarum suntik kosong berserakan di lantai.

Dia cuma pakai rok pendek, sama atasan kecil yang ngebiarin perutnya terbuka. Rambut merahnya awut-awutan, kusam, dan kotor. Gue letakkan tangan kecil gue di dadanya.

"Mama."

Dia nggak gerak. Nggak jawab.

"Mama, Ella kedinginan banget."

melihat dia dengan pakaian setipis itu bikin gue mikir, jangan-jangan dia lebih kedinginan dari gue. Gue ambil selimut gue dan pelan-pelan membungkus badannya, berusaha nutupin sebanyak mungkin.

Tiba-tiba suara ketukan keras di pintu bikin gue kaget.

"Mulan! Mulan! BUKA PINTU, BRENGSEK!"

Jantung gue langsung loncat ke tenggorokan. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuh gue. Gue tepuk bahu nyokap.

"Mama! Mama, bangun!"

Tapi dia nggak gerak sama sekali. Gue teriak pas pintu itu dijebol dengan sekali tendang.

"LO DI MANA, PELACUR SIALAN?!"

Seorang cowok berpakaian serba hitam, pakai anting, dan penuh tato masuk ke tempat kecil kita. Matanya langsung nemuin nyokap gue.

"Akhirnya ketemu juga."

Gue buru-buru berdiri. "Nggak! Jangan sentuh dia!"

Dia langsung nyamber rambut gue dan melempar gue ke samping. Perut gue kebentur meja kecil di depan sofa. Gue kehabisan napas, nahan sakit di perut.

Dia ngambil jarum suntik di lantai dan membuangnya ke samping, terus nyokap gue ditamparnya. Nyokap cuma bisa berkedip lemah.

"Gila lo, barang gue lo pakai segitu banyaknya."

Gue susah payah berdiri, air mata mulai ngumpul di mata gue.

"Jangan! Please! Jangan!"

Cowok itu naik ke atas badan nyokap, membuka ikat pinggangnya. Gue langsung mukulin dia sekuat tenaga, tapi dia malah balik nyamber rambut gue lagi, nyeret gue ke pintu, terus melempar gue ke luar. Gue jatuh keras ke tumpukan sampah depan kontrakan kita.

"Masuk lagi, lo gue bunuh, bocah!"

Gue nangis dan langsung lari. Gue harus cari bantuan. Gue nggak bisa ngelawan dia sendirian. Nyokap selalu bilang, kalau ada orang nyari dia, gue jangan coba-coba lawan, tapi langsung cari pertolongan.

Hujan turun deras banget sampai gue harus kepleset berkali-kali. Gue bahkan nggak ngerasain kaki gue lagi.

Lalu ada suara lembut yang mengisi telinga gue. Tangannya sedang merangkul gue di tengah dingin ini.

.........

"Hei, hei, Ellaine."

Gue buka mata, air mata masih ngeblur-in pandangan gue. Badan gue gemeteran nggak terkendali.

"Lo baik-baik aja. Itu cuma mimpi."

Suara Antari nggak terlalu mengejutkan gue, dibanding kalau ternyata gue lagi ada di tengah halaman rumah keluarga Batari.

Ngelindur?

Gue tidur sambil jalan lagi, ya?

Rasa takut, dingin, dan sakit dari mimpi tadi masih terasa nyata. Gue lihat matanya, mata yang dulu selalu bikin gue tenang tiap kali gue kebangun karena mimpi buruk itu. Gue gigit bibir, berusaha berhenti nangis, tapi nggak bisa.

Antari pegang wajah gue, dan untuk pertama kalinya, dia nggak kelihatan seperti cowok dingin dan nyebelin yang semua orang kenal. Dia kelihatan seperti cowok yang dulu tumbuh bareng gue, yang dulu selalu ngejagain gue, yang selalu merangkul gue tiap kali gue ngelindur, tiap kali mimpi buruk itu datang. Dia kelihatan seperti dia yang dulu. Dia yang cuma ada buat gue.

"Lo baik-baik aja," bisiknya, ibu jarinya menghapus air mata gue.

Gue nggak bisa ngomong.

"Lo nggak perlu ngomong apa-apa. Lo aman sekarang."

Dia narik gue ke pelukannya, dan gue nangis tanpa suara di dadanya. Bau dia bikin gue sedikit tenang. Tangannya membelai belakang kepala gue.

Gue nggak punya tenaga buat menghindar atau menolak.

"Lo aman, Ellaine. Gue di sini."

Gue lingkarkan tangan gue di pinggangnya, merangkul dia kenceng. Gue terlalu lemah buat mikir jernih. Gue cuma pengen ngerasa aman di pelukannya, walaupun cuma beberapa detik, sampai rasa takut ini perlahan hilang.

Karena ini bukan sekadar mimpi buruk.

Ini kenyataan.

Ini kenangan.

Dan dia tahu itu.

Dia tahu semuanya.

Terpopuler

Comments

Ummi Yatusholiha

Ummi Yatusholiha

mulai nongol dikit2 nih kisah masa lalu ellaine.. apa ibunya ella mantan wanita malam yaa🤔🤔

2025-02-03

0

Dita Suriani

Dita Suriani

kisahnya masih kusut

2025-02-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!