Setelah keluar dari salon, Calvin membawa Sartika ke sebuah kafe kecil di dekat sana. Ia memilih meja di sudut yang cukup tenang, jauh dari keramaian. Setelah pelayan datang dan mencatat pesanan mereka, Calvin akhirnya menatap Sartika dengan lebih serius.
"Kau belum memberitahuku namamu," ucapnya, meletakkan kedua tangannya di atas meja.
Sartika terdiam sesaat, sebelum akhirnya menjawab, "Sartika."
Calvin mengangguk pelan. "Sartika… Nama yang indah." Ia kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Sartika dengan mata yang penuh selidik. "Sekarang, bisakah kau jelaskan bagaimana bisa hidup di jalanan?"
Sartika menggigit bibirnya, menundukkan kepala. Tangannya menggenggam ujung bajunya, seolah berusaha menahan sesuatu.
"Aku… dulunya tidak seperti ini," katanya pelan. "Aku pergi dari rumah dengan harapan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tapi aku justru tertipu dan kehilangan segalanya."
Calvin diam, membiarkan Sartika melanjutkan.
"Aku dijanjikan pekerjaan di luar negeri, tapi semuanya bohong. Saat menyadari aku telah ditipu, aku tidak punya apa-apa lagi. Tidak ada uang, tidak ada tempat tinggal. Aku bahkan tidak bisa pulang ke rumah karena malu." Suaranya terdengar lirih, nyaris bergetar.
Calvin mengamati ekspresi Sartika. Ada kepedihan di sana, sesuatu yang mungkin tidak pernah ia ceritakan pada orang lain sebelumnya.
"Lalu?" Calvin bertanya dengan nada lebih lembut.
Sartika menghela napas panjang. "Sejak saat itu, aku bertahan hidup di jalanan. Mencari makanan dari sisa orang lain, tidur di tempat mana pun yang bisa kutemukan. Aku melakukan apa pun yang perlu kulakukan untuk tetap hidup."
Mata Calvin sedikit menyipit, memperhatikan Sartika dengan lebih dalam. Ia bisa melihat bahwa wanita di hadapannya bukan hanya sekadar gelandangan biasa. Ada luka di sana, ada perjuangan yang tidak terlihat oleh orang lain.
"Dan tadi?" tanya Calvin, mengingat bagaimana ia menemukannya hampir tertabrak mobilnya.
Sartika tersenyum pahit. "Aku baru saja kabur. Aku mencoba mencuri, dan itu hampir membuatku celaka."
Calvin mengetukkan jarinya di meja. "Jadi kau memang pencuri?"
Sartika langsung menggeleng cepat. "Tidak! Aku… aku hanya terpaksa. Aku lapar, aku putus asa."
Calvin menatapnya cukup lama sebelum akhirnya menghela napas. Ia mengerti. Tidak semua orang yang melakukan hal buruk benar-benar jahat. Beberapa hanya tidak punya pilihan.
"Kau tidak bisa terus hidup seperti ini," kata Calvin akhirnya. "Jika kau diberi kesempatan, apa kau mau mengubah hidupmu?"
Sartika menatap Calvin dengan ekspresi tidak percaya. "Maksudmu…?"
Calvin menatapnya serius. "Aku bisa membantumu, tapi dengan satu syarat, kau harus meninggalkan masa lalumu dan mulai dari awal."
Sartika menggigit bibirnya, hatinya bergejolak. Ini adalah tawaran yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tapi apakah ia pantas menerimanya? Apakah ia benar-benar bisa mengubah hidupnya?
Ia menatap Calvin, mencari kejujuran di matanya.
"Apa aku benar-benar bisa…?" tanyanya ragu.
Calvin tersenyum kecil. "Semua orang bisa, jika mereka mau mencoba."
Ia tidak mengerti kenapa pria ini begitu baik padanya. Dalam hidupnya di jalanan, ia lebih sering bertemu dengan orang-orang yang menatapnya dengan jijik, atau justru mencoba mengambil keuntungan darinya. Tapi Calvin… berbeda.
Ia menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian. "Jika aku menerimanya… apa yang harus kulakukan?"
Calvin mengaduk kopinya perlahan, sebelum menjawab, "Aku bisa membantumu mendapatkan pekerjaan. Hidup yang lebih layak. Tapi kau harus benar-benar berusaha, bukan hanya mengandalkan belas kasihan orang lain."
Sartika menelan ludah. "Aku… aku tidak punya pengalaman kerja. Tidak ada ijazah. Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana."
Calvin menatapnya tajam. "Semua itu bisa dipelajari. Yang penting, kau mau atau tidak?"
Sartika terdiam. Tawaran ini begitu menggiurkan, tetapi juga menakutkan. Bagaimana jika ia gagal? Bagaimana jika ia malah menjadi beban bagi Calvin?
Tapi jika ia menolak… apakah ia ingin kembali ke hidup lamanya? Tidur di kolong jembatan, mencuri untuk bertahan hidup, dan terus dihantui rasa malu?
Tidak.
Ia menggenggam tangannya erat di pangkuannya, lalu mengangguk pelan. "Aku mau mencoba."
Calvin mengangkat alisnya, seakan memastikan. "Kau yakin?"
Sartika menatapnya dengan mata penuh tekad. "Ya."
Calvin tersenyum tipis. "Baik. Kita mulai dari mencari tempat tinggal yang lebih layak untukmu."
Sartika menahan napas. "Maksudmu… kau akan menyewakan tempat untukku?"
Calvin mengangguk. "Setidaknya sampai kau bisa mandiri. Aku tidak akan membiarkanmu tidur di jalanan lagi."
Sartika merasa dadanya sesak oleh emosi yang campur aduk. Ia tidak ingat kapan terakhir kali seseorang peduli padanya seperti ini. "Kenapa kau melakukan semua ini untukku?"
Calvin menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab, "Mungkin karena aku tahu rasanya kehilangan seseorang dan ingin melakukan sesuatu yang berarti."
Sartika tidak tahu apa yang Calvin maksud dengan 'kehilangan seseorang', tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. Yang ia tahu, ini adalah awal dari sesuatu yang baru dalam hidupnya.
Sartika di ajak pergi kembali oleh Calvin, untuk mencari tempat yang cocok untuk dirinya tinggali.
Calvin menghela napas panjang saat keluar dari kantor agen properti terakhir yang dikunjungi oleh mereka.
Sudah beberapa tempat mereka datangi, tapi hasilnya nihil. Semua rumah kontrakan penuh, atau jika ada yang kosong, lokasinya terlalu jauh dan tidak layak untuk Sartika tinggali sendirian.
Ia melirik ke samping, melihat Sartika yang berdiri dengan wajah pasrah. Wanita itu tampak lelah, tetapi tidak mengeluh sedikit pun.
"Aku bisa kembali ke tempatku semula," kata Sartika lirih, mencoba menerima keadaan.
"Tidak." Calvin langsung menolak. "Aku tidak akan membiarkanmu tidur di jalanan lagi."
Sartika menatapnya dengan ragu. "Lalu... bagaimana?"
Calvin berpikir sejenak, lalu mendesah. "Untuk sementara, kau tinggal di rumahku dulu."
Sartika terbelalak. "Apa? Tidak, aku tidak bisa!"
"Apa kau punya pilihan lain?" Calvin menatapnya tajam. "Ini hanya sementara, sampai aku menemukan tempat yang cocok untukmu."
Ia jelas tidak nyaman dengan ide itu. Tinggal di rumah pria yang baru dikenalnya? Itu terdengar terlalu berlebihan.
Tapi jika tidak… ke mana lagi ia harus pergi?
Melihat Sartika masih ragu, Calvin menambahkan, "Aku punya banyak kamar kosong. Kau bisa tinggal di salah satunya. Aku tidak akan menyentuhmu, jika itu yang kau khawatirkan."
Sartika menunduk, masih bimbang.
"Aku hanya ingin menolong," lanjut Calvin, suaranya lebih lembut. "Jangan berpikir terlalu jauh."
Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, Sartika menghela napas dan mengangguk. "Baiklah… hanya sementara."
Calvin tersenyum tipis. "Bagus. Ayo pulang."
Mobil Calvin melaju melewati jalanan kota yang mulai lengang seiring malam semakin larut. Sartika duduk diam di sampingnya, sesekali melirik ke arah jendela, merasa canggung dengan situasi ini.
"Apa kau tidak keberatan jika orang tuamu tahu ada wanita asing yang tinggal di rumahmu?" tanya Sartika akhirnya, mencoba memecah keheningan.
Calvin tetap fokus ke jalan, tetapi sudut bibirnya terangkat sedikit. "Aku tidak tinggal bersama mereka. Rumahku cukup besar untuk tidak membuat keberadaanmu mencolok."
Sartika mengangguk pelan, tetapi hatinya masih gelisah. Ia belum benar-benar mengenal Calvin. Meskipun pria itu sudah membantunya sejauh ini, ia tetap harus berhati-hati.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah rumah mewah bergaya modern minimalis. Pagar otomatis terbuka saat Calvin menekan tombol di dashboard mobilnya. Sartika menelan ludah, merasa semakin tidak pantas berada di tempat ini.
"Masuklah," ujar Calvin sambil turun dari mobil.
Sartika mengikutinya masuk. Interior rumah itu sangat rapi dan elegan, dengan nuansa putih dan hitam yang mendominasi. Meski luas, suasana di dalamnya terasa sepi.
"Kamar tamu ada di lantai atas. Aku akan menunjukkan jalannya."
Sartika mengangguk dan mengikuti Calvin menaiki tangga. Saat mereka sampai di sebuah pintu, Calvin membukanya dan menyalakan lampu.
"Kau bisa tinggal di sini. Ada kamar mandi di dalam. Jika butuh sesuatu, bilang saja."
Sartika melangkah masuk, melihat sekeliling kamar yang jauh lebih nyaman daripada tempat mana pun yang pernah ia tinggali dalam beberapa bulan terakhir.
"Terima kasih, Calvin." Ia menatap pria itu dengan tulus.
Calvin hanya mengangguk. "Istirahatlah. Kita bisa membicarakan rencana selanjutnya besok."
Setelah itu, ia meninggalkan Sartika sendirian. Melihat sekeliling, dengan rasa heran dan kagum.
Namun, di balik rasa itu, ada pertanyaan yang mengusik pikirannya, kenapa Calvin begitu baik padanya? Apa yang sebenarnya pria itu inginkan?
Ia menghela napas panjang, saat ujung jarinya menyentuh meja kayu dengan ukiran halus di sudut ruangan. Baginya, semua barang di kamar ini terlalu mewah, seperti dunia yang tak pernah bisa ia gapai.
Ia berjalan kembali menuju lemari kaca di dekat jendela, melihat pantulan dirinya di sana. Rambutnya sudah lebih rapi setelah perawatan di salon, wajahnya lebih bersih, tapi matanya masih menyimpan kepedihan berbulan- bulan.
"Lucu sekali," gumamnya pahit.
"Dulu aku pikir, hidup seperti ini hanya bisa kuimpikan."
Ia menggeleng pelan dan melangkah ke ranjang, merasakan empuknya kasur yang seakan memeluk tubuhnya. Begitu berbeda dengan trotoar dingin atau lantai kolong jembatan tempatnya biasa tidur.
"Ya sudahlah," katanya lagi, mencoba mengusir pikirannya sendiri. "Yang penting aku bisa tidur nyenyak malam ini, tanpa kehujanan dan kedinginan."
Ia menarik selimut tebal dan membenamkan dirinya di bawahnya. Entah sampai kapan ia bisa tinggal di sini, entah apa rencana Calvin terhadapnya, tapi untuk saat ini… ia hanya ingin menikmati kenyamanan yang sudah lama tak ia rasakan.
Mata Sartika perlahan terpejam, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tertidur tanpa rasa takut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments