"Astaghfirullôhal! Sayang. Kenapa hujan-hujanan."
Panik ummah Sinta mendapati putri bungsunya pulang dalam keadaan basah kuyup.
Jiwa keibuannya begitu kentara. Berlari mencari handuk lalu menyelimuti tubuh Harfa.
"Kenapa sampai kehujanan begini. Tidak bisakah kamu berteduh dulu. Wajah kamu juga pucat."
Omel ummah Sinta, namun tetap mengeringkan wajah dan tubuh Harfa dengan handuk. Merasa sudah sedikit air yang menetes di baju Harfa Ummah Sinta baru membawa Harfa masuk rumah.
Ummah Sinta tak habis pikir, kenapa putrinya bisa hujan-hujanan. Bahkan, mobil pun tak ada. Ingin bertanya namun urung melihat Harfa yang malah diam.
"Sayang, minum dulu teh nya, agar badan kamu hangat. Baru ke kamar dan bersihkan tubuh dengan air hangat."
Lagi, Harfa hanya diam. Tatapannya begitu kosong membuat ummah Sinta heran. Ada apa dengan putrinya.
Tak biasanya Harfa bersikap seperti ini. Jika begitu, pasti ada hal besar yang terjadi. Ummah Sinta tak tahu harus berbuat apa. Hatinya kembali teriris. Belum juga reda pikirannya tentang Ifa kini harus mendapati putri bungsunya seperti ini.
"Nak."
Harfa tersentak. Merasakan tangan hangat mengelus wajahnya. Harfa menatap ummah Sinta. Tiba-tiba matanya memerah. Cairan bening meluncur begitu saja membuat ummah Sinta terkejut.
Harfa dan kakaknya memang berbeda. Harfa mudah rapuh dan sulit menyembunyikan apapun dari kedua orang tuanya.
"Kamu menangis! Ada apa?"
"M---ma-"
Bibir Harfa gemetar, bahkan tubuhnya pun ikut terguncang. Harfa tak sekuat kakak Ifa dalam menghadapi masalah.
"Sayang,"
Ummah Sinta semakin cemas melihat Harfa semakin kencang menangis. Dengan lembut, ummah Sinta menghapus air mata itu walau terus keluar.
"Mas Bumi menyerah!"
Deg!
Ummah Sinta tertegun, mencoba mencerna ucapan putrinya.
Hati ummah Sinta ikut teriris melihat kesedihan putrinya. Kenapa nasib putrinya tak ada yang beruntung satupun. Ummah Sinta tak tahu. Kesalahan apa di masa lalu hingga membuat nasib putrinya begitu buruk. Kenapa harus seperti itu.
Belum selesai kesedihan Ifa, kini masalah Harfa muncul.
Ummah Sinta bisa merasakan rasa sakit yang di rasakan putrinya.
"Yang sabar, sayang."
Ummah Sinta memeluk Harfa lembut. Tak ada kata yang di ucapkan lagi. Semuanya terasa menyesakan.
Harfa hanya diam saja dengan pikiran kosong. Perasaan nya hancur.
Bukankah Harfa sudah mengikhlaskan, tapi kenapa sekarang begitu. Bukankah mereka sudah sepakat berpisah baik-baik. Agar tak saling menyakiti.
Mereka sadar, jika cinta mereka tak bisa lagi di paksa. Semuanya sudah berusaha sampai mereka di titik itu.
"Mungkin, ini yang terbaik buat kalian. Ikhlaskan sayang."
Harfa mempererat pelukannya. Menenggelamkan wajah di dada ummah Sinta. Harfa benar-benar menangis bak anak kecil. Sampai baju ummah Sinta ikut basah juga.
Abi Farel hanya bisa mematung mendengar semuanya. Hatinya ikut teriris. Kenapa lagi, kisah cinta putrinya tak seberuntung kisah mereka.
"Maaf, ummah. Baju ummah basah."
Ucap Harfa tiba-tiba sambil menyeka air matanya. Kesadaran Harfa seolah tertarik kembali. Harfa sadar jika apa yang ia lakukan salah. Tak seharusnya Harfa menangis begitu sampai membasahi baju ummah Sinta.
Harfa malu, kenapa ia selemah itu. Hanya karena putus cinta membuat Harfa hilang kendali.
Bukankah itu hal wajar, lebih baik ekspresikan dari pada di tahan yang hanya akan menyesakan.
"Aku ke kamar dulu."
Ucap Harfa pergi meninggalkan ummah Sinta.
Di setiap langkah, terasa berat sekali. Namun, Harfa tetap melangkahkan kedua kakinya menuju kamar. Harfa tak pernah membayangkan jika dirinya akan berada di titik ini.
Suara guntur dan petir saling bersahutan. Tapi, tak membuat Harfa tersadar dari tatapan kosongnya.
Kenapa ini sangat menyakitkan, melepaskan Bumi. Namun, Ifa juga tak mungkin menggenggam Bumi terlalu erat. Itu malah akan membuat Harfa semakin terluka.
Harfa sadar, jika dirinya belum sholat. Sehancur apapun hati Harfa, Harfa masih tetap ingat jika dirinya belum sholat.
"Ya Allah, jika ini memang jalan terbaik dari mu. Maka ikhlas kan hati ini. Jangan biarkan rasa sakit ini menghalangi langkah ku ke depannya.
Berikanlah kebahagiaan pada mas Bumi. Buatlah mas Bumi jatuh cinta pada istrinya kelak. Jangan biarkan bayangan ku membayangi masa depannya. Aku tak mau menjadi penghalang kebahagiaan nya.
Hatiku terasa sakit, tapi aku tak mau menjadi jahat. Ikhlas hati ini."
Jerit batin Harfa memohon. Bukan untuk kelapangan hatinya saja. Harfa juga ingin kebahagiaan untuk Bumi. Harfa tahu, Bumi sangat mencintainya. Untuk itu Harfa tak mau egois.
Kisah mereka sudah usai. Kini, Harfa akan mencoba menerima takdirnya. Membiarkan Bumi bersanding dengan wanita pilihan ibu Zahra.
Bukankah cinta tak harus memiliki. Cukup saling doakan satu sama lain. Jangan biarkan hawa nafsu menghantui hati dan pikiran.
....
Di sisi lain, Bumi pun sama. Sedang mengadukan segala gelisah yang ada di hatinya.
Hatinya cukup hancur, harus melepas wanita yang sangat Bumi cintai. Bumi tak bisa lagi mempertahankan. Jika itu akan menyakiti hati ibu Zahra.
Antara ibu dan kasih, tak bisa menjadi pilihan Bumi. Itu sama saja Bumi sedang membuat dirinya berada di ujung jurang.
Ibu Zahra wanita yang sudah melahirkannya. Wanita yang sangat Bumi hormati. Mungkin, ini adalah jalan terbaik bagi Bumi dan Harfa.
"Ya Allah, jika memang ini yang terbaik untuk ku. Maka Ikhlas kan hati ini untuk melepaskan Harfa. Lapangkan hati ini untuk menerima wanita pilihan Ibu. Jangan biarkan rasa cinta ini menyakiti siapapun. Aku tak kuasa akan hati ini. Engkau yang maha membolak-balikkan hati. Jaga hati dan lisan ini agar tak menyakiti istri ku kelak.
Bahagia kan Harfa. Dengan pilihan yang terbaikmu. Jaga lah Harfa, dan buka-kan-lah hatinya untuk menerima siapapun laki-laki yang datang ke kehidupannya. Jangan biarkan nama ku membayangi hatinya. Jangan biarkan aku berada dalam kubang dosa. "
Jerit hati Bumi. Bumi ikhlas jika Harfa bersanding dengan laki-laki lain suatu hari nanti. Namun, Bumi ragu apakah hatinya bisa melupakan Harfa atau tidak.
Antara Harfa dan Bumi, mereka sedang sama-sama belajar melepaskan. Tak mudah, namun itu jalan yang harus mereka ambil.
Kita tak akan pernah tahu, bagaimana jalan takdir Allah. Semua rahasianya. Tak ada yang tahu.
Allah pisahkan Harfa dan Bumi mungkin itu jalan yang terbaik bagi mereka.
Bumi melipat sajadahnya. Membuka peci lalu menaruhnya di tempat biasa. Bumi membuka laci. Melihat sebuah foto dirinya dan Harfa.
Mereka berdua nampak tersenyum cerah. Bumi tersenyum getir, mungkin itu akan menjadi kenangan dirinya dan Harfa. Bumi ingin membuangnya. Agar hatinya tak lagi mengingat Harfa. Namun, sebuah ketukan pintu membuat niat Bumi urung.
Bumi membuka pintu perlahan. Nampak ibu Zahra berada di depan pintu kamar Bumi.
"Ibu kok belum tidur?"
Tanya Bumi membuka pintu lebar-lebar. Ibu Zahra masuk kedalam dengan sigap Bumi mendorongnya.
Bumi berjongkok, memegang tangan Ibu Zahra.
"Ada apa, Bu?"
Tanya Bumi. Bumi yakin, ada sesuatu yang mau di bicarakan ibu nya.
Ibu Zahra menatap sendu Bumi. Di elusnya puncak kepala Bumi. Mata ibu Zahra memerah.
"Maafkan ibu, jika ibu egois."
"Tidak Bu. Ibu tidak usah minta maaf."
Bumi menggelengkan kepala kuat. Bumi tak akan membiarkan ibunya minta maaf. Karena itu menyakiti Bumi.
"Bahagia kan Zahira ya, nak. Jangan sakiti dia. "
"Bumi tak bisa berjanji, Bu. Tapi, Bumi akan berusaha."
"Ya, itu yang ibu harapkan."
Bumi langsung memeluk Ibu Zahra. Bumi tak bisa lagi membendung air matanya.
Bersambung ...
Jangan lupa Like, Hadiah, komen dan Vote Terimakasih ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
lily
lanjutkan thor 🥰
2025-01-31
1