Bab 6: Bila

“Sesuatu?” Nabila menghempaskan tangan Dzaki.

Seketika tangan Dzaki sudah menggenggam tangan Nabila. Ditatapnya tangan yang putih, ramping, dan lebih kecil darinya itu.

Nabila menarik tangannya. "Kamu mau apa?" Namun Dzaki berhasil menahan tangan Nabila sehingga tangannya masih digenggam oleh Dzaki.

Dzaki mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah kotak cincin. Ia meraih satu dari dua cincin di dalam kotak itu.

"Ini mahar yang tadi. Tadi belum sempet aku pakein di tangan kamu." Dzaki memasukkan cincin itu perlahan jari manis Nabila. Dan mengecup punggung tangan Nabila.

Nabila terkesiap seraya menarik tangannya kuat-kuat. "Dzaki!"

“Apa yang salah? Aku 'kan suami kamu? Wajar kalau aku cium istri aku?” ujar Dzaki tanpa merasa bersalah. Ia malah nampak sedih karena Nabila menarik tangannya hingga terlepas dari genggamannya.

Nabila bangkit dari duduknya dan menjauh dari Dzaki. Okay, Dzaki memakaikannya cincin, tapi tidak dicium juga bukan? Laki-laki ini benar-benar sangat aneh, pikir Nabila.

“Saya gak ngerti sama pola pikir kamu! Maksud kamu apa sih? Okay, kita berada di tempat yang salah dan waktu yang salah saat itu sampai akhirnya pernikahan ini harus terjadi, tapi bukan berarti kita jadi beneran seperti pasangan yang menikah!”

“Terus kamu maunya gimana?” tanya Dzaki dengan polosnya.

“Ya…” Nabila sampai kebingungan akan menjawab apa. Ia memainkan cincin berlian yang kini melingkar di jari manisnya. “Kita harus cerai.”

Dzaki tertawa mendengar kata itu muncul dari bibir Nabila. “Kita baru juga nikah, belum 24 jam, Bila. Masa udah cerai lagi. Lagian aku gak masalah sama pernikahan ini.”

“Apa kamu bilang? Bila?” Nabila benar-benar terhenyak, bahkan Dzaki kini memanggil Nabila dengan nama panggilan yang sering digunakan orang-orang terdekatnya saat memanggil namanya.

“Iya. Itu nama kamu 'kan?”

“Pertama, saya gak kenal kamu. Kedua, kita gak sedeket itu sampai kamu manggil saya dengan nama panggilan saya! Apalagi saya ini lebih tua dari kamu!” Nabila tak pernah seemosi ini sepanjang hidupnya. Ia selalu bisa berkepala dingin dalam menghadapi sesuatu. Namun di depan Dzaki, emosinya begitu meluap-luap. Ia benar-benar merasa semua yang terjadi sangatlah konyol.

“Terus kamu maunya aku manggil kamu apa? Mbak? Teteh? Atau Tante?” Dzaki malah membuat Nabila semakin meradang.

“Iya. Harusnya kamu manggil saya itu!” tegas Nabila.

“Aku ini suami kamu, loh. Masa aku manggil kamu Mbak? Kayak aku manggil Mbak Gina? Yang ada harusnya kamu manggil aku ‘Mas’. Udah deh, aku panggil kamu Bila aja ya. Biar kita tambah akrab.”

Nabila menghela nafasnya perlahan, mencoba menghilangkan frustasinya. Ia penasaran apa yang ada di dalam otak pria ini sebenarnya.

“Bila, denger, walaupun pernikahan ini terjadi karena salah paham, tapi pernikahan ini tetap sah. Aku gak punya pacar, kamu juga gak punya pasangan ‘kan? Jadi kenapa kita gak nyoba buat deket dan bener-bener ngejalanin pernikahan ini?”

“Tapi Dzaki, kamu gak kenal siapa saya! Saya ini pernah menikah. Saya udah punya anak dan usia anak saya gak beda jauh dari kamu! Saya gak yakin anak saya akan bisa nerima kamu sebagai pengganti ayahnya. Rasanya mustahil kita harus ngelanjutin semua ini. Pernikahan ini terjadi secara siri, kita masih bisa bercerai secepatnya. Yah?”

Dzaki mendekat pada Nabila. Ditatapnya wajah cantik Nabila dengan hangat. “Gak ada yang mustahil, Bila. Kalau kita belum saling mengenal, ya kita kenalan dulu aja. Kita masih sebulan lagi di sini, kita bisa sama-sama saling mengenal. Tolong kasih kesempatan buat kita, ya? Setelah itu kalau kamu masih mau kita bercerai…”

“Kamu akan menceraikan saya?”

Ia menggeleng. “Aku bakal nyoba terus supaya kita gak akan pernah bercerai,” sahut Dzaki dengan tersenyum sumringah membuat Nabila semakin terheran-heran. Ekspresi Nabila yang kesal membuat Dzaki tertawa gemas pada istrinya itu.

“Ya udah, sekarang kita jalan-jalan yuk di pantai. Mataharinya udah gak terlalu panas.” Dzaki melihat ke arah laut yang terlihat dari dinding kaca. Cuacanya memang semakin sore, lebih teduh, tidak terlalu panas seperti siang hari tadi. Ini juga menjadi kesempatan bagus untuk melihat matahari terbenam.

“Gak, saya mau di sini aja,” tolak Nabila. Ia pun masuk ke salah satu kamar dan mengunci pintu.

Di dalam kamar ia terus merenungkan semua kejadian yang serba mendadak ini. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apakah ia harus membuka hati untuk Dzaki, seperti yang Dzaki lakukan terhadapnya dan memberi kesempatan untuk mereka menjalani biduk rumah tangga ini?

Namun bagaimanapun Nabila memikirkannya, pernikahan ini terlalu konyol untuk dibuat menjadi serius. Bagaimana tidak, ia harus menikah secara tiba-tiba dengan pria yang tidak dikenalnya, masih berstatus mahasiswa, dan berusia 10 tahun lebih muda darinya pula. Nabila benar-benar tidak tahu harus bagaimana.

Akhirnya ia pun mencoba mengalihkan perhatiannya. Nabila mengeluarkan laptopnya dan mulai mengerjakan pekerjaannya. Untungnya pekerjaan Nabila cukup fleksibel. Ia mengajukan work from anywhere kepada atasannya sehingga walaupun ia terpaksa berada di Bali selama sebulan, ia masih tetap bisa bekerja seperti biasa.

Tanpa sadar hari sudah mulai gelap. Di jam-jam seperti ini biasanya ia akan sibuk di dapur mengolah makanan untuk dirinya dan juga Hazel makan malam. Ia terpikirkan putranya itu. Nabila pun membuka ponselnya dan menghubungi Hazel untuk memastikan ia sudah makan atau belum. Dan Nabila cukup lega, Hazel mengirimkan foto selfienya di mana ia sedang makan spagetti yang dibuatnya. Ia menatap wajah sang putra yang sangat mirip dengan almarhum suaminya.

“Mas Hadi.” Nabila menyentuh gambar wajah Hazel di ponselnya. “Aku harus gimana, Mas?” Ia kembali teringat dengan situasi yang baginya sangat konyol ini.

Kemudian terdengar pintu kamar itu diketuk. “Bila.” Terdengar suara Dzaki.

Nabila pun bangkit dari kursinya dan membuka pintu. Ia melihat Dzaki sudah mengganti pakaiannya dengan kemeja, yang membuatnya menjadi terlihat agak formal. Juga, Nabila tak bisa menampik, Dzaki terlihat lebih tampan dengan pakaian itu.

Nabila segera menepis pemikiran itu dengan berdeham. “Kamu mau ke mana?”

“Makan malam, dong. Emang kamu gak laper? Kita makan di restoran dan aku udah bikin reservasinya. Kamu siap-siap ya.”

“Harus ya makan di luar? Kenapa gak pesen makanan di aplikasi aja?” Nabila merasa sangat enggan karena ia seperti akan berkencan jika seperti ini.

“Kita 'kan lagi honeymoon. Masa pesen makanannya online. Harus candle light dinner dong, biar romantis,” ujar Dzaki dengan santainya.

Terpopuler

Comments

Dewi Anggya

Dewi Anggya

ini Dzaknya yg harus sabar apa Nabila yg hrs sabar jg.....Krn mndadak jd harus beradaptasi....

2025-01-31

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1: Janda Satu Anak
2 Bab 2: Pria di Kamar Nabila
3 Bab 3: Mendadak Nikah
4 Bab 4: Sisi Dzaki
5 Bab 5: Bulan Madu
6 Bab 6: Bila
7 Bab 7: Mulai Penasaran
8 Bab 8: Mendekat
9 Bab 9: Usaha Dzaki
10 Bab 10: Rasa yang Dalam
11 Bab 11: Tak Berjarak
12 Bab 12: Malam Terakhir
13 Bab 13: Sepuluh Tahun Lalu
14 Bab 14: Gagal Berkenalan
15 Bab 15: Patah Hati
16 Bab 16: Hanya Nabila
17 Bab 17: Di Rumah Nabila
18 Bab 18: Bertemu Diam-diam
19 Bab 19: Protektif
20 Bab 20: Pendekatan
21 Bab 21: Berdebat
22 Bab 22: Kesempatan Sekali Seumur Hidup
23 Bab 23: Bertemu Mertua
24 Bab 24: Permintaan
25 Bab 25: Semakin Curiga
26 Bab 26: Cepat atau Lambat
27 Bab 27: Keluarga Nabila
28 Bab 28: Manis
29 Bab 29: Ini adalah Saatnya
30 Bab 30: Suami Baru
31 Bab 31: Sesi Curhat Ayah-Anak Sambung
32 Bab 32: Pencemburu
33 Bab 33: Akal-akalan Dzaki
34 Bab 34: Rumah Baru
35 Bab 35: Manager?
36 Bab 36: Bisa Menerima
37 Bab 37: Kata-kata Ajaib
38 Bab 38: Sushi untuk Hazel
39 Bab 39: Salah Paham
40 Bab 40: Orang yang Penting
41 Bab 41: Cerminan Diri
42 Bab 42: Jalan yang Sama
43 Bab 43: Sudah siap
44 Bab 44: Gugup
45 Bab 45: Sudut Pandang
46 Bab 46: Mantan Ibu Mertua
47 Bab 47: Suami Pertama
48 Bab 48: Menenangkan Nabila
49 Bab 49: Memberi Tahu
50 Bab 50: Tak Terima
51 Bab 51: Tanpa Ragu
52 Bab 52: Gua Cinta Nyokap Lu
53 Bab 53: Hikmah
54 Bab 54: Benci
55 Bab 55: Apa yang Salah dengan Jatuh Cinta?
56 Bab 56: Mulai Luluh
57 Bab 57: Masih ada Harapan
Episodes

Updated 57 Episodes

1
Bab 1: Janda Satu Anak
2
Bab 2: Pria di Kamar Nabila
3
Bab 3: Mendadak Nikah
4
Bab 4: Sisi Dzaki
5
Bab 5: Bulan Madu
6
Bab 6: Bila
7
Bab 7: Mulai Penasaran
8
Bab 8: Mendekat
9
Bab 9: Usaha Dzaki
10
Bab 10: Rasa yang Dalam
11
Bab 11: Tak Berjarak
12
Bab 12: Malam Terakhir
13
Bab 13: Sepuluh Tahun Lalu
14
Bab 14: Gagal Berkenalan
15
Bab 15: Patah Hati
16
Bab 16: Hanya Nabila
17
Bab 17: Di Rumah Nabila
18
Bab 18: Bertemu Diam-diam
19
Bab 19: Protektif
20
Bab 20: Pendekatan
21
Bab 21: Berdebat
22
Bab 22: Kesempatan Sekali Seumur Hidup
23
Bab 23: Bertemu Mertua
24
Bab 24: Permintaan
25
Bab 25: Semakin Curiga
26
Bab 26: Cepat atau Lambat
27
Bab 27: Keluarga Nabila
28
Bab 28: Manis
29
Bab 29: Ini adalah Saatnya
30
Bab 30: Suami Baru
31
Bab 31: Sesi Curhat Ayah-Anak Sambung
32
Bab 32: Pencemburu
33
Bab 33: Akal-akalan Dzaki
34
Bab 34: Rumah Baru
35
Bab 35: Manager?
36
Bab 36: Bisa Menerima
37
Bab 37: Kata-kata Ajaib
38
Bab 38: Sushi untuk Hazel
39
Bab 39: Salah Paham
40
Bab 40: Orang yang Penting
41
Bab 41: Cerminan Diri
42
Bab 42: Jalan yang Sama
43
Bab 43: Sudah siap
44
Bab 44: Gugup
45
Bab 45: Sudut Pandang
46
Bab 46: Mantan Ibu Mertua
47
Bab 47: Suami Pertama
48
Bab 48: Menenangkan Nabila
49
Bab 49: Memberi Tahu
50
Bab 50: Tak Terima
51
Bab 51: Tanpa Ragu
52
Bab 52: Gua Cinta Nyokap Lu
53
Bab 53: Hikmah
54
Bab 54: Benci
55
Bab 55: Apa yang Salah dengan Jatuh Cinta?
56
Bab 56: Mulai Luluh
57
Bab 57: Masih ada Harapan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!