Sebuah Kekhawatiran

"Ih, Kak Zid. Tidak apa-apa lah aku sekali-sekali membantu. Siapa tahu, selang dua hari atau tiga hari, kamu sudah menemukan untuk bagian perdapuran." Bantah Ayana.

Zidan menarik napas panjang, rasanya ia sangat gemas sekali dengan Ayana.

"Tidak, Ayana. Tidak!"

"Mohon maaf, Ustadz, Umi. Maaf jika saya memotong pembicaraan Ustadz dan Umi. Apakah tidak sebaiknya kalian menikah saja? Sepertinya kalian lebih cocok untuk menjadi pasangan hidup!" Ujar Kamal tiba-tiba.

Sontak Zidan dan Ayana melotot kearah Kamal.

Yang lainnya pun menahan tawanya.

"Apa kamu bilang, Mal?" Zidan bertanya menyelidik.

Kamal pun menggaruk kepalanya dengan perasaan was-was karena sepertinya ia telah salah bicara.

"Iya, kamu bilang apa?" Cecar Ayana.

Kamal pun meringis.

"Maaf! Ustadz, Umi. Saya hanya bercanda!" Ucap Kamal dengan menangkupkan kedua tangannya lebih tinggi hingga menutupi wajahnya.

Zidan dan Ayana mendengus kesal.

"Ya sudah, hari sudah sore. Kalian boleh berkemas-kemas dan segera pulang. Besok pagi, jangan lupa datang lebih awal ya. Mulai besok, kalian akan mulai tinggal disini!" Perintah Zidan memberikan arahan kepada Kamal, Agata, Hikmah dan Amir.

"Baik, Ustadz." Sahut semuanya dengan kompak.

"Ustadz, Umi. Saya permisi dulu ya, besok pagi-pagi, insya Allah saya sudah sampai sini." Imbuh Hikmah.

"Baik, Hikmah." Jawab Zidan.

"Hati-hati, Mbak Hikmah! Sampai berjumpa kembali!" Ayana melemparkan senyumannya.

"Ustad, Umi. Kami pulang dulu ya." Pamit Kamal, Agata dan Amir.

"Iya, hati-hati di jalan ya." Sahut Zidan dan Ayana begitu kompak kembali.

Mereka pun pergi meninggalkan Zidan dan Ayana.

Ayana kembali memasang wajah kesal terhadap Zidan.

"Kamu kenapa sih, Za?" Zidan bertanya kepada Ayana, karena wajah Ayana berubah kesal.

"Kak Zidan, menyebalkan!" Jawab Ayana yang sedang berkemas-kemas merapihkan tasnya hendak segera pulang ke Rumah.

Zidan mengerutkan dahinya.

"Lho, aku menyebalkan? Bukannya kamu?" Zidan malah balik bertanya.

Ayana menatap lekat-lekat wajah Zidan dengan berjalan mendekati Zidan.

"Jelas menyebalkan lah, masa iya aku masih muda begini dipanggil Umi. Lalu, masalah perdapuran saja, aku tidak diberikan izin. Apa itu namanya kalau bukan menyebalkan." Celoteh Ayana dengan begitu jelas.

Membuat Zidan tidak dapat menahan tatapan mata Ayana.

Jarak keduanya begitu dekat.

"Tolong mundur! Jarak kita terlalu dekat. Tidak mau kan terjadi insiden untuk kedua kalinya?" Zidan menyuruh Ayana untuk sedikit menjauh.

Karena, posisi tubuhnya dengan tubuh Ayana hanya tinggal beberapa centi saja, hampir menempel.

Bahaya sekali jika sudah menempel.

Ayana pun mundur beberapa langkah.

"Ayana Zahira, aku jelaskan ya. Dengarkan baik-baik. Kamu disini ini sebagai pengelola, kamu itu wakilku. Jadi, kalau aku tidak ada di tempat, kamu lah yang akan memegang kendali. Lagi pula, kamu sudah aku berikan tugas untuk mengajar tiga bab kitab. Apa masih kurang cukup jika ditambah kalau kamu harus memasak untuk kita-kita semua? Apakah tubuh kecilmu ini tidak lelah? Kapan waktu kamu akan beristirahat dan melayani Fahmi nanti? Aku tidak ingin terlalu memberatkan kamu, aku sudah bersyukur alhamdulillah kepada Fahmi atas kepercayaan dan pengertiannya untuk mengizinkan kamu ikut mengelola Pesantren ini bersama denganku. Aku ingin, setelah kamu usai mengajar, kamu segera pulang jika ada jadwal Fahmi dirumah. Namun, ketika Fahmi ada jadwal terbang, kamu bisa pulang mengajar bersamaku atau ingin bermain berlama-lama di Pesantren tidak menjadi masalah. Sudah jelas Umi Ayana Zahira yang cantik dan manis? Jujur, aku tidak ingin memberatkan kamu. Aku tidak ingin membuat kamu lelah, lalu menjadi penghalang program hamil kamu. Karena, Aku yakin, kalian pasti juga sudah sangat menginginkan adanya kabar kehamilan kan?" Jelas Zidan kepada Ayana.

Ayana menunduk mendengarkan penjelasan Zidan dengan seksama. Seperti seorang gadis kecil mendengarkan nasehat dari Ayahnya.

Ia pun menarik napasnya.

"Baiklah." Jawab Ayana singkat.

"Dan untuk soal panggilan Umi. Memang sudah saatnya kamu dipanggil dengan sebutan itu, jika kamu sudah sepenuhnya menjadi pengelola Pesantren. Kamu keberatan dipanggil Umi? Apakah kamu menginginkan dipanggil Ibu Nyai? Ya, kamu harus menikah dulu denganku, baru nanti bisa dipanggil Ibu Nyai, hehehe." Goda Zidan kepada Ayana.

Membuat Ayana berubah kesal kembali.

"Ih, apa sih, Kak? Kok malah bahas menikah? Aku kan sudah menikah dengan Mas Fahmi." Tegas Ayana.

"Ya, asal kamu tahu saja, Za. Andai waktu itu aku tidak mengajak Fahmi, mungkin suamimu kini yang sedang berdiri dihadapanmu ini. Dan akan aku berikan anak yang banyak untukmu." Zidan sudah berbicara mulai melantur saja.

"Sudah ah, jangan dibahas. Sudah basi. Mari kita pulang. Kasihan Ibu." Ayana membawa tas nya kemudian pergi meninggalkan Zidan.

Wajah Ayana tampak memerah sudah seperti udang rebus.

Zidan tertawa karena berhasil menggoda Ayana.

Ia pun berjalan mengekori Ayana.

Ya, andai sewaktu itu Zidan tidak mengajak Fahmi untuk berkunjung ke Pesantren Kyai Akbar. Mungkin kini Zidan dan Ayana sudah menjadi sepasang suami isteri yang sangat harmonis dan saling melengkapi.

***

(Apa benar dengan apa yang diucapkan oleh Kak Zidan tadi sore? Jika waktu itu ia tidak mengajak Mas Fahmi, suamiku sekarang adalah Kak Zidan? Ya Allah, mengapa aku memikirkan hal ini? Jujur, sudah sejak lama aku menginginkan dinikahi oleh Kak Zidan. Tapi, takdirmu berkata lain, Ya Allah. Aku harus menahan gejolak ini. Aku akan mengubur semua perasaanku terhadap Kak Zidan. Aku harus lebih mencintai dan menyayangi Mas Fahmi, karena ia sudah menjadi suamiku. Ya Allah, berikan segera aku momongan, agar Mas Fahmi semakin menyayangiku. Aku takut jika suatu hari nanti, Mas Fahmi akan berpaling dariku yang belum bisa memberikan ia keturunan.) 

Ayana duduk termenung didepan layar laptopnya seraya mendengarkan suara-suara lantunan ayat-ayat suci Al-Quran dari Laptopnya.

Malam itu, ia menghabiskan waktunya hanya berdiam diri di kamar saja.

Sejak kepulangannya dari Pesantren, ia masuk kamar dan belum keluar sama sekali.

Jangan kan untuk makan malam, mengambil minuman pun tidak. Karena, ia sudah sengaja menyetok air mineral dalam botol minumnya, agar ketika tengah malam ia haus, tidak perlu turun kedapur.

Ia tidak ingin terjadi insiden seperti tempo hari yang mengakibatkan Zidan menjamah b*birnya tanpa disengaja.

Di ruang tengah, terdapat Zidan yang masih asyik menyaksikan acara televisi sembari menunggu Ayana turun ke dapur.

Biasanya, pada malam hari Ayana suka turun kedapur untuk mengambil air minum.

Namun, sudah tiga jam Zidan menunggunya, tidak ada tanda-tanda Ayana akan turun.

Zidan khawatir, karena Ayana juga belum makan malam.

"Kok dia belum turun-turun, ya? Apakah dia tidak lapar dan tidak haus? Apa jangan-jangan sepulang tadi dia langsung tidur? Ah, mana mungkin Ayana tidur sejak sore. Eh, tapi bisa saja sudah tidur. Kan dari pagi tadi dia sudah sibuk, mungkin dia lelah."

Gumam Zidan.

Namun, perasaan Zidan tidak bisa tenang. Ia teramat gelisah.

Hampir tiga puluh menit, Zidan masih menunggu Ayana yang tak kunjung turun.

Ia pun memutuskan untuk menengok Ayana di kamarnya.

Zidan berjalan menaiki anak tangga dan berjalan menuju kamar Ayana.

Tok..

Tok..

Tok..

Ayana tersentak ketika mendengar suara ketukan dari luar kamarnya.

"Za! Apakah kamu sudah tidur? Kamu sejak pulang tadi belum makan dan belum minum, kamu tidak apa-apa kan, Za?" Zidan bertanya dari balik pintu kamar Ayana.

Ayana kemudian berjalan menuju pintu kamar, ia pun  segera membukanya.

Ceklek! 

"Ada apa, Kak?" Ayana balik bertanya.

Zidan tersenyum karena ternyata Ayana masih terjaga.

"Kamu belum makan lho, Za. Juga tidak minum-minum. Apakah tidak lapar dan tidak haus?" Zidan bertanya kepada Ayana. Seperti terlihat khawatir saja terhadap pasangannya saja.

Ayana menggelengkan kepalanya.

"Kok bisa?" Zidan mengerutkan dahinya.

"Karena aku sudah punya stok didalam kamar, hahahahaaa jadi aku tidak akan kelaparan dan kehausan." Jawab Ayana dengan tawanya.

Zidan tidak menyangka jika Ayana telah menyiapkan stok, namun ia merasa lega jika apa yang ia khawatirkan ternyata tidak terjadi.

"Syukurlah kalau begitu, aku pikir malah kamu sudah tidur, lalu belum sempat makan dan minum." Jawab Zidan lagi.

Ayana pun tersenyum kembali.

"Kak Zidan khawatir ya sama aku?"

"Khawatir? Tidak kok, biasa saja." Zidan mencoba berbohong, namun sikapnya tidak dapat dibohongi.

"Ah, yang benar?" Ledek Ayana kembali.

Zidan menjadi salah tingkah.

"Benar, Za. Aku biasa saja." Sahut Zidan kembali.

"Yakin? Terus kenapa sampai bela-belain menghampiri aku sudah malam-malam begini?"

Episodes
1 SAH!
2 Pulang Ke Rumah
3 Malam Pertama
4 Sedang Sakit
5 Hanya Kelelahan
6 Canggung
7 Terjadilah Sudah
8 Kembali
9 Ditinggal Tugas
10 Mulai Terbiasa
11 Berdua
12 Bahagia
13 Ditinggal Umroh
14 Pulang Umroh
15 Kesepian
16 Pesantren Ar-Rahman
17 Sebuah Kekhawatiran
18 Dilema
19 Pengajar Baru, Bernama Difa Azahra
20 Merasa Tersaingi
21 Ada Apakah Gerangan?
22 Happy Anniversary
23 Dingin dan Acuh
24 Semakin Dingin
25 Luka Hati, Luka Tubuh
26 Perasaan Terdalam
27 Sebuah Pengakuan
28 Khawatir
29 Menjenguk Umi
30 Perhatian
31 Pertemuan 2 Keluarga
32 Perjodohan
33 Perdana Singgah ke Pesantren
34 Putra Bungsu?
35 Iya, Dia Fahmi!
36 Bakso Cuanki
37 Jujur Lebih Baik
38 Rela Menjadi Madu
39 Apa? Poligami?
40 Terbongkarnya Rahasia
41 Galau
42 Kesimpulan Pahit
43 Kembali ke Jakarta
44 Alhamdulillah, Sudah Membaik
45 Keputusan Berat
46 Mutlak, Lanjut Poligami!
47 Galau Membawa Luka
48 Hmm.. Bolehkah Sedekat Ini?
49 H-3 Pernikahan
50 Hari Pernikahan Fahmi dan Sarah
51 Resmi Menjadi Madu
52 Penyemangat Dari Zidan
53 Malam Penuh Dengan Tanda Tanya
54 Malam Penuh Ketegangan
55 Menyelesaikan Masalah
56 Pergi Honeymoon?
57 Honeymoon
58 Saling Menjaga
59 Zidan Sakit
60 Kekhawatiran Ayana
61 Sarah Pulang ke Rumah
62 Kembali ke Rumah
63 Merasa Kalah Saing
64 Sarah Merajuk
65 Positif Hamil
66 Tersingkirkan
67 Perhatian Zidan
68 Hampir Frustasi
Episodes

Updated 68 Episodes

1
SAH!
2
Pulang Ke Rumah
3
Malam Pertama
4
Sedang Sakit
5
Hanya Kelelahan
6
Canggung
7
Terjadilah Sudah
8
Kembali
9
Ditinggal Tugas
10
Mulai Terbiasa
11
Berdua
12
Bahagia
13
Ditinggal Umroh
14
Pulang Umroh
15
Kesepian
16
Pesantren Ar-Rahman
17
Sebuah Kekhawatiran
18
Dilema
19
Pengajar Baru, Bernama Difa Azahra
20
Merasa Tersaingi
21
Ada Apakah Gerangan?
22
Happy Anniversary
23
Dingin dan Acuh
24
Semakin Dingin
25
Luka Hati, Luka Tubuh
26
Perasaan Terdalam
27
Sebuah Pengakuan
28
Khawatir
29
Menjenguk Umi
30
Perhatian
31
Pertemuan 2 Keluarga
32
Perjodohan
33
Perdana Singgah ke Pesantren
34
Putra Bungsu?
35
Iya, Dia Fahmi!
36
Bakso Cuanki
37
Jujur Lebih Baik
38
Rela Menjadi Madu
39
Apa? Poligami?
40
Terbongkarnya Rahasia
41
Galau
42
Kesimpulan Pahit
43
Kembali ke Jakarta
44
Alhamdulillah, Sudah Membaik
45
Keputusan Berat
46
Mutlak, Lanjut Poligami!
47
Galau Membawa Luka
48
Hmm.. Bolehkah Sedekat Ini?
49
H-3 Pernikahan
50
Hari Pernikahan Fahmi dan Sarah
51
Resmi Menjadi Madu
52
Penyemangat Dari Zidan
53
Malam Penuh Dengan Tanda Tanya
54
Malam Penuh Ketegangan
55
Menyelesaikan Masalah
56
Pergi Honeymoon?
57
Honeymoon
58
Saling Menjaga
59
Zidan Sakit
60
Kekhawatiran Ayana
61
Sarah Pulang ke Rumah
62
Kembali ke Rumah
63
Merasa Kalah Saing
64
Sarah Merajuk
65
Positif Hamil
66
Tersingkirkan
67
Perhatian Zidan
68
Hampir Frustasi

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!