Jerman/Pagi hari
"Elina Santika Almero...!!" Stevin berteriak tepat ditelinga Elina.
"Hadir Prof!" jawab Elina dengan cepat. Seketika nyalinya menciut saat tahu jika dirinya bangun terlambat.
"Sudah kubilang jangan tidur larut malam! Coba kamu lihat sekarang, kamu bangun terlambat" ujar Stevin dengan geram.
"M--maafkan aku" kata Elina menunduk. Tangannya meremas selimut yang masih terbungkus ditubuhnya.
"Cepat mandi! Kita sudah terlambat!" titah Stevin sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
"Aku menyesal memberinya tumpangan, dia sangat menyebalkan" gumam Stevin menatap Elina yang kini berlari ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, Elina sedang mengumpat. Ingin rasanya dia menggaruk ekspresi sangar Profesornya. Karena waktu sudah sangat mepet maka Elina hanya mencuci muka dan sikat gigi.
"Ayo" ajak Elina saat keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih berantakan, wajahnya tanpa polesan bedak serta bibir yang masih terlihat pucat.
"Kamu yakin mau ke Bandara dengan penampilan seperti itu?" tanya Stevin tak percaya.
"Calon suamiku perutnya buncit, jadi aku tidak perlu mempercantik penampilanku" balas Elina sembari mengambil tasnya lalu berjalan menuju pintu kamar hotel.
"Aku rasa dia sudah gila" gumam Stevin. Baru kali ini dia melihat seorang wanita ke Bandara dengan penampilan yang seperti orang gila.
"Hei! Aku masih bisa mendengarnya" seru Elina.
"Jaga sikapmu Elina, aku bisa memotong nilaimu!" balas Stevin mengancam Elina.
Elina menghentikan langkah kemudian berbalik menghampiri Profesornya. "Maafkan aku, Prof. Aku mohon jangan potong nilaiku"
Stevin menahan senyum melihat raut wajah Elina. "Jangan bersikap seperti tadi. Aku kenal calon suamimu. Aku bisa melapor padanya tentang kedatangannmu ke sini!" kata Stevin kembali mengancam Elina.
"Mantan, bukan kekasih!" serga Elina.
"Baru jadi mantan!!" ucap Stevin dengan geram.
"Ayo Prof, nanti aku telat ke Bandara" kata Elina. Semalam bersama Stevin membuatnya nyaman dan membuatnya tidak canggung bersikap seperti teman.
Di dalam mobil, Elina menatap Stevin yang sedang menyetir. "Prof, terima kasih ya. Andai Prof tidak ada, mungkin aku sudah terlantar di sini"
"Tidak perlu berterima kasih, Elina. Aku ke sini urusan bisnis bukan menjadi penolong" kata Stevin.
"Terus, kenapa Prof membantuku?" tanya Elina menaikan alisnya sebelah.
"Aku hanya kasihan padamu. Kamu itu mahasiswa ku, sudah menjadi tugasku menjaga kalian" jelas Stevin.
"Sama saja Prof, itu sudah masuk dalam kategori menolong!" ketus Elina.
"Terserah kamu!" celetuk Stevin.
Seusai berdebat, keduanya diam tanpa saling mengajak bercengkrama. Saat jarak mereka dengan bandara semakin dekat, Stevin menatap Elina.
"Elina, aku minta sama kamu untuk tidak memberitahu siapa-siapa tentang bagaimana aku di luar kampus" pintah Prof Stevin.
"Memangnya kenapa Prof?" tanya Elina bingung. Padahal dia sudah berencana untuk memberitahu teman-temannya.
"Ternyata kamu bawel sekali!!" celetuk Stevin sembari menggeleng gelengkan kepala.
"Tidak!" serga Elina dengan cepat.
-----
Elina dan Prof Stevin sampai di Bandara. Elina turun dari mobil dan berniat untuk pamitan pada Prof sebelum masuk ke dalam Bandara. Namun, apa yang tidak pernah terbesit kembali terjadi. Prof Stevin menarik tangan Elina membawanya masuk ke dalam Bandara.
"Prof mau ke mana?" tanya Elina dengan bingung.
"Menurutmu" balas Stevin.
"Apa Prof juga akan pulang?" tanya Elina memastikan. Jika benar Prof Stevin juga akan pulang maka itu akan menambah kebahagiaan Elina.
"Tidak, aku tidak pulang!!" balas Stevin. Ia menatap Elina dengan geram.
"Elina, kamu pura-pura bodoh atau memang bodoh sih..! Sudah jelas aku bisa masuk ke dalam Bandara. Jika bisa masuk, itu berarti aku salah satu penumpang pesawat yang akan melakukan penerbangan pagi ini" jelas Stevin panjang lebar.
"Aku tahu kok!" ketus Elina memalingkan wajahnya ke tempat lain.
Stevin dan Elina melakukan check-in setelah itu mereka berjalan menuju ruang tunggu. Sesampainya di ruang tunggu, satu notifikasi masuk di ponsel Elina.
"Nomor baru," batin Elina. Elina membuka dan membaca isi pesan yang baru saja masuk.
"Aku tahu kamu di mana, jangan berani untuk kabur. Ingat! Kamu milikku sekarang, aku sudah membelimu, Jonathan"
Elina gemetar membaca pesan dari Jonathan. "Prof, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Elina dengan tangan yang kini gemetar.
Stevin tersenyum saat melihat perubahan wajah Elina. "Katakan" balas Stevin.
"Apa Jonathan sangat kejam?" tanya Elina serius.
"Jonathan bukan Pria yang dapat dibodohi oleh orang-orang. Dia sangat pandai dan pintar, aku rasa dia sudah tahu apa yang kamu lakukan sekarang" terang Stevin.
"Aku takut dia akan menyiksaku" ujar Elina menahan tangis. Membaca pesan dari Jonathan membuat tubuhnya serasa kaku.
Terdengar informasi untuk penumpang tujuan New York agar segerah masuk ke dalam pesawat. Stevin dan Elina berdiri dan masuk ke dalam pesawat. Tak menunggu lama, pesawat pun lepas landas. Elina masih terlihat takut, Stevin memandangi Elina yang ketakutan membuatnya merasa bersalah.
"Jangan takut, Elina. Jonathan tak sejahat yang kamu pikirkan. Percayalah padaku" kata Stevin mencoba menenangkan Elina dari rasa takutnya.
"Prof, apa yang harus aku lakukan agar Jonathan tidak marah?" tanya Elina menatap Stevin.
"Turutin apa yang dia katakan, jangan membantah apapun yang dia ucapkan. Aku yakin, di saat kamu menuruti semua yang dia katakan, dia pasti akan memberimu kebebasan" jelas Stevin.
"Terima kasih, Prof. Aku banyak berhutang budi pada Prof" kata Elina tersenyum menutup matanya sejenak. Dalam diam, Elina berkata.
"Mungkin inilah takdirku, aku harus menikah dengan pria yang tidak aku cintai"
Stevin menatap Elina yang sedari tadi memejamkan mata, rasa iba hadir dalam dirinya. "Maafkan aku Elina, bukan maksudku menakutimu" batin Stevin.
----
New York
Stevin dan Elina sampai di Bandar Udara Internasional John F. Kennedy. Keduanya sempat berbincang-bincang setelah itu mereka berpisah.
"Nona..." panggil Jivan melambaikan tangannya.
"Jivan" teriak Elina bergegas menghampiri Jivan dan Anjas.
"Ayo masuk, Nona." Jivan membukakan pintu mobil untuk Elina.
Elina masuk ke dalam mobil begitupun dengan Jivan dan Anjas. Mobil meleset pergi meninggalkan Bandar Udara Internasional John F. Kennedy. Di dalam mobil Elina terus diam. Pikirannya masih tertuju pada pesan dari Jonathan.
Jivan menatap Anjas, Anjas menggeleng menandakan bahwa ia tidak tahu apa-apa. "Nona, apa ada sesuatu yang membuat Nona tidak tenang?" tanya Anjas.
"Jonathan tahu kalau aku ke Jerman" balas Elina dengan jujur. Tubuhnya gemetar, sekali kali ia memainkan jari jemarinya.
"Sudah aku duga." Anjas mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tidak tahu jika Elina bersama Stevin di Jerman.
"Jangan membuatku takut, Anjas" kata Elina.
"Apa kamu sudah menghubungi Jonathan?" tanya Jivan.
"Aku sudah menjelaskan semuanya, tapi dia tidak membalas pesanku" jawab Elina.
"Kenapa Nona tidak membuat janji dengan Jonathan?" tanya Jivan.
"Mana berani aku!!" ketus Elina. Itu hanya alasan saja. Ia belum siap bertemu pria tua bangka yang akan menikah dengannya.
"Coba dulu, Nona. Nona tidak salah jika menghubunginya, dia calon suami Nona" ujar Anjas mencoba memberi saran pada Elina.
Elin mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan pada Jonathan. "Apa kamu punya waktu luang? Aku ingin bertemu dan menjelaskan semuanya"
Di tempat lain, Jonathan tersenyum saat membaca pesan dari wanita yang dia beli.
"Temui aku di Eleven Madison Park"
"Jam berapa?" tanya Elina
"Jam 8. Tidak boleh terlambat sekalipun hanya satu menit"
"Baik" balasan singkat dari Elina.
.
.
.
.
Bersambung.
Jangan lupa Vote dan Tap jempolnya 😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Galus tiyo
nggak salah niii.....Jonathan = steven
2021-07-12
0
Isna Apitaik Nasa
pasti namanya stevin jonathan
2021-07-06
0
Elma Theana
semangat
2021-06-09
0