Istri dan Ibu Terbaik

Sudah seminggu Mirna tinggal bersama Damar dan Chika tapi rasanya masih saja seperti orang asing. Beberapa kali Mirna diperlihatkan album foto yang memastikan kalau sudah lama ia mengenal Damar lalu pacaran dan akhirnya menikah.

Koleksi foto kehamilan Mirna bahkan hasil test pack masih tersimpan dengan baik.

Ada rasa sedih dan marah pada diri sendiri karena tidak ada sedikit pun ingatan yang nyangkut dalam memori Mirna hingga membuatnya frustasi.

“Jangan dipaksakan, aku dan Chika tidak akan pernah meninggalkanmu sekalipun ingatan tentang kami tidak pernah kembali.”

Damar duduk di samping Mirna yang sejak tadi termenung di tepi ranjang. Jemari yang dingin itu digenggam Damar erat-erat.

“Sebetulnya apa yang terjadi padaku, Mas ? Siapa yang tega membuatku jadi seperti ini ? Kenapa mereka justru menghilangkan ingatan tentang mas Damar dan Chika ?”

“Sayang, ingatanmu tidak akan hilang selamanya. Dokter Sigit dan Harry memastikan kalau semuanya pasti bisa kembali normal tapi tidak bisa cepat-cepat jadi bersabarlah, kami akan selalu ada untukmu.”

Kali ini Mirna yang berinisiatif memeluk Damar terlebih dahulu membuat pria itu tersenyum bahagia.

Meski Mirna masih sering merasa aneh dengan situasi yang dijalaninya saat ini tapi sikapnya pada Damar semakin hari makin membaik.

“Sekarang kita tidur dulu. Kamu harus cukup istirahat supaya bisa cepat pulih dan jangan terlalu memaksakan diri. Tuhan pasti punya rencana terbaik untuk kita selama kita berusaha dan pasrah kepada-Nya.”

Kepala Mirna mengangguk dalam dekapan Damar dan ia pun melerai pelukannya lalu menatap suaminya dengan wajah yang kelihatan lebih lega.

“Aku sangat mencintaimu Mirna,” ujar Damar sambil mengusap pipi istrinya.

“Terima kasih atas ketulusan cinta mas Damar dan Chika.”

Damar mengangguk, menyuruh Mirna merebahkan diri lalu menyelimutinya kemudian ia pun ikut rebahan di samping Mirna.

Posisi keduanya masih berjauhan dan Mirna bersyukur karena Damar sangat pengertian dan tidak pernah memaksanya.

***

“Mami kenapa, kok mukanya merah banget ? Mami lagi sakit ?” celoteh Chika saat mereka duduk di meja makan untuk sarapan.

“Eh… nggak apa-apa, mami cuma kepanasan habis dari dapur.”

Chika sempat mengernyit saat Mirna menggeleng dan memegangi kedua pipinya sendiri tapi bocah itu tidak bertanya lebih detil lagi karena perhatiannya sudah teralihkan dengan menu sarapan yang disiapkan oleh Mirna sendiri.

”Nasi goreng buatan mami paling top !”

Chika tersenyum lebar, mengacungkan kedua jempolnya pada Mirna yang tersenyum manis sambil mengusap kepala Chika.

“Mami nggak lupa bawain aku bekal nasi gorengnya kan ?”

“Iya, udah mami siapin.”

”Papi nggak dibawain juga ?” ledek Damar yang sejak tadi senyum-senyum menatap Mirna yang malu-malu:

“Sudah aku siapkan juga buat mas Damar,” sahut Mirna tanpa membalas tatapan Damar yang duduk persis di hadapannya.

Kalau tidak ada Chika rasanya Damar ingin terbahak dan menggoda Mirna yang hanya berani meliriknya bahkan wajah Mirna semakin merona setiap kali bertatapan dengan Damar.

Selesai sarapan seperti hari-hari kemarin Mirna ikut mengantar Chika ke sekolah lanjut ke kantor Damar. Pekerjaan Mirna di kantor Rangga seperti terlupakan begitu saja karena Damar tidak mengijinkan Mirna jauh darinya.

“Kenapa ?” tanya Damar dengan alis menaut saat melihat perubahan wajah Mirna yang kelihatan sedikit kesal usai mengantar Chika.

“Jadi gurunya Chika sudah tahu kalau aku menderita amnesia karena kecelakaan ?”

“Iya, aku sendiri yang memberitahunya. Apa mereka mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaanmu ?”

Mirna menggeleng dan melirik tangan Damar yang meraih jemarinya ke dalam genggaman pria itu.

“Ibu Sari kelihatan senang begitu mendengar Chika memanggilku mami dan dia sempat bilang akhirnya,” ujar Mirna dengan bibir mengerucut.

Damar terkekeh mellihat wajah Mirna yang ditekuk namun menggemaskan.

”Chika tidak bisa menutupi rasa bahagianya karena kamu mengantarnya ke sekolah. Kamu pasti tahu kan bagaimana ekspresifnya anak kita setiap kali mengungkapkan perasaannya.”

Mirna menghela nafas dengan raut wajah berubah sedih.

”Aku sangat malu karena dari sekian memori dalam hidupku kenapa bisa lupa pada anak kandungku sendiri,” keluh Mirna.

“Namanya kecelakaan, sesuatu yang tidak pernah kita harapkan. Percayalah kalau srlama ini kamu adalah istri dan ibu yang sangat baik, penuh perhatian dan kasih sayang hingga membuat hidupku dan Chika begitu sempurna.”

“Hhhmmmm.”

”Jangan terlalu cemas dan khawatir. Mungkin kita harus sering-sering melakukan yang semalam seperti terapi. Siapa tahu pelukanku bisa membantu mempercepat pulihnya ingatanmu.”

Mirna melotot dengan wajah merona.

“Yakin bukan Mas Damar yang memeluk duluan ?” tanya Mirna dengan mata meyipit.

“Sangat yakin ! Aku juga kaget begitu wajahmu mendusel-dusel di ketiakku lalu tangan dan kakimu….”

“Stop !” Mirna mengangkat telapak tangannya dan wajahnya kembali cemberut.

“Tidak usah detil begitu, aku masih meragukannya.”

Damar tergelak, satu tangannya mengacak pucuk kepala Mirna dengan gemas.

“Mungkin setelah beberapa hari tidur di ranjang kita, sedikit memorimu mulai mengingat wangi tubuhku karena kalau hatimu sedang gelisah, kamu selalu melakukan hal yang sama seperti semalam. Aku pernah bertanya alasannya, kamu bilang esngi tubuhku membuat hatimu jadi tenang.”

Entah kenapa kali ini Mirna tidak membantah meski tidak juga mengiyakan.

“I love you Mirna,” ujar Damar sambil mengusap kepala istrinya dengan senyuman penuh cinta.

**

Mirna kelihatan gelisah sambil menunggu Damar di ruangannya. Pria itu sedang rapat internal dan rencananya siang ini lanjut bertemu klien di luar kantor sekalian makan siang tanpa mengajak Mirna.

Jantung Mirna tambah berdebar saat Damar masuk dan tersenyum kepadanya.

“Kamu kenapa ?” tanya Damar dengan perasaan khawatir.

“Eh, tidak apa-apa. Aku…. Aku mau keluar makan siang dengan Dewi, apa boleh ?”

Damar tertawa renyah dan menarik Mirna ke dalam pelukannya.

”Tentu saja boleh. Aku akan siapkan sopir untuk mengantarmu.”

“Tidak usah !” tolak Mirna sambil melerai pelukan Damar.

Kedua alis Damar bertaut dan menatap istrinya yang kelihatan agak kikuk.

“Keluar makannya hanya dekat-dekat sini, kebetulan Dewi sedang cuti.”

“Oooo, oke.” Damar mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kalau begitu aku bisa mengantarmu sekalian aku keluar.”

“Hhhmmm,” gantian Mirna yang menganggukkan kepala.

Tidak sampai 20 menit, sambil bergandengan tangan keduanya turun ke lobi dimana asisten Damar sudah menunggu di samping mobil.

Mirna sempat risih saat Damar pertama kali menggandengnya masuk ke kantor karena merasa jadi pusat perhatian karyawan tapi setelah beberapa hari akhirnya ia mulai terbiasa.

(MIRNA) Wi, gue udah otw.

(DEWI) Elo yakin Damar nggak akan curiga ? Apalagi sekarang suami lo makin posesif.

(MIRNA) Aman, kan hari ini elo memang cuti

(DEWI) Yasud lah kalau gitu. Jangan sampai gue langsung dapat surat PHK dari kak Rangga.

“Kamu kenapa senyum-senyum gitu ? Lagi chatting sama siapa ?”

Pertanyaan Damar membuat fokus Mirna pada handphonenya langsung buyar. Ternyata tanpa sadar ia tersenyum saat membaca pesan terakhir Dewi.

”Lagi chat sama Dewi, kasih tahu kalau aku sudah otw di antar Mas Damar.”

“Oooh,” Damar mengangguk-angguk.

Tidak lama mobil berhenti di depan sebuah restoran.

“Jangan lupa kabari aku kalau sudah selesai,” pesan Damar sebelum Mirna turun.

“Iya. Terima kasih sudah diantar.”

“Hhhmmm.”

Mata Damar membola saat Mirna mencium pipinya meski hanya sekilas sebelum turun dan bergegas masuk ke restoran usai menutup pintu mobil.

Tangan Damar menyentuh pipinya yang terasa panas sambil senyum-senyum.

Ternyata kebiasaanmu mulai muncul lagi dengan sendirinya, batin Damar.

Terpopuler

Comments

Herman Lim

Herman Lim

lanjut Thor semangat utk up ❤️

2025-03-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!