Papi Nggak Repot

Baru juga Mirna kerja sehari, Rangga mendadak harus pergi ke Surabaya entah sampai berapa lama. Mirna pikir Damar ikut menemani ternyata pria itu malah dipercaya menjaganya selama Rangga tidak ada.

Ibarat pepatah pucuk dicinta ulam tina, Damar langsung menyanggupi tanpa mengambil waktu untuk berpikir bahkan Chika yang duduk satu meja saat sarapan ikut bersorak kegirangan.

Mirna hanya bisa menghela nafas karena menolak perintah Rangga berarti ia harus siap mengundurkan diri.

“Tante Mirna.”

“Ya,” sahut Mirna sambil menoleh ke belakang

Ketiganya sudah berada di dalam perjalanan menuju sekolah Chika.

“Chika senang deh tante ikut antar Chika ke sekolah, apalagi kalau bisa tiap hari, nggak cuma pas om Rangga pergi.”

Damar menoleh ke samping sambil menutup mulutnya yang menahan senyum begitu melihat mata Mirna sempat membola sebelum bibirnya senyum terpaksa.

“Tante juga senang tapi nggak bisa seterusnya.”

“Kenapa ?” Chika mengerutkan dahi sambil maju ke depan supaya posisinya berada di antara kedua kursi depan.

“Om Rangga bilang tante boleh ikut papi setiap hari.”

Mirna melirik Damar yang diam dan fokus menatap ke jalan raya padahal telinganya mendengar jelas semua percakapan Mirna dengan putrinya.

“Kantor tante dan papinya Chika beda arah, nanti ngerepotin papi kalau tante ikut setiap hari.”

“Papi pasti nggak merasa direpotin kok, iya kan Pi ?”

“Iya, papi juga senang kayak Chika kalau tante ikut tiap hari.”

“Tuh kan tante dengar sendiri.”

Chika tertawa apalagi saat Damar mengajaknya tos sementara Mirna ingin mengomel tapi bibirnya malah tersenyum.

Kenapa ayah dan anak ini kompak banget sih ? Udah gitu bisa-bisanya Mas Rangga bilang nggak masalah kalau aku mau bareng sama Damar tiap hari. Huuffttt !

“Gimana tante, mau ya ?”

“Tante boleh pikir-pikir dulu ?”

Damar hanya terkekeh saat matanya berpandangan pada Mirna yang sempat mendelik.

“Boleh,” Chika mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tidak lama, mobil Damar memasuki pelataran sekolah yang mulai dipadati kendaraan roda dua dan empat bahkan sampai membentuk antrian.

Tanpa diperintah, Chika pun bersiap-siap, menyandandang tas ranselnya dan bergeser mendekati pintu persis di belakang Mirna.

“Papi, tante, Chika sekolah dulu ya.”

Mirna menatap Damar dengan dahi berkerut, seakan bertanya apa yang harus ia lakukan tapi Damar hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

Begitu mobil Damar berhenti dalam antrian di depan gerbang kecil bertuliskan TK Darma Bangsa, Chika membuka pintu mobil.

“Bye bye papi, bye bye tante Mirna.”

Entah apa yang membuat Mirna spontan ikut membuka pintu mobil dan turun bahkan ia langsung menggandeng jemari mungil Chika.

“Kok tante turun ?” Chika tampak bingung.

“Tante pingin anter Chika masuk sekolah, boleh ?”

Wajah polos itu langsung berbinar, tersenyum lebar sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tante mau kenalan sama Bu Sari, wali kelasnya Chika ?”

Belum sempat Mirna menjawab, Chika menariknya masuk ke area pengantaran yang sudah dipenuhi para orangtua murid atau pengasuh anak.

Chika mengabaikan sapaan teman-temannya, menerobos kerumunan sampai akhirnya tiba di depan seorang wanita memakai seragam batik.

“Selamat pagi Bu Sari.” Chika menyapa sambil membungkukkan badannya sekilas.

“Selamat pagi Chika.”

Wanita yang dipanggil ibu Sari itu bersalaman dengan Chika lalu gantian menyapa Mirna.

“Selamat pagi Bu.”

Mirna tersenyum canggung saat bersalaman sambil membalas sapaan bu sari. Mirna bingung harus memperkenalkan diri sebagai siapanya Chika meskipun ibu Sari tidak bertanya.

Rasanya lega saat mendengar suara Damar di belakangnya menyapa ibu Sari yang membalasnya sambil menyebut nama Damar.

Percakapan tidak berlanjut karena suara bel tanda masuk berbunyi.

Damar sempat menggendong Chika, berpelukan dan mencium kedua pipi putrinya. Tidak lupa Chika juga mencium pipi Damar bahkan Mirna juga kebagian.

Begitu Chika sudah masuk barisan, tanpa protes Mirna membiarkan Damar menggenggam jemarinya, membawa Mirna melewati kerumunan para pengantar.

Merasa semua orang menatap ke arahnya, Mirna pun semakin menempel dan bersembunyi di balik lengan Damar yang kekar.

“Terima kasih sudah mengantarkan Chika,” ujar Damar saat keduanya sudah kembali ke mobil.

“Apa setiap hari Chika turun sendirian ?”

“Tergantung kondisi parkiran mobil. Kalau kesiangan seperti tadi, Chika terpaksa turun sendiri.”

Mirna terdiam, hatinya iba memikirkan situasi yang harus dijalani Chika.

“Apa maminya Chika sudah lama sakit ?”

Damar cukup terkejut mendengar pertanyaan Mirna. Diliriknya wanita itu dari spion tengah.

“Belum lama tapi kondisinya tidak memungkinkan untuk menemani Chika.”

“Apa kondisinya parah ? Kak Rangga bilang kemungkinan sembuhnya hanya 10%. Apa tidak ada cara untuk mengobatinya ?”

Damar tidak langsung menjawab, mobilnya sudah kembali melaju di jalan raya.

Mirna menoleh, menatap Damar yang sedang mengusap dagunya dengan tangan yang bertopang di pintu.

“Maaf kalau saya terlalu kepo. Saya hanya kasihan melihat Chika.”

“”Nggak apa-apa, aku malah senang karena kamu peduli pada Chika tapi aku tidak yakin kamu siap mendengarkan cerita tentang kondisi istriku.”

“Maaf, maaf. Saya nggak bermaksud mencampuri urusan pribadi bapak.”

Mobil berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah.

“Bisakah jangan memanggilku bapak di luar kantor ? Aku sahabat kakakmu dan tetangga orangtuamu jadi tolong panggil aku kakak atau mas juga boleh.”

Mata Mirna membola karena jemari Damar sempat menggenggam tangannya yang ada di atas jok mobil.

Merasakan hangatnya tangan Damar, wajah Mirna mulai terasa panas bahkan pipinya sambil merona.

“Saya takut lupa membedakan saat di kantor dan di rumah.”

“Kalau nggak dicoba mana tahu,” ledek Damar menertawakan tingkah Mirna yang malu-malu.

Mirna terdiam sejenak dengan posisi kepala menunduk memperhatikan genggaman Damar yang terlepas karena lampu lalu lintas sudah berganti hijau.

“Aku harus ke kantorku sebentar, ada rapat internal. Kamu tunggu saja di ruanganku.”

“Eh saya…”

“Tidak usah berpikir macam-macam. Aku yakin Rangga tidak keberatan apalagi kamu sekretaris pribadiku jadi tidak masalah kalau ikut menemani kemanapun aku membutuhkanmu.”

Mirna tidak langsung membantah seperti biasa karena degup jantungnya tidak karuan.

Damar tidak melanjutkan percakapan sampai akhirnya mobil berhenti di depan bangunan ruko empat lantai.

“Ayo turun ! Ini kantorku sendiri.”

Mirna buru-buru melepas sabuk pengamannya dan turun dari mobil.

“Jalan di sampingku jangan di belakang !” perintah Damar dengan suara lebih tegas.

Mirna menurut tapi kepalanya tidak berani terlalu tegak dan ikut mengangguk saat beberapa karyawan menyapa Damar dan tersenyum padanya.

Keduanya naik ke lantai 4 menggunakan satu-satunya lift yang ada di belakang meja resepsionis.

Begitu pintu lift terbuka, mata Mirna membola melihat sosok Anita sudah berdiri, seperti sedang menunggu kedatangan Damar.

“Mbak Nita !” pekik Mirna, terlihat senang bertemu dengan orang yang dikenalnya sementara Anita malah kelihatan kaget.

“Kamu ke sini juga ?”

Anita melirik Damar yang menatap tajam ke arahnya, seperti tidak suka dengan pertanyaannya pada Mirna.

“Senang bisa ketemu kamu di sini,” ralat Anita.

Damar berjalan duluan diikuti Anita dan Mirna menuju ruangan pria itu.

“Jadi mbak pindah kerja sama pak Damar ?” bisik Mirna sambil senyum-senyum.

Anita hanya mengangguk saat mendengar Damar berdehem.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!