ANAK MAFIA TERLALU MENYUKAIKU
San Fransisco, Sunday 16:45
Netra hazzel dari gadis berambut ikal panjang itu terus memandangi langit yang sedang menumpahkan buliran airnya ke tanah. Cuaca begitu muram di luar sana bahkan ketika ia berada dalam ruangan saat ini. Seharian hujan turun membuat cuaca cukup dingin dan mengganggu berbagai aktivitas orang-orang di luar sana.
"Mungkin lebih baik kau pulang saja duluan, Lili. Istirahat, bukankah besok kau kembali bekerja? Bisa kau lihat tidak banyak orang yang akan datang karena hujan, jadi tidak perlu membantu," ucap pria paruh baya dengan pakaian koki dari balik konter dimana aktivitas memasak dilakukan.
"Baiklah, aku akan pulang sekarang," gadis itu berkata seraya berjalan menuju ke sang pria paruh baya. "Jangan pulang terlalu larut. Love You, Dad," sambungnya yang mencium pipi pria berpakaian koki tersebut.
"Love you too, Sweetheart. Payungmu jangan lupa," balas sang ayah.
Gadis bernama Lili itu memberikan sinyal 'oke' menggunakan jarinya, kemudian mengambil tas selempang dan juga payung dari tempatnya di dekat pintu masuk.
Lili beranjak keluar dari restoran sederhana tersebut setelah melambai kepada sang ayah. Menghela napas keras ketika melihat cuaca sepertinya akan terus hujan seperti ini hingga waktu lama, mungkin sampai pagi. Ia tidak terlalu senang dengan jalanan yang basah, karena sering sekali membuatnya kehilangan keseimbangan dan berakhir memalukan diri sendiri dengan terjatuh. Ia harap hari ini dirinya akan baik-baik saja.
Namun ketika Lili membuka payungnya dan hendak bergegas pulang, kakinya terhenti hanya dalam dua langkah, ketika netranya menangkap sesuatu yang mengejutkan dirinya.
Anak laki-laki yang ia kira berusia sekitar lima atau enam tahunan tengah duduk memeluk kaki di bawah guyuran hujan tak jauh dari pintu masuk. Wajahnya pucat karena kedinginan. Bahkan Lili bisa merasakan ketakutan dalam paras bocah laki-laki tersebut.
"Oh God, apa yang kau lakukan di sini, Adik Kecil." Lili dengan cepat mendatangi bocah tersebut, berjongkok dan memayungi bocah berambut hitam legam tersebut.
Bocah itu meringkuk ketakutan, setengah menangis walau tak terlalu kentara karena air hujan membasahi wajahnya.
Lili bisa melihat tubuh bocah itu gemetar karena takut, meringkuk seolah melindungi tubuh kecilnya dari Lili. Mungkin waspada terhadap Lili sebagai orang yang tidak bocah itu kenal. Dahi sang gadis mengerut melihat gerakan tak biasa dari bocah itu, jelas kalau sesuatu terjadi padanya.
"Hei, jangan takut. Aku bukan orang jahat. Namaku Lili," kata Lili dengan nada selembut beledu, merekahkan senyum hangat agar bocah di depannya ini tidak ketakutan.
Perlahan bocah berambut legam tersebut melihat ke arah Lili, mencoba menilai sang gadis apakah sungguh baik atau justru sebaliknya. Dan sebuah anggukan menjadi jawaban dari bocah itu, menandakan kalau ia tidak merasakan sesuatu yang berbahaya dari Lili. Beberapa kali ia mencuri pandang untuk melihat sosok sang gadis yang duduk kehujanan di depannya, sedangkan payung di tangan sang gadis justru digunakan untuk melindungi sang bocah dari guyuran hujan tak berkesudahan.
"Ikut aku ke dalam sana mau? Di sini dingin, dan kau bisa sakit kalau terus di sini. Tenang saja, ini restoran ayahku. Bagaimana, kau mau?" bujuk Lili tanpa mengubah nada suaranya. Mana tega ia meninggalkan bocah kecil ini sendirian di bawah hujan dengan tubuh yang telah memucat karena kedinginan.
Sebuah anggukan dari sang bocah membuat Lili tersenyum lebih lebar. Senang karena ia mendapati kalau bocah ini mudah diajak bicara walau masih kecil. Mungkin insting sang bocah juga yang membutuhkan tempat hangat dan aman hingga membuatnya mau menerima bantuan dari orang asing seperti Lili.
"Bisa jalan?" tanya Lili.
Gelengan kepala bocah itu lakukan.
Mengerti dengan situasinya, Lili mengangkat perlahan sang bocah dari tempatnya duduk dan menggendongnya dengan mantab seolah ia terbiasa melakukan hal tersebut. Tak banyak bicara, Lili kembali masuk ke restoran yang belum ada sepuluh menit ia tinggalkan.
"Selamat datang. Lili? Kenapa kembali, ada yang terting-" ucapan sang ayah terpotong ketika pria paruh baya itu melihat sosok bocah kecil dalam gendongan anak gadisnya.
"Ayah, aku menemukannya di depan. Dia duduk sendirian di bawah hujan jadi aku membawanya ke sini," jelas Lili.
"Astaga, bagaimana bisa anak sekecil ini di luar sendirian kehujanan." Pria paruh baya bernama Robert Larossa itu segera berlari kecil menuju ke Lili untuk melihat bocah lelaki di tangan anak gadisnya tersebut.
"Aku sendiri tidak tahu. Kurasa tersesat atau buruknya kehilangan orang tuanya ketika di jalan. Dia sangat ketakutan dan kedinginan, sepertinya sudah lama di luar," duga Lili seraya mengelus punggung bocah tersebut.
Robert berlari ke ruangan lain dan keluar tidak lama kemudian dengan sebuah handuk di tangan. Miliknya yang ia taruh di ruang ganti bersama barang-barang lainnya. Dengan cepat ia menyelimuti tubuh bocah tersebut, membuatnya hangat. Bisa ia rasakan ketika tangannya bersentuhan dengan kulit sang bocah, dingin seperti es. Menandakan kalau bocah itu telah lama di bawah hujan di luar sana.
"Bagaimana kalau aku membawanya pulang, Dad? Kasihan dia kalau ditinggal di sini, dan kalau lapor polisi cuaca juga sedang hujan. Jika ada orang tuanya yang mencari sekitar sini, kau bisa meneleponku nanti," pinta Lili yang tidak tega melihat kondisi sang bocah dalam gendongannya.
Awalnya Robert ingin berkata tidak, namun ia tahu dengan jelas bagaimana putrinya itu jika menyangkut soal anak-anak. Dan akan bisa sangat keras kepala jika Robert menolak keinginan sang putri semata wayangnya itu jika menolak membantu bocah di gendongannya.
"Baiklah. Kau bisa mengurusnya di rumah. Aku akan memberitahumu jika ada kabar apa pun mengenai anak hilang," kata Robert akhirnya.
"Terima kasih, Dad." Senyum merekah indah di wajah gadis itu ketika ia mendapatkan izin dengan mudah untuk membawa bocah kecil tersebut untuk pulang. Tentu ia tidak bisa meninggalkan bocah sekecil itu yang ketakutan dan kedinginan di restoran dan harus diinterogasi oleh polisi.
Setelah itu, Lili langsung bergegas untuk pulang. Ia berjalan menuju ke parkiran restoran dan masuk ke dalam mobil SUV miliknya, menempatkan bocah itu di kursi penumpang dan memakaikan sabuk pengaman dengan tepat. Buru-buru ia berlari ke kursi pengemudi dan menaikinya, menghidupkan mesin dan juga penghangat demi sang bocah.
"Kid, ke rumah aunty, ya. Kita pulang, ganti pakaian, dan makan di sana, kau mau?" Lagi, Lili bertanya kepada bocah itu, tidak ingin egois jika bocah itu tidak menginginkannya mengingat Lili hanyalah orang asing baginya.
Namun anggukan dari kepala sang bocah melegakan hati Lili. Ia segera mengemudikan mobilnya kemudian melesat ke jalanan menembus hujan. Sesekali ia melihat ke arah sang bocah, memerhatikan kondisinya yang masih dalam balutan handuk. Terlihat sekali raut tidak tenang, dan lelah di paras sang bocah. Berpikir bagaimana bisa anak sekecil itu sendirian di luar dalam hantaman hujan.
...***...
San Fransisco, Sunday 17:30
Pintu kayu besar yang terbuka dalam sebuah rumah besar dengan arsitektur modern, kini menampakan sosok setinggi seratus depan puluhan sentimeter, dalam balutan jas yang tak dikancingkan, serta dasi yang tak lagi rapih. Raut wajah yang ditunjukan membuat siapa pun tahu kalau pria tersebut sedang murka. Bahkan ketika ia diam, tatapan matanya sanggup membuat orang di sekitarnya tak berani sekedar mengangkat kepala untuk melihat sosok tersebut.
"Rion, sepertinya Lucas melarikan diri dari para penculik. Mobil Van yang menculik Lucas siang tadi telah ditemukan dan para penculiknya sudah diamankan. Dan kata mereka Lucas berlari ketika mereka sedang mengeluarkan barang dari dalam mobil di Baverlly Hill Street. Sampai sekarang Lucas tidak ditemukan dimana pun," jelas pria berkemeja hitam dengan lengan baju di gulung hingga siku.
"Sial! Tidak peduli bagaimanapun caranya temukan Lucas sekarang juga, Dante. Turunkan semua orang untuk mencarinya, tanyakan pada orang di sekitar daerah tempatnya menghilang. SEKARANG!" perintah pria bernama Rion tersebut. Seolah amarahnya tak lagi terbendung setelah mendengar anaknya diculik dan kali ini menghilang entah kemana tanpa ada yang tahu.
"Baik," sahut pria bernama Dante yang segera beranjak pergi dari ruang kerja Rion. Tak ingin membuang banyak waktu, terutama ketika atasannya itu sedang murka.
Rion menjatuhkan dirinya ke kursi kulit di balik meja kerja yang penuh dengan berkas. Ia menyurukkan tangan ke rambut, dan mengusap wajahnya dengan keras, frustrasi karena ketiadaan anaknya yang entah ada dimana.
Matanya terus melihat ke luar jendela yang basah karena hujan. Pikiran buruk bermain di kepala mengenai keadaan bocah kesayangannya di luar sana. Sendirian, dalam keadaan hujan. Takut kalau anaknya bertemu dengan orang jahat dan melakukan tindakan tak diinginkan. Agh, memikirkannya saja sudah membuat seorang Rion takut.
"Kumohon, tetaplah selamat di luar sana, Nak," ucap Rion, berdoa akan keselamatan bocah lima tahun yang merupakan anaknya bernama, Lucas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Aerik_chan
kak yuk saling support
2025-01-25
0
Aerik_chan
anakmu selamat kok bang
2025-01-25
0