NERD Bertahan Hidup Di Dunia Yang Hancur Dengan Sistem Player Store

NERD Bertahan Hidup Di Dunia Yang Hancur Dengan Sistem Player Store

Perundungan

Kegelapan menyelimuti dunia, menutupi setiap sudut cakrawala. Dari celah dimensi, makhluk-makhluk mengerikan bermunculan, membawa kehancuran yang tak terhindarkan.

Banyak yang menyebut hari itu sebagai akhir zaman, saat umat manusia nyaris tak mampu bertahan. Namun, di tengah keputusasaan yang melanda, para dewa turun tangan. Mereka menawarkan bantuan, bukan karena belas kasihan, melainkan untuk hiburan mereka sendiri, menikmati penderitaan manusia yang terus berjuang.

Para dewa memberi manusia kekuatan, kemampuan luar biasa untuk melawan monster dari dimensi lain. Dengan kekuatan itu, pertempuran besar pun dimulai menandai perjuangan panjang untuk merebut kembali bumi dari cengkeraman makhluk kegelapan. Selama dua dekade, umat manusia berjuang tanpa henti, menumpahkan darah dan air mata demi kembali berdiri di tanah mereka sendiri.

Di tengah perjuangan itu, lahirlah para pahlawan. Di antara mereka, ada satu sosok yang bersinar paling terang. Dia adalah simbol harapan, seorang pejuang dengan kekuatan besar yang mampu memusnahkan ribuan monster hanya dengan satu serangan. Kepemimpinannya yang luar biasa menginspirasi ribuan prajurit untuk bangkit melawan. Dia adalah legenda, seorang pejuang terhebat yang namanya diabadikan dalam sejarah.

Namun, di balik cahaya yang gemilang itu, bayangan gelap terus mengintai. Ketenerannya memicu rasa iri dan dendam dari mereka yang merasa lebih layak berada di puncak. Kebencian menggerogoti hati mereka yang lemah namun sombong, hingga menyatu menjadi sebuah rencana jahat.

Konspirasi licik itu akhirnya memadamkan cahaya harapan umat manusia. Sang pahlawan jatuh, dan dengan kejatuhannya, dunia kembali dilanda kekacauan. Kegelapan yang dulu hampir sirna kini kembali melingkupi bumi, dan kerusakan yang ditinggalkannya tak mungkin lagi dapat diperbaiki.

***

Pintu toilet terbuka dengan kasar. Tiga gadis berpenampilan mewah menyeret seorang gadis berkacamata yang tampak sederhana.

"Natasya, kumohon lepaskan aku. Apa salahku hingga kalian memperlakukanku seperti ini?" gadis itu merintih, tangisnya pecah sambil menahan sakit dari rambutnya yang terus ditarik dengan kasar.

Ketiga gadis itu hanya tertawa sinis mendengar permohonan putus asa korbannya.

Natasya, pemimpin dari kelompok itu, menjawab dengan sebuah tamparan keras di wajah gadis malang itu, hingga kacamatanya yang sudah retak terlempar ke lantai. Pipi korban memerah dan berdarah akibat tamparan tersebut, membuatnya tersungkur tak berdaya.

Gina dan Vera, teman Natasya, bergantian menendang perut gadis itu. Korban hanya bisa meringkuk di lantai, tubuhnya gemetar, sementara mereka terus menghujani tubuhnya dengan kekerasan. Tawa puas mereka menggema di ruangan sempit itu, bercampur dengan rintihan kesakitan dari korban mereka.

Natasya kembali mencengkeram rambut gadis itu, memaksanya menengadah. Wajah yang penuh luka lebam dan darah itu dipandangnya dengan tatapan penuh penghinaan. “Kesalahanmu adalah karena berani menunjukkan wajah culun seperti ini di sekolah kami,” ucapnya dingin, sebelum menyeret gadis itu ke salah satu bilik toilet.

Dengan air mata bercucuran, korban memohon belas kasihan. Namun Natasya hanya tersenyum dingin sebelum mendorong kepala gadis itu ke dalam lubang kloset. Korban panik, berusaha mengangkat kepalanya yang terendam air, tetapi Gina dan Vera dengan cekatan membantu menekan tubuhnya lebih dalam.

"Tepat di sinilah tempatmu berada!" Natasya tertawa, diikuti oleh kedua temannya.

Gadis itu berjuang sekuat tenaga, tangannya meronta dan kakinya memberontak. Namun perlahan, tenaganya mulai habis. Kepakan tangannya melemah, dan tubuhnya akhirnya lunglai, tak bergerak lagi.

Melihat korban tak lagi melawan, tawa ketiga gadis itu semakin keras, seolah mereka tak merasa bersalah sedikit pun. Tidak ada ketakutan di wajah mereka, hanya kepuasan. Mereka tahu, gadis itu tidak punya siapa-siapa, dan jika pun masalah ini terungkap, kekayaan orang tua mereka akan dengan mudah menyelesaikan segalanya.

Ketiganya berpikir jika bisa melakukan apapun yang mereka inginkan pada gadis itu.

***

Jari itu mulai bergerak, berkedut pelan, menunjukkan kehidupan. Detik berikutnya, gadis itu mengangkat kepalanya dari dalam kloset, terengah-engah, berusaha memenuhi paru-parunya dengan udara segar.

Dengan tubuh lemah, ia terjatuh di samping kloset, napasnya tersengal-sengal. Matanya yang masih kebingungan menatap kosong ke langit-langit.

"Apa yang... sebenarnya terjadi?" gumamnya dengan suara bergetar, mencoba memahami situasinya. Perlahan, dia bangkit meski seluruh tubuhnya terasa sakit. Dengan hati-hati, dia memeriksa tubuhnya. “Rasanya tubuhku remuk, tapi... tidak ada luka serius,” bisiknya heran.

Tiba-tiba, rasa sakit menusuk kepala menyerangnya, memaksanya kembali duduk di atas kloset. Dia mengerang kesakitan sambil memegangi kepalanya yang seperti hendak pecah.

"Apa yang terjadi padaku? Sebelumnya aku... hampir mati... aku diserang dari belakang, dikhianati dan kemudian..." Pikiran itu terlalu kabur, membuatnya semakin kebingungan. Sakit kepala yang tajam membuatnya sulit berpikir jernih.

Saat itu, pintu bilik terbuka lebar. Natasya berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi sinis. "Oh, kau sudah bangun? Hebat juga, rupanya tubuhmu cukup kuat," ucap Natasya dengan senyum mengejek, mendekat dengan langkah arogan. "Tubuhmu sangat cocok untuk dijadikan samsak tinju."

Namun, gadis yang baru bangkit itu hanya diam, menatapnya kosong. Sikap tenang itu membuat Natasya kehilangan kesabaran. Dengan penuh amarah, dia mengayunkan tangannya ke arah gadis itu.

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi gadis itu, membuatnya terkejut dan membuka matanya lebar-lebar. Dia mengangkat tangannya, menyentuh pipinya yang terasa panas dan sakit. "A... Apa itu tadi?" gumamnya, bingung dengan apa yang baru saja terjadi.

Diamnya gadis itu semakin memicu kemarahan Natasya. Wajahnya memerah penuh emosi, dan dia segera mengulurkan tangan untuk menarik rambut gadis itu sekali lagi. Namun sebelum tangannya sempat menyentuh rambut korban, terdengar suara keras yang memecah keheningan.

Braak!

Gina, yang masih sibuk merias wajah di depan cermin, terkejut hingga menggores lipstiknya ke pipi. "Hei, Natasya, apa yang kau lakukan? Jangan bilang kau benar-benar memecahkan kepala si culun itu di kloset!" katanya dengan nada mengejek.

Vera, yang berdiri di sampingnya, tertawa terbahak-bahak. "Ahahaha! Aku ingin lihat isi otaknya berhamburan. Pasti lucu sekali," ujarnya, seperti seorang psikopat yang menikmati penderitaan orang lain.

Namun, tawa mereka tiba-tiba terhenti. Melalui pantulan cermin, mereka melihat sesuatu yang tidak mereka duga, Natasya yang dikira sedang menyiksa, justru sedang dicekik oleh gadis yang mereka bully. Mata gadis itu bersinar dengan amarah yang dingin, berbeda dari sebelumnya.

Kaki Natasya mulai berayun saat lehernya terus diangkat. "Apa kau siap untuk mati?" Tanya gadis itu pada Natasya yang kesulitan bernafas.

Dalam hitungan detik, Natasya dilempar dengan kekuatan luar biasa, tubuhnya menghantam cermin besar di hadapan Gina dan Vera, memecahkannya menjadi serpihan.

Gadis itu melangkah keluar dari bilik toilet dengan penampilan kusut, tetapi auranya benar-benar berbeda. Dari tubuhnya memancar aura mengintimidasi, membuat Gina dan Vera diam kesulitan mencerna situasi.

***

"Gadis bodoh! Apa kau sudah gila hingga berani menyerang Natasya?" bentak Gina sambil berjalan cepat ke arah gadis itu, amarah jelas terpancar di wajahnya.

Namun, gadis itu hanya berdiri diam, menatap pantulan dirinya di cermin yang retak. Tatapan kosongnya membuat Gina semakin geram.

"Ahahaha! Kali ini kau benar-benar mati," ejek Vera sambil tertawa puas, menganggap gadis itu menyadari kesalahannya yang fatal.

Gina mengayunkan tangannya untuk menampar, tapi sebelum tamparan itu mengenai, sebuah pukulan keras melayang terlebih dahulu, mendarat tepat di wajahnya.

Bam!

Pukulan itu begitu kuat hingga Gina terhuyung mundur, kepalanya menghantam kaca di belakangnya. Tubuhnya terjatuh ke lantai, dengan darah mengalir dari hidungnya dan beberapa gigi yang rontok.

Vera tertegun, tawanya langsung terhenti. Dia memandang tak percaya ke arah Gina yang tersungkur, lalu kembali menatap gadis yang mereka bully.

Dengan langkah tenang, gadis itu berjalan mendekati Vera, berdiri tepat di sampingnya. Matanya kembali tertuju pada cermin retak, menatap wajah babak belur yang terpampang di sana. Namun, ada sesuatu yang aneh di balik bayangan itu—wajahnya tampak jauh lebih muda daripada seharusnya.

"Tahun berapa sekarang?" tanyanya tiba-tiba, tanpa menoleh sedikit pun.

"Hah?" Vera hanya terpaku, masih terlalu terkejut untuk mencerna pertanyaan itu.

"Aku tanya, tahun berapa sekarang?" Gadis itu mengulang pertanyaannya, kali ini dengan nada lebih santai, seolah tidak peduli dengan keheningan yang mengisi ruangan.

Dia merapikan seragamnya yang kusut, pandangannya turun ke arah tanda nama di dadanya. Tertulis di sana, *Sekar Lestari.*

"H-he... HAAA!" Vera yang akhirnya tersadar, menjerit panik.

Namun, sebelum Vera sempat melarikan diri, Sekar mencengkeram kepalanya dengan erat dan menghantamkannya ke cermin.

Crash!

Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali, hingga serpihan kaca menusuk wajah Vera, meninggalkan luka yang mengerikan. Darah mengalir deras, dan hanya erangan kesakitan yang keluar dari mulut Vera.

"Aku hanya bertanya tahun berapa, tapi kau malah seperti orang gila," ucap Sekar dingin, lalu melempar tubuh Vera yang tak berdaya seperti membuang sampah.

Sekar kemudian beralih ke Natasya, yang masih tergeletak tak sadarkan diri. Dengan tenang, dia menginjak kaki gadis pirang itu dengan kekuatan penuh.

Krakk!

Suara retakan tulang terdengar jelas, membangunkan Natasya dari pingsannya. Gadis itu menjerit kesakitan, tangisnya pecah saat rasa nyeri yang luar biasa menjalar dari kakinya yang kini terlihat bengkak dan patah.

Natasya memandang Sekar yang berdiri di depannya dengan wajah tanpa ekspresi, namun dingin dan mengintimidasi. Ketakutan menguasai dirinya, tubuhnya bergetar hebat.

"K-Kau... Kau tahu siapa aku? Ayahku... Ayahku tidak akan—"

Sebelum dia menyelesaikan ancamannya, Sekar sudah mengayunkan kakinya, menendang wajah Natasya.

Sekar tidak berhenti di sana. Dia terus menginjak-injak wajah Natasya tanpa belas kasihan. Tangisan dan ancaman dari Natasya perlahan berubah menjadi jeritan penuh permohonan.

Namun, Sekar tidak menghiraukannya. Dia hanya terus menginjak wajah gadis itu, hingga kulit wajahnya mulai terkelupas, darah bercipratan mengotori sepatunya. Suasana yang semula dipenuhi tawa kini berubah menjadi pemandangan horor yang mencekam.

"Sekarang giliranmu..." Sekar berjalan tenang ke arah Gina sejak tadi pura-pura pingsan. Gadis itu merinding ketakutan, menyadari nasibnya akan berakhir sama seperti dua temannya.

Gina hendak memohon tapi tatapan dingin gadis yang selalu ia buly membuatnya terdiam.

"Apa saat aku meminta kalian berhenti menyiksaku, kalian melakukan?"

Gina mulai menangis tersedu-sedu.

"Kelian justru merasa senang dan melukaiku lebih parah, karena kalian menyukai melihatku menderita." Sekar membersihkan potongan kulit yang menempel di sepatunya. "Jadi kenapa aku harus berhenti menyiksa kalian saat aku merasa terhibur melakukannya?."

Gina berusaha lari, namun Sekar melempar pecahan kaca yang langsung menembus pahanya.

Gina terjatuh karena luka di kakinya, dia merangkak ketakutan melihat Sekar yang berjalan tenang mendekatinya dari belakang.

"Ini adalah keberuntunganku karena diberikan kesempatan untuk membalaskan dendam ku pada kalian secara langsung."

Sekar menarik rambut Gina dan dengan kuat membenturkannya ke wastafel hingga fasilitas itu hancur.

Tidak cukup satu kali, Sekar terus membenturkannya wajah Gina ke tembok hingga wajah gadis itu rusak parah seperti dua temannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!