02. Melupakan mu

* * *

Author POV

Sudah satu bulan sejak kecelakaan yang di alami oleh Riyan. Sejak saat itu Riyan koma, dan tak sadarkan diri selama satu bulan.

Orang tua Riyan selalu menemaninya sejak kejadian itu. Bahkan,  sudah sejak satu minggu yang lalu Arfen dan yang lainnya menjenguk Riyan,  termasuk Vania.

Jessy, teman Riyan juga di rawat. Namun,  keadaannya tidak separah keadaan Riyan. Dia luka,  dan sudah tiga minggu lalu sadar. Bahkan,  minggu depan Jesay juga sudah bisa keluar rumah sakit.

Namun,  karna masalah Ujian,  Vania harus kembali hari ini. Bersama Regata, Melia,  Raisa,  dan Nando. Mereka juga akan menghadapi ujian.

Vania menatap sendu, pria yang biasanya bermulut recok, kini diam tak berdaya di depannya. Di kelilingi berbagai macam alat rumah sakit, yang Vania tidak kenali.

"Om galak cepat sembuh yah, " Vania menggenggam tangan Riyan erat. Menyisahkan tetesan air mata di sana. Matanya tak kuasa lagi menahan bulir hangat itu.

"Vania rindu, " Tambahnya memeluk tubuh Riyan.

Vania melihat jam hitam yang melingkar manis di pergelangan tangannya yang putih.

"Udah saatnya. Maaf yah Om,  Vania harus pulang sekarang. Dadah~ Semoga cepat sembuh. " Vania mengecup lembut kening pria itu, pipinya memerah malu. Syukurlah, hanya ada di sendiri di dalam ruangan itu.

"Vania,  yuk balik. Bareng kakak!" panggil Raisa membuka pintu rumah sakitnya.

"Iyah kak, " Vania segera beranjak menghampiri Raisa.

"Vania,  makasih yah udah mau datang jengukin kak Riyan. Tante,  makasih banget. " Ujar Airin lembut,  memeluk tubuh mungil Vania.

"Om juga makasih,  Vania udah mau datang. " tambah Agung, ramah.

Tanpa Vania sadari,  sepertinya orang tua dan sahabat Riyan sudah tau,  bahwa Riyan sangat mencintai Vania.

"Udah tenang aja,  dengan kegantengan kakak ini. Dia bakal kakak paksa bangun. Ujian yang bener yah,  biar bisa ke Jerman lagi. " Lagak Arfen pede.

Thifa hanya bisa menunduk dan menghela napas,  menatap kelakuan calon suaminya itu.

"Iyah kak,  makasih. Kak Riyan segera sembuh. Vania yakin. "

"Udah yuk ke Bandara,  entar malah ketinggalan pesawat. Udah yah kita pulang duluan. Arfen,  Thifa,  Fandri,  Anggi,  jagain Riyan yah. Kasih kabar kalo ada apa-apa." pesan Raisa,  merangkul Vania.

"Oke,  santai aja. "

* * *

"Va... ni... a... " gumam Riyan tanpa sadar. Matanya masih terpejam, jari manisnya bergerak perlahan.

Vania yang sudah menginjakkan kaki di Bandara mendadak menoleh ke belakang,  seakan merasakan hal aneh.

"Apa Van? Ada yang ketinggalan? " tanya Raisa,  saat merasa tangan yang di gandengnya mendadak berhenti.

"Enggak ada sih kak. Cuma,  aku agak--"

"Udah tenang aja. Riyan gak papa kok,  percaya sama kita. " Yakin Raisa. "Udah buruan ayuk,  entar kita ketinggalan pesawat tau. " Raisa kembali menarik tangan mungil Vania.

"Iyah kak. " Vania dengan patuh mengikuti tarikan tangan Raisa.

/ / /

Di Rumah sakit,  Riyan sendiri masih hanya mampu menggerakkan tangannya. Arfen,  orang yang terjadwal untuk menjaga Riyan malam ini, memasuki ruangan dengan wajah sendu. Sendunya yang selalu tertutupi oleh tingkahnya.

Namun,  saat Arfen sudah benar - benar di dekat Riyan. Arfen menyaksikannya sendiri, jari Riyan,  bergerak perlahan.

"Dokter!!! Dokter!! Om!!Tante!!! " Teriak Arfen segera berlari keluar ruangan.

***

Satu jam sudah berlalu, Dokter dan timnya juga sudah memeriksa Riyan, entah apa yang terjadi. Riyan masih juga belum membuka matanya.

Arfen dan Thifa menjaga di dalam ruangan Riyan, keduanya tidur di sofa yang ada di sana. Orang tua Riyan sendiri sudah kembali ke apartemen, untuk tidur. Maklum saja,  sebelum Arfen dan yang lainnya datang. Yang menjaga Riyan adalah mereka berdua. Mereka pasti juga lelah.

***

"Bangun dong,  katanya mau jadi presdir besar. Ngalahin gue. Bangun dong,  Yan! Bosen tau liat lo baringan di sana mulu!" Arfen menggaruk kepalanya frustasi. Dia yang biasanya tenang dan santai,  saat ini juga mulai kehilangan ketenangan.

"Bangun kek woi! Nanti gue kasih undangan deh,  spesial di hari pernikahan gue dan Thifa!" tambah Arfen lagi, duduk di sebuah kursi sebelah Riyan yang terbaring. Arfen menatap wajah pucat Riyan yang sudah di tempeli begitu banyak alat rumah sakit.

Tanpa Arfen sadari,  Riyan menggerakkan tangannya.

"Ar-fen? " suara pelan seakan tanpa tenaga. Meski pelan,  Arfen mendengarnya dengan jelas. Arfen menoleh ke asal suara. Riyan?!

"Riyan?! Lo udah bangun Yan?! Bentar,  gue panggilin Dokter dulu!! " Arfen lagi-lagi mendadak lari keluar secepatnya.

~ ~ ~

Sudah setengah jam sejak Arfen memanggil Dokter. Ada seorang suster yang keluar dari ruangan, menghampiri orang tua Riyan.

"Bitte kommen Sie herein, der Patient weiß es und Sie können ihn besuchen." (Silahkan masuk, pasien sudah sadar, dan kalian boleh mengunjunginya. ) Ujar Suster itu.

"Danke dir, " (Terima kasih) sahut papah Riyan yang dulunya juga pernah berkuliah di Jerman.

"Ayo masuk, kita sudah di izinkan melihat Riyan! " kata papah Riyan menginatruksikan pada Arfen dan Thifa.

Semuanya berdiri menatap Riyan yang terbaring. Tampak wajah mereka basah karna air mata kebahagiaan.

Riyan diam, dia yang masih duduk menyender itu tidak tau apapun. Tapi, ada yang aneh. Mata Riyan tak lepas menatap Thi-fa?

"Arfen, cewek itu siapa?? " tanya Riyan dengan suara tak bertenaganya.

"Cewek yang mana sih? Jangan ngaco deh lo? " Arfen mendadak merinding seketika. Pasalnya, Arfen pikir karna sebuah kecelakaan parah, dan koma satu bulan. Mendadak Riyan mendapatkan kemampuan melihat hal yang tak kasat mata.

Perempuan mana nih? Jangan-jangan! Ah parah!!

Batin Arfen kalut sendiri.

"Cewek di sebelah kanan lo. " tambah Riyan, menunjuk ke arah Thifa. Arfen mengikuti arah tunjuk Riyan.

"Ha? Ini? Ini kan Thifa, cewek gue. " Arfen sendiri juga di buat bingung kali ini.

"Thi-fa? Thifa siapa? Lo parah, kita masih kelas 3 SMP lo udah pacaran." ujar Riyan kebingungan.

Semuanya saling menatap bingung.

"Dokter!! Ken--arghh!! Herr Doktor, was ist mit meinem Kind passiert?" (Dokter, apa yang terjadi pada anak saya? ) tanya papah Riyan.

"Now, what year are you in?" (Sekarang, kamu ada di tahun ke berapa?) " tanya Dokter itu yang juga menatap Riyan bingung.

"2016." sahut Riyan bingung.

*Ingatannya mundur 4 tahun. Tahun ini adalah tahun 2020. 4 tahun lalu itu kita masih kelas tiga SMP. Tunggu, apa jangan-jangan?

Batin Arfen mulai menerka-nerka*.

"Mr. Agung, can you talk for a moment? It's about your son."( Pak Agung, bisakah kita berbicara sebentar tentang kondisi anak mu? " Ujar Dokter itu pada papah Riyan.

"Yes Of course. " (Ya, tentu saja)

Keduanya berjalan keluar, dan masuk ke dalam ruang pribadi dokter itu.

"Why? " tanya papah Riyan yang sudah duduk di depan Dokternya.

"I think your son has retrograde amnesia." (Aku pikir anak bapak mengalami Amnesia Retrograde)

"Amnesia Retrograde? "

***

Note:

Translate Bahasa Jermannya dari Google. Translate bahasa Inggrisnya juga dari Google. Mohon maaf yah kak, kalo ada katanya yang salah. ^\^

Terpopuler

Comments

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Waahh memory otak Riyan mundur beberapa tahun nih...

2024-09-16

0

Milhiyah

Milhiyah

lanjut !

2020-12-06

1

Ayna Nuha

Ayna Nuha

lanjut

2020-10-13

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!