Riyan & Vania

Riyan & Vania

01. Perpisahan

Note : Ini SEQUEL DARI MY SPECIAL BOYFRIEND. HARAP BACA DULU NOVEL YANG ITU YAH. makasih^^

 

"Benar kata orang, melupakan lebih sulit untuk mendapatkan. Aku, mendapatkan mu. Lalu,  takdir mendadak memaksaku untuk melepas mu. Lucu sekali,  aku ingin menangis di balik tawa ku saat ini. " ~ Vania Keyland

* * *

"Bocah, lo dapat peringkat berapa di kelas? " tanya pria memakai hoodie hitam,  yang senada dengan gaya rambutnya. Alisnya yang tebal,  hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis, ahh benar-benar menggoda imannya kaum hawa.

Pria itu duduk elegan di kursinya, dengan di temani gadis mungil berwajah imut di depannya.

"Tujuh om, " Sahut gadis itu polos menyeruput esnya.

Keduanya tengah duduk menikmati es di tengah teriknya hari ini. Saat ini,  matahari memang benar-benar tidak bersahabat.

"Jauh banget. Gue yang bentuknya begini aja dapat nomor 4. Lah,  elo? " Pria itu,  Riyan namanya mencoba menahan tawanya sebisa mungkin.

"Vania itu gak gitu pinter. Bodoamat juga lah. " Vania,  gadis mungil itu hanya bisa pasrah pada keadaannya.

"Iyah memang, kelihatan dari muka lo. Muka orang bodoh. "

"Orang cantik gini kok, tau ah. Oh yah,  Om galak kuliah di mana? "

"Di Jerman kayaknya, "

"Oh ... Gitu. " Vania mendadak menunduk lesu. Moodnya sudah kacau,  itu jelas dari wajahnya.

"Biasa aja kali,  lo gak ikhlas gue pergi? " Riyan mulai menyunggingkan senyumannya. Ada niatan untuknya menolak untuk ke Jerman. Ada rasa menggebu, saat melihat Vania seakan tak rela jika Riyan pergi.

"Yah ga tau deh~" Vania mengangkat bahunya.

"Oke,  gue gak jadi pergi deh. Gue kuliah dekat sini aja, "

"Eh eh eh!! Jangan! Gak gitu juga kali Om, maksud Vania ih. Yah lebih baik Om kuliah di Jerman deh. "

"Terus lo maunya apa? " Riyan bertanya seolah dia tak mengerti apapun.

"Om sekolah aja deh di Jerman, kan itu pilihan orang tua om. "

"Lo sendiri masuk mana? "

"SMA merah Putih dong. "

"Berhenti manggil gue om. Gue belum terlalu tua. Gue bakal konfirmasi lagi deh sama nyokap bokap gue."

"Om~ Om~"

* * *

Riyan melempar hoodie hitamnya di atas kasur berseprei coklat tua itu. Di ikuti badannya yang dia bantingkan telentang di atas kasur empuk itu.

"Kalo mau jadi presdir besar,  ngikutin jejak papah. Kuliah di Jerman terbaik sih,  gue juga udah cek. Universitas yang papah rekomendasiin bagus,  cocok buat gue. Tapi,  masalahnya? Vania? " Riyan mengeluarkan sebuah gelang berdominan putih,  dengan hiasan inisial huruf V, Vania.

"Gue juga gak bisa ninggalin dia gitu aja. Apa gue bawak aja yah? Dia gue sekolahin di Jerman juga? Bisa gitu? " Ide ini muncul begitu saja di kepala Riyan.

"Tapi, dia nolak. Itu kemungkinan 80 % . Mana mau dia pergi jauh dari kakeknya yang udah tinggal sebatang kara? Apa ajak kakeknya juga? " Riyan menimang-nimang gelang perak itu.

"Tapi,  kakeknya juga gak mau dong ninggalin usaha Cafe anaknya,  yang udah papah Vania bangun. Dan,  gak mungkin juga kan? Tokonya gue angkat ke Jerman? "

"Ailahhh!! Gini amat LDR? Bentar,  LDR?!  Gue aja belum punya hubungan apapun sama tuh bocah. "

Riyan mencium gelang V itu,  berharap ada jalan keluar terbaik untuknya.

* * *

Riyan POV

Satu bulan kemudian

Ailah,  gini amat jadinya. Pada akhirnya gue kuliah di Jerman,  dan bocah rese di Indonesia. Dan,  hari ini adalah hari keberangkatan gue.

Mungkin karna gue udah sering bawa main tuh boca rese,  jadi mamah dan papah gue bawa tuh bocah buat ikut anterin gue di Bandara. Orang tua gue,  udah dekat sama Vania. Tapi,  gak dekat banget sih. Soalnya,  kenalnya juga baru beberapa bulan.

Sumpah, nyesek sih ini mah. Parah! Gue emang niatnya gak mau ajak Vania ke Bandara,  gue takut. Gue takut nantinya gue gak bisa pergi lebih jauh lagi.

"Vania enggak apa-apa kan,  Tante ajak anterin kak Riyan? " tanya mamah gue,  di depan sebelah papah yang lagi nyetir.

"Tenang aja nak,  nanti  Om sama Tante anterin Vania pulang kok. " tambah papah gue. Gue sih setuju aja.

"Eh iyah gak papa kok,  Om,  Tante,  Vania juga pengen anterin kak Riyan ke Bandara. " sahut bocah rese yang duduk di sebelah gue. Bangku belakang. Spesial hari ini,  kita gak pakai supir.

"Gue yang gak mau. " gue jawab gitu,  entahlah. Mungkin karna gue,  gengsi?

Tapi,  jujur harus gue akui. Gue nyaman ada di posisi ini saat ini. Di mana,  papah dan mamah,  serta bocah rese ada di sini. Saat ini,  sekarang ini,  gue mau waktu berhenti. Memanjakan kami bagai keluarga kecil bahagia ini.

Tapi,  itu hanya angan belaka. Maksud gue,  untuk sekarang. Karna,  enggak lama lagi gue juga bakal nikahin dia. Tujuh atau delapan tahun ke depan. Eh,  enggak! Waktu gue balik ke indo. Nikah aja. Tapi,  bentar,  emang di saat itu Vania udah tamat sekolah?

Argghhh!!! Siall!! Kenapa pikiran gue malah jauh banget!!!

* * *

Setelah satu jam perjalanan berisik karna gue yang selalu berdebat sama tuh bocah. Berisik, tapi gue menemukan ketenangan di sana.

Akhirnya gue sampai di Bandara,  gue juga liat ada Arfen, Thifa, Nando,  Raisa, Melia,  Regata, Fandri, dan Anggi. Sahabat gue,  anterin gue ke Bandara. Sungguh,  perpisahan yang MENYESAKKAN!!!

Tapi,  mau gimana lagi. Ini demi pendidikan gue. Gue harus sabar.

Sakit itu tak seberapa, di banding gue yang sekarang liat Vania lambaikan tangan ke gua,  dengan air mata yang udah mengalir deras. Gue, gue,  jujur,  gue pengen lari ke sana,  terus seret dia ikut gue. Tapi,  itu jelaslah gak bisa.

"Cengeng! " Kata terakhir yang gue ucapin ke Vania,  sebelum pesawat gue benar \- benar terbang.

* * *

1 tahun kemudian

Sungguh,  ini sangat lama. Aku merasa satu tahun di Jerman ini seakan 10 tahun saja. Benar\-benar menyebalkan! Syukurlah Hp semakin canggih,  meski tidak bisa bertemu. Kami masih bisa bertatap muka melalui Video Call.

Aku,  Riyan Adijaya saat ini sudah menghabiskan 1 tahun di Jerman,  tinggal menunggu 2 tahun lagi,  untuk ku kembali.

"Hey,  Riyan? Mau makan bareng aku? Temenin aku dong? " pintanya, perempuan yang saat ini duduk di sebelah ku.

Jessy namanya, gadis campuran Indonesia dan Jerman. Dia dulu juga pernah tinggal di Indonesia, tapi hanya sampai batas usia 13 tahun, wajar dia bisa lancar berbahasa Indonesia. Setelah itu dia pindah ke Jerman. Usianya saat ini sama dengan ku 19 tahun.

Jessy teman pertama ku di Jerman, mungkin karna dia memiliki darah Indonesia jadi aku lebih mudah akrab dengannya.

"Oke,  " Sahut ku,  aku mulai melajukan mobil ku.

Entah mengapa, mendadak ada mobil tak terkendalikan di depan ku,  melaju begitu cepatnya mengarah ke mobilku!

BRAGHHHKKKKKK!!!!!!

* * *

Readers : Author, Novel yang ini jangan sampai kosong lagi yah^\^

Author : In shaa Allah yah Kak^\^ Asal like, komen, vote, dan levelnya bagus. enggak akan Jadi Novel "Kosong" kok^\^

 

Terpopuler

Comments

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Emang umur nya Vania ini berapa thor?

2024-09-16

0

Andini ndin

Andini ndin

semangat Thor"salam dari "MUSUHKU SUAMIKU."




jangan lupa mampir

2021-08-14

1

Chodhyland

Chodhyland

minta like and koment miluu..gw kasih bunga lu thor.dah jan nangis..tar canyiknya ilang..

2021-06-09

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!