Dara terbangun dengan tubuh gemetar, napas tersengal, dan wajah penuh peluh meski kamar hotel itu dingin. Ia mengusap keningnya yang basah, lalu duduk di ranjang sambil memegangi dadanya yang terasa sesak.
"Mimpi itu lagi..." gumamnya dengan suara serak. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menghilangkan rasa sesak dan cemas yang kembali menyerangnya.
Dara meraih botol air mineral di atas meja, meneguknya dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. Namun pikirannya tetap berputar pada mimpi yang baru saja mengusiknya.
"Kenapa sih, Dara? Sudah lama, kenapa nggak bisa hilang dari kepalamu? Harusnya kamu lupa... harusnya!" ucapnya pada diri sendiri, suaranya terdengar lebih frustrasi daripada marah.
Bayangan dari kejadian itu kembali menghantuinya, malam yang gelap, suasana sempit di dalam mobil, dan siluet seseorang yang wajahnya tak bisa ia lihat dengan jelas. Ia memejamkan mata, tapi rasa dingin yang menusuk dan kengerian malam itu kembali muncul di ingatannya.
Dara berdiri dan mulai mondar-mandir di dalam kamar, mencoba menenangkan pikirannya. "Sudah, Dara, berhenti mikir! Kamu itu orang yang kuat! Kalau mimpi ini datang lagi, kamu lawan aja, paham?!" ucapnya sambil menunjuk dirinya sendiri di depan cermin.
Namun tatapannya di cermin berubah lembut, penuh rasa sedih. "Tapi... kenapa ya, aku nggak bisa lupa? Aku bahkan nggak tahu siapa dia... Aku cuma bisa ingat bayangan itu. Siluetnya, suara napasnya... dan gelapnya." Suaranya melemah, dan ia terduduk di tepi ranjang.
Dara memeluk lututnya, berusaha menguatkan diri. "Aku sudah berusaha. Sudah berkali-kali bilang sama diriku kalau kejadian itu nggak akan mengontrol hidupku lagi. Tapi kenapa mimpi ini terus datang?"
Ia menghela napas panjang, mencoba membangkitkan kembali semangat khasnya. "Ayo, Dara! Hidup kamu nggak cuma soal itu. Kamu punya tanggung jawab, Aditya. Kamu punya pekerjaan, masa depan, dan... roti isian di tas! Itu lebih penting daripada mimpi bodoh ini!"
Dengan langkah berat, Dara menuju kamar mandi. Namun sebelum masuk, ia kembali melihat pantulan dirinya di cermin. "Ingat, Dara, kamu lebih dari sekadar kenangan buruk itu. Kamu Dara yang nggak bisa dikalahkan! Kalau mimpi ini datang lagi, aku bakal kasih tahu mimpi itu, 'Aku nggak takut lagi!'."
Ia menyalakan keran air, membasuh wajahnya, lalu menarik napas dalam-dalam. "Aku kuat. Aku akan baik-baik saja. Tapi serius, kapan ya mimpi itu berhenti?"
Setelah menenangkan diri, Dara melangkah keluar dari kamar mandi dengan ekspresi lebih tenang. Meski dalam hati ia tahu bahwa melupakan kejadian itu bukan perkara mudah, Dara bertekad untuk tidak membiarkan trauma menguasai hidupnya.
Di Kamar Ziel
Pagi itu, Ziel terbangun dengan rasa tak nyaman di perutnya. Ia bergegas ke kamar mandi, memegangi wastafel sambil muntah-muntah. Napasnya terengah-engah setelahnya, dan ia mencipratkan air ke wajahnya, menatap pantulan dirinya di cermin.
"Kenapa masih seperti ini lagi?" gumamnya frustrasi.
Kemarin ia merasa normal, bahkan cukup berenergi setelah seharian bersama Dara. Ia mengingat bagaimana ia makan dengan nyaman tanpa rasa mual atau muntah. Tapi pagi ini, semuanya kembali seperti biasa, perutnya bergejolak, tubuhnya sedikit gemetar meski tidak separah biasanya.
Ziel berjalan keluar dari kamar mandi, menghempaskan diri di sofa kamar hotel. Ia memijit pelipisnya dengan mata terpejam. Pikiran tentang Dara tiba-tiba muncul, dan tanpa sadar ia bergumam, "Apa aku harus bersamanya selama satu kali dua puluh empat jam supaya kondisiku normal?"
Ia membuka matanya, lalu terkekeh lemah. "Ini gila. Kalau memang harus bersama dia terus, kenapa aku nggak sekalian aja nikah sama dia?"
Namun seketika Ziel terdiam. Kata-kata itu menggantung di udara, bahkan terasa asing bagi dirinya sendiri. Ia menggelengkan kepala, mencoba menepis pikirannya. "Nikah? Dengan Dara?"
Ia merenung sejenak, membiarkan pikirannya berkelana. Wajah Dara yang ceria dan penuh semangat terlintas di benaknya. Ia mengingat bagaimana Dara selalu makan tanpa henti, bagaimana ia berbicara dengan percaya diri, meski terkadang begitu nyeleneh.
"Dia memang cantik... cerdas juga. Tapi dia itu... unik." Ziel mendeskripsikan Dara dalam pikirannya dengan senyum tipis yang tiba-tiba muncul di bibirnya.
Namun segera setelah itu, Ziel menggerutu, mencoba menutupi senyumannya sendiri. "Aku sudah tidak waras. Semua ini karena penyakit aneh ini!"
Ia bangkit dari sofa, berusaha menenangkan pikiran. Meski tubuhnya terasa sedikit lebih baik dibanding biasanya, ia tahu ini semua karena kemarin ia bisa makan dengan nyaman. "Dara memang seperti obat sementara untukku... tapi ini bukan solusi. Aku harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi," pikirnya.
Ziel menatap ke luar jendela, menenangkan dirinya dengan pemandangan kota yang masih lengang di pagi hari. Namun dalam hatinya, ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kehadiran Dara benar-benar membuatnya merasa lebih baik, dan itu mulai membuatnya semakin bingung.
***
Pagi itu, Ziel dan Dara memulai hari mereka dengan pertemuan bersama klien. Dara yang masih mengunyah roti sambil berjalan di belakang Ziel terlihat sangat santai. Ziel, dengan raut wajah serius, sempat menoleh ke arahnya dan berkomentar dingin, “Dara, tolong berhenti makan dulu. Kita mau ketemu klien.”
Dara mengunyah pelan-pelan, kemudian menjawab tanpa ragu, “Aku ini butuh energi, Pak Bos. Kalau aku lemas, nanti kerjaanku nggak maksimal.”
Ziel menghela napas, tapi memilih tidak memperpanjang masalah. Begitu sampai di ruang rapat, Dara langsung berubah 180 derajat. Ia duduk dengan postur profesional, senyumnya ramah, dan cara bicaranya sangat teratur saat membantu Ziel menjelaskan materi presentasi. Ziel mengamati sikap Dara dari sudut matanya, sedikit terkejut melihat betapa mudahnya Dara menyesuaikan diri.
Setelah pertemuan selesai, Ziel memuji Dara dengan nada datar, “Presentasimu cukup bagus. Tidak mengecewakan.”
Dara tersenyum lebar, bahkan terlihat bangga. “Makasih, Pak Bos. Tapi jangan lupa, saya juga butuh penghargaan dalam bentuk makanan. Saya lihat ada toko roti terkenal di sebelah hotel.”
Ziel menatapnya dengan ekspresi bingung bercampur tak percaya. “Kamu benar-benar hanya memikirkan makanan, ya?”
“Makanan adalah sumber energi dan kebahagiaan, Pak Bos,” jawab Dara tanpa rasa bersalah.
Sepanjang hari, mereka berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain untuk mengurus pekerjaan. Saat makan siang, Dara dengan cepat memesan makanan di restoran terdekat. Ziel yang biasanya tak banyak makan justru terdorong mencoba berbagai makanan yang dipesan Dara.
“Coba ini, Pak Bos,” Dara menyodorkan sepiring kecil nasi goreng. “Rasanya beda dari yang biasa kita makan di kantor.”
Ziel mengernyit, tapi akhirnya mencoba. Setelah beberapa suap, ia mengangguk kecil. “Lumayan.”
“Lumayan? Ini enak banget, tahu!” Dara memprotes dengan gaya santainya.
Di sela-sela bekerja, Dara terus mengeluarkan celetukan-celetukan kocak yang membuat Ziel, meski tak menunjukkan ekspresi berlebihan, merasa lebih rileks. Saat mereka mengecek dokumen di lobby hotel, Dara tiba-tiba bergumam, “Pak Bos, kerja sama Bapak itu kayak pelatihan militer. Tapi anehnya, saya suka.”
Ziel mengangkat alis. “Itu maksudnya pujian atau sindiran?”
“Dua-duanya,” jawab Dara sambil terkekeh, kembali fokus ke dokumen di tangannya.
Malam harinya, setelah semua urusan selesai, mereka makan malam bersama di restoran hotel. Ziel terlihat lelah tapi puas. Dara, seperti biasa, memesan lebih banyak makanan daripada yang Ziel kira manusia normal bisa habiskan.
Saat makanan datang, Dara berkata sambil tertawa, “Pak Bos, kalau saya nggak habis, nanti Bapak bantu, ya.”
Ziel menatap piring-piring penuh di meja mereka, lalu mendesah. “Dara, kamu ini seperti mesin makan tanpa batas.”
“Mesin makan yang pintar kerja, 'kan?” Dara membalas santai.
Ziel hanya menggelengkan kepala, tapi dalam hatinya, ia tak bisa menyangkal bahwa kebersamaan dengan Dara selama seharian ini benar-benar membuat hari-harinya terasa berbeda.
Dan yang paling mengejutkan, Ziel benar-benar menyadari, selama bersama Dara, ia tak lagi merasa terganggu oleh bau di sekitarnya, sesuatu yang selama ini menjadi masalah besar baginya. Tak ada rasa mual atau keinginan untuk muntah. Bahkan saat makan malam, ia menikmati makanannya tanpa rasa tidak nyaman sedikit pun. Meski hari itu melelahkan karena jadwal yang padat, tubuhnya masih terasa bertenaga.
Ziel diam-diam merenung, bertanya-tanya apa yang sebenarnya membuat perubahan itu terjadi. Ia melirik Dara yang masih sibuk menikmati makanannya, dan entah kenapa, sebuah pikiran melintas di benaknya. Apa benar ini semua karena kehadirannya? Ziel menggeleng pelan, mencoba menepis pikiran aneh itu, tapi dalam hati ia tahu ada sesuatu yang berbeda setiap kali Dara ada di dekatnya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Dwi Winarni Wina
Terlintas dipikiran ziel tuk menikahi dara krn dara membuat ziel sangat nyaman dan tidak mengalami mual dan muntah2....
Nikahi aja dara dan anak yg dikandung dara adalah anakmu ziel...
Debay tidak mau jauh dr papany pgn sll dekat papanya terus....
Dara tidak curiga apa makan banyak kan bukan kebiasaannya dan dara tidak menyadari bulan blm dateng....
Dara jg tidak peka lg hamidun....
2025-01-27
3
sum mia
kak Nana.... aku bener-bener penasaran gimana nanti bisa terbongkar . dan kapan Dara akan menyadari kalau dia sedang berbadan dua . iiiihhhh.... gemes aku sama mereka .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍 ⁶
2025-01-27
2
Anitha Ramto
Kenapa Daranya belum menyadari kalo dirinya sedang berbadan dua..tentu saja makannya banyak,,dan Ziel tetap merasa nyaman dekat dengan Dara rasa mualpun hilang dan bisa makan sepuasnya...ayo Dara periksa dan Ziel selidiki Mandara
2025-01-27
1