Di dalam mobil yang masih sunyi, Ziel menggeliat pelan. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya seperti dihantam batu. Ia mencoba membuka mata, tapi kelopak matanya terasa lengket.
Lalu, samar-samar, ia merasakan sesuatu yang aneh.
Jok di sampingnya kosong. Tapi ada aroma samar yang tertinggal di sana. Aroma asing.
Ia mengernyit, mencoba mengingat apa yang terjadi. Ia mengingat perjalanan, efek obat yang mulai bekerja, lalu tabrakan... setelah itu, pikirannya kabur.
Namun, saat Ziel mencoba duduk tegak, sesuatu di dalam dirinya bergetar. Ada perasaan aneh yang menyelinap, rasa tak nyaman, seperti ada sesuatu yang tak seharusnya terjadi.
Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pintu di sisi penumpang sedikit terbuka, seperti seseorang telah pergi terburu-buru.
Ziel memegang kepalanya yang berdenyut. "Apa yang sebenarnya terjadi...?"
Tiba-tiba, bunyi dering ponselnya memecah kesunyian. Dengan gerakan lambat, ia meraihnya dari dasbor mobil dan melihat nama di layar. Nika.
Amarah melonjak dalam dadanya. Ia mengabaikan panggilan itu, lalu melempar ponselnya kembali ke dasbor mobil.
Sejenak Ziel terdiam. Ia mengingat seseorang mengetuk kaca mobilnya. Suara lembut yang memanggilnya…
Matanya membelalak.
Gadis itu.
Ia menunduk, menatap dirinya sendiri. Namun tak bisa melihat dalam gelap.
Ziel segera menyalakan lampu dalam mobil, ingin melihat lebih jelas. Saat pandangannya jatuh ke dirinya sendiri, matanya terbelalak, napasnya tercekat. Pakaiannya berantakan, kancing kemejanya terbuka sebagian. Ada bekas sentuhan di kulitnya, samar tapi nyata.
Darahnya mendadak berdesir.
Resleting celananya terbuka, memperlihatkan sesuatu yang seharusnya tersembunyi. Lalu matanya turun ke jok mobil, terdapat bercak darah di sana. Juga di celananya.
Darah itu…
Napasnya tersengal, pikirannya berusaha merangkai kejadian yang terasa kabur. Dada Ziel mulai sesak. Kepalanya terasa berat, pikirannya berputar kacau. Ia tidak tahu siapa gadis itu, tetapi instingnya berteriak bahwa ia telah melakukan kesalahan besar.
Kesalahan yang tak bisa diperbaiki.
***
Di kamar hotel yang sunyi, Nika membanting ponselnya ke kasur, napasnya memburu penuh emosi. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Ziel, tetapi panggilannya terus diabaikan.
Matanya memerah, tangannya terkepal. "Brengsek!" geramnya, menggigit bibir bawahnya dengan frustrasi.
Tak pernah ia bayangkan Ziel akan benar-benar memukulnya hingga pingsan, sama seperti yang ia lakukan pada Ziel sebelumnya. Ini bukan bagian dari rencananya. Ia pikir Ziel akan marah, tapi tidak sampai seperti ini.
Pikirannya kacau. Bagaimana jika Ziel melampiaskan hasratnya dengan tidur bersama wanita lain? Dadanya sesak membayangkan kemungkinan itu. Ia mengacak rambutnya, berteriak marah ke udara.
"Tidak! Ziel milikku!"
Ia meraih kembali ponselnya dengan tangan gemetar, kembali mencoba menghubungi Ziel. Namun, kali ini suara operator yang terdengar : "Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi."
Darah Nika berdesir. Ziel mematikan ponselnya.
Pertunangan mereka benar-benar di ujung tanduk.
***
Mandara turun dari motor dengan lutut lemas, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Adiknya dan beberapa tetangga terlihat di sana.
"Kak...." panggil Aditya. Kekhawatiran dan ketakutan terlihat jelas di matanya.
Mandara menemukan ayahnya terbaring di atas ranjang, darah mengalir dari kepala pria tua itu. Salah seorang tetangga mencoba mengelap darah yang keluar, yang lain nampak bingung harus berbuat apa.
"Astaga... Ayah!"
Tanpa pikir panjang, ia meraih kain dan menekan luka itu, berusaha menghentikan pendarahan. Matanya beralih ke adiknya.
"Panggil ambulans!"
"Tadi sudah! Mereka bilang akan segera ke sini!"
Mandara menggertakkan giginya, tangannya berlumuran darah saat terus menekan luka sang ayah. Tapi pikirannya mulai berkabut, tubuhnya terasa semakin lemas.
Seketika, kejadian tadi di dalam mobil kembali menghantamnya. Bayangan Ziel, cengkeraman kuatnya, rasa sakit yang ia rasakan...
Tidak. Ia tidak boleh hancur sekarang.
Ambulans datang beberapa menit kemudian. Saat para petugas medis mengangkat ayahnya, Mandara melangkah dengan kaki gemetar, ingin ikut masuk ke ambulans. Tapi sebelum ia sempat naik, kegelapan menyelimuti pandangannya.
Semua menjadi buram.
Lalu gelap.
Suara mesin medis berdengung pelan di telinga Mandara saat matanya perlahan terbuka. Cahaya putih dari lampu rumah sakit menusuk pandangannya, membuatnya mengerjap beberapa kali. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lelah seolah baru melewati sesuatu yang menguras tenaga.
Di sampingnya, duduk dua orang yang paling ia kenal, Aditya, adiknya yang masih SMP, dan Bibi Ema, tetangga sebelah rumah. Tapi ada sesuatu yang aneh. Wajah mereka pucat, mata sembab, dan bibir mereka seolah terkunci dalam kebisuan yang menyakitkan.
Dara mencoba bangun, tetapi tubuhnya terlalu lemah. "Adit... Bibi..." suaranya serak, dadanya tiba-tiba dipenuhi kecemasan. "Ayah... bagaimana kondisi Ayah?"
Aditya menggigit bibirnya, menunduk dalam-dalam. Sementara Bibi Ema menggenggam tangan Dara, matanya basah.
"Nak... Ayahmu..." suara Bibi Ema bergetar, tapi tak mampu melanjutkan.
Dara merasakan hatinya mencelos, jantungnya berdetak kencang. "Bibi, tolong jangan diam! Katakan Ayah baik-baik saja!"
Aditya menoleh padanya dengan mata merah. "Ayah sudah pergi, Kak..." bisiknya, suaranya parau. "Ayah sempat ditangani, tapi pendarahannya terlalu banyak..."
Dunia Dara seakan runtuh.
"Tidak..." bisiknya, kepalanya menggeleng berulang kali. "Tidak mungkin... tidak mungkin!
Tangannya mencengkeram selimut dengan kuat, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia ingin menolak kenyataan ini, ingin berlari ke luar kamar dan melihat ayahnya tersenyum, mengatakan semuanya baik-baik saja. Tapi... tidak ada yang bisa mengembalikan seseorang yang telah pergi.
Tubuhnya bergetar hebat. "Aku bahkan... belum sempat melihatnya, Bibi... aku bahkan tidak ada di sana saat dia butuh aku..."
Aditya terisak dan langsung memeluk Dara. "Kakak satu-satunya keluargaku sekarang..." katanya dalam tangis.
Dara menggigit bibirnya, menahan isak yang semakin menyakitkan. Lima tahun lalu, ia kehilangan ibunya. Sekarang, Ayah pun pergi...
Ia dan adiknya kini yatim piatu.
Dan beban besar itu seketika menghantamnya, bahwa kini dialah yang harus menjaga Aditya, sendirian.
***
Tiga Hari Kemudian.
Dara duduk di teras rumah dengan wajah kusut seperti baju yang lupa disetrika sebulan. Matanya menatap ponsel di tangannya, email panggilan interview dari perusahaan besar di kota. Harusnya ini berita baik. Harusnya.
Tapi…
“Delima. Eh, dilema.” Dara mengusap wajah. “Ini kesempatan langka. Tapi Adit gimana? Masa aku tinggalin sendirian? Mau kubawa? Halah, yang ada malah dia bolos sekolah dan jadi bocah kota yang suka bilang ‘yo bro’ tiap ketemu orang.”
Ia menyandarkan diri ke kursi. “Herman, deh! Eh, heran deh! Kenapa hidupku kayak sinetron tayang sore? Belum kelar drama kehilangan, eh, datang lagi episode baru yang judulnya ‘Dara Bingung Memilih’.”
Pikirannya terus berputar hingga suara langkah kaki terdengar. Ema muncul dengan senyum lembut. “Kamu kenapa, Dara? Melamun dari tadi.”
Dara mendesah, menegakkan tubuhnya. “Ini, loh, Bik. Aku dapat panggilan interview di kota. Tapi… Adit?”
Ema tersenyum tipis, lalu duduk di sampingnya. “Kalau kamu khawatir soal Adit, biar Bibi yang jaga. Bibi juga sendiri di rumah. Lagipula, Adit itu anak baik, kami juga akrab, 'kan?”
Dara menatap Ema dengan ekspresi campuran antara harapan dan ragu. “Beneran, Bik? Nggak keberatan? Adit itu, loh, makannya banyak. Belum lagi PR sekolahnya kadang kayak soal ujian masuk NASA.”
Ema tertawa pelan. “Justru itu, biar Bibi ada kesibukan. Rumah rasanya sepi sejak mereka pergi…”
Dara terdiam. Ia tahu betul luka yang masih tersisa di hati Ema. Wanita itu kehilangan suami dan anaknya dalam kecelakaan tahun lalu.
Dara menarik napas panjang. “Aduh, jadi makin bingung. Mau seneng dapat interview, tapi sedih ninggalin Adit. Campur-campur kayak es teler.”
Ema menepuk bahunya. “Yang penting kamu pikirkan baik-baik. Adit di sini pasti aman.”
Dara melirik ke dalam rumah, melihat Aditya yang tengah fokus pada bukunya. Ia tampak tenang, meski Dara tahu, hatinya juga masih terluka.
Dara bangkit. “Oke, kalau gitu aku harus mulai packing. Adit pasti baik-baik aja sama Bibi, 'kan?”
Ema tersenyum. “Tentu saja.”
Dara menghela napas. “Ya udah, aku siapin semua. Semoga nggak ada lagi plot twist di hidupku dalam waktu dekat.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Dwi Winarni Wina
Waaah jodoh gak lari kemana pasti ketemu ziel lagi telah memperkosa dara dan interview diperusahaan ziel....
Ziel lupa ingat telah menodai seorang gadis tapi dlm keadaan tidak sadar terpengaruh obat lucknut..
Apakah dara akan mengenali ziel pria akan ditolong saat kecelakaan itu....
ziel bekerja keras jd tulang punggung keluarga membiayai adiknya sekolah dan jd tanggungjawab dara....
Semangat2 dara interview smg diterima ya.....
2025-01-22
2
sum mia
bisa jadi nih interview di perusahaan Ziel . misal mereka ketemu mungkinkah Dara ingat wajahnya Ziel , secara waktu kejadian suasana temaram .
dan mungkinkah nantinya Dara hamil .
aku tunggu cerita selanjutnya kak Nana .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
2025-01-20
5
Muzaata Alenmiyu
hadir lagi thor 😊 selamat launching karya barunya 🤗
2025-01-21
1