Ch ~

Syanas melangkah pelan, menatap Kahfi yang sedang berbicara dengan seorang perempuan muda yang tampak ceria dan bahagia. Perempuan itu tersenyum lebar ketika melihat Kahfi, seolah-olah mereka sudah lama saling mengenal. 

Syanas merasa sedikit terkejut dengan betapa berbeda sikap Kahfi saat berbicara dengan orang lain, terutama dengan perempuan itu.

Biasanya Kahfi hanya terlihat dingin dan penuh jarak, namun kali ini ada kehangatan dalam suaranya yang tak biasa bagi Syanas.

“Gus Kahfi kira-kira mau poligami ya?” bisik Syanas pelan di telinga Sahnum, suaranya penuh rasa penasaran dan sedikit cemas.

Sahnum menahan senyum tipis di wajahnya. “Kalau kak Kahfi sampai melakukan poligami, aku yang akan jadi garda terdepan untuk mencegahnya mbak. Mbak tenang aja, itu nggak akan terjadi,” jawab Sahnum dengan nada tegas, meskipun ada kehangatan dalam suaranya.

Namun, sebelum Syanas sempat bertanya lebih lanjut, perhatian Syanas teralihkan oleh suara Kahfi yang memanggilnya.

“Sayang,” ucap Kahfi dengan nada yang penuh perhatian, mengalihkan pandangan dari perempuan di depannya ke Syanas, seolah-olah dunia berhenti sejenak. 

Ia melangkah mendekat dengan senyum yang hangat. “Ini adalah ustazah Maya, pemimpin asrama santri dan santriwati. Ustadzah Maya, ini istri saya, Syanas.”

Syanas merasa seperti ada yang tidak beres. Kahfi baru saja memanggilnya dengan panggilan sayang, seolah-olah mereka sudah menikah dalam cara yang lebih intim dari pada yang sebenarnya ia rasakan. 

Syanas terdiam sejenak, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Tiba-tiba ia merasakan desakan pada kakinya, dan sebelum ia sadar, ujung dress panjangnya terinjak.

Ia terjatuh, dan tanpa bisa menghindar, tubuhnya terpeluk oleh Kahfi yang berada tepat di depannya.

Sekejap semuanya terasa begitu dekat. Syanas dapat merasakan kehangatan tubuh Kahfi, aroma tubuhnya yang khas, dan tatapan mata lelaki itu yang seolah menyusup dalam-dalam ke dalam hatinya.

Wajah tampan Kahfi semakin jelas di hadapannya, dan untuk sesaat, Syanas merasa cemas, bingung, dan terperangkap. 

Syanas segera bangkit, merapikan kain yang melilit leher Kahfi dengan santai. Di hadapan Maya dan beberapa orang lainnya, ia mencoba menjaga ketenangannya, meskipun jantungnya berdegup kencang.

“Maaf Ayang,” ucapnya dengan nada ringan, sambil tersenyum canggung. “Kaki aku keinjek baju, soalnya kepanjangan. Kayaknya aku harus keluar pesantren sebentar deh buat ngecilin baju ini.”

Kahfi menatap Syanas tanpa ekspresi, wajahnya kembali dingin seperti biasanya. “Nanti kita bahas di rumah,” jawabnya dengan nada datar. “Sekarang aku ada urusan lain, jadi aku pergi dulu.” ia menoleh ke Maya dan tanpa basa-basi, mengajaknya untuk melanjutkan pekerjaan mereka.

Syanas hanya bisa mendengus kesal, merasa seperti dirinya tak lebih dari sekadar pelengkap di tengah-tengah percakapan yang lebih menarik bagi Kahfi.

Tak ada ruang untuknya disana, hanya sekedar alat untuk diperlakukan seperti istri dalam dunia yang tak ia pilih.

Begitu Kahfi dan Maya pergi, Sahnum menghampiri Syanas dengan langkah lembut, menyentuh sedikit ujung baju Syanas dengan tangan.

“Kak Kahfi biasanya cuma memerintahkan seseorang untuk datang ke pesantren kalau urusannya cuma untuk mengecilkan baju. Kecuali kalau mbak memang mau beli baju baru,” ucapnya dengan suara lembut dan penuh pengertian.

Syanas merasa ide itu muncul dengan jelas di benaknya, dengan senyum licik yang hampir tak terlihat, “Gimana kalau kita pergi ke mall? Gue nggak bawa baju lain selain yang gue pakek semalam.”

Sahnum terdiam sejenak, merenung, lalu mengangguk pelan. “Aku mau sih mbak,” jawabnya hati-hati. “Tapi mbak harus izin dulu sama kak Kahfi. Kalau dia mengizinkan, baru kita bisa pergi dan cari baju yang sesuai. Tentu aja, baju yang kita pilih harus sesuai dengan aurat, beda kalau di hadapan suami.”

Syanas merasa sedikit lega mendengar itu. Sahnum bukan orang yang mudah dipengaruhi, tapi kalau ia mendapatkan izin dari Kahfi, ia akan mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri sebentar dari dunia yang dipaksakan di sekitar pesantren ini. “Ya sudah kalau begitu,” jawabnya sambil berpikir keras tentang cara terbaik untuk meminta izin. “Gue izin dulu sama dia.”

Dengan harapan baru, Syanas menatap ke arah pintu, merasa sedikit lebih bebas, meskipun tahu perjalanan panjang masih menantinya.

Sahnum membawa Syanas menuju dapur umum pesantren, di mana keramaian dan kegiatan memasak tengah berlangsung.

Di sana banyak orang terlihat sibuk menyiapkan berbagai hidangan, sementara beberapa lainnya duduk di meja panjang, berbicara dan tertawa.

Begitu Syanas dan Sahnum masuk, beberapa orang langsung berhenti sejenak, kemudian tersenyum lebar begitu mereka mengetahui siapa Syanas.

“Oh, jadi ini istrinya gus Kahfi?” tanya seorang perempuan paruh baya dengan suara penuh keingintahuan, menatap Syanas dengan mata berbinar.

Syanas hanya tersenyum tipis, mengangguk pelan. “Iya Bu,” jawabnya singkat, merasa tidak terlalu ingin berbicara banyak.

“Wah, luar biasa ya, bisa jadi istri gus Kahfi yang begitu terkenal di pesantren ini,” tambah seorang pria muda, tampaknya agak terkesan. “Gus Kahfi itu memang luar biasa mbak. Semua orang disini sangat menghormatinya.”

Syanas mengangguk tanpa berkomentar. Ia hanya berusaha untuk tidak terlihat terganggu dengan semua pujian itu. Dalam hatinya, ia merasa bahwa segala pujian yang dilontarkan itu tidak lebih dari sekadar formalitas.

Apapun yang mereka katakan tentang Kahfi, ia tidak merasa tertarik. Ia lebih fokus pada rencana untuk bisa keluar dari pesantren dan menemukan cara untuk mempengaruhi Kahfi agar mengizinkannya pergi ke luar.

“Benar-benar luar biasa gus Kahfi itu mbak. Dia itu pemimpin yang hebat,” ucap seorang perempuan tua yang sedang mengaduk masakan di kompor. “Setiap keputusan yang diambil selalu bijak, kami semua sangat menghormatinya.”

Syanas hanya tersenyum tipis, namun pikirannya jauh dari sana. Setiap pujian yang datang seolah bergema di telinganya, tetapi ia hanya mendengarnya sepintas saja.

Bagi Syanas tidak ada yang lebih penting dari pada bisa keluar dari tempat itu, bernafas dengan bebas, dan mungkin mendapatkan sedikit kebebasan untuk dirinya sendiri.

Ia menyadari bahwa mereka semua memuji Kahfi tanpa pernah tahu siapa ia sebenarnya. Mereka hanya melihat sosok pemimpin yang dihormati, tapi tidak tahu bagaimana Syanas merasakan segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan mereka. Semua itu terasa seperti angin lewat, tidak memengaruhinya sama sekali.

“Gus Kahfi memang sangat baik,” sambung seorang perempuan muda, hampir dengan kekaguman. “Dia selalu memastikan setiap santri dan santriwati di sini mendapat perhatian yang layak.”

Syanas hanya mengangguk, tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia mendengar semuanya, tetapi kata-kata itu tidak punya efek apapun di hatinya.

Baginya semuanya hanya sebuah permainan peran yang tak ada habisnya.

Sahnum yang melihat sikap Syanas yang tenang, berusaha mencairkan suasana. “Mbak, mereka semua banyak tau tentang kak Kahfi. Mereka sangat mengaguminya.”

Syanas menatap Sahnum sejenak, lalu mengangguk ringan. Di dalam hatinya Syanas merasa bahwa ini semua tidak ada kaitannya dengan dirinya. Mereka bisa memuji Kahfi sepanjang hari, tapi itu tidak akan mengubah apa yang ia rencanakan.

Ia perlu mendapatkan izin dari Kahfi untuk bisa keluar pesantren. Hanya itu yang menjadi pikirannya saat itu.

Dengan sigap, Sahnum melanjutkan memperkenalkan Syanas pada beberapa orang di dapur umum yang tampaknya sangat ingin tahu lebih banyak tentang dirinya sebagai istri Kahfi. 

Namun, Syanas tetap menjaga sikapnya, hanya tersenyum dan menjawab seadanya. Ia sadar, dalam dunia ini, hanya sedikit yang mengerti keinginannya yang sebenarnya, untuk keluar dari pesantren, menjauh dari aturan yang mengekangnya, dan mencari sedikit ruang untuk dirinya sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!