Syanas duduk di tepi tempat tidur dengan napas memburu. Matanya memandang kosong ke depan, sementara tangannya masih meremas rambutnya. Ia seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Sahnum berdiri di dekat pintu, mengamati kakak iparnya dengan hati-hati. Ia tahu bahwa langkah salah sedikit saja bisa membuat keadaan semakin buruk. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan diri untuk berbicara.
Meskipun jantungnya sedikit berdebar. Ia melangkah mendekat perlahan, tangannya mengambil segelas air dari meja kecil di dekat ranjang. “Minum dulu Mbak. Tenangin diri. Aku di sini bukan buat marahin Mbak.”
Syanas menggerutu pelan, tapi ia mengambil gelas itu juga. Setelah meneguk isinya dengan kasar, ia membanting gelas kosong itu ke meja. “Lo mau ceramahi gue soal dosa? Mau ngomong gue kurang bersyukur? Gue udah muak denger omongan kayak gitu!”
Sahnum tetap tenang. Ia duduk di kursi kecil di depan Syanas, menjaga jarak yang cukup untuk menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud menekan. “Aku nggak mau ceramah mbak. Aku cuma mau denger apa yang mbak rasain. Kalau mbak mau cerita sih.”
Syanas mendengus, matanya menyipit curiga. “Lo nggak bakal ngerti. Hidup gue tuh selalu kayak neraka. Baru tadi malam gue ngerasa bahagia sesaat, tapi nggak lama Kahfi datang dan nyeret gue ke tempat ini, kayak gue boneka yang bisa dia atur-atur!”
Sahnum menatap Syanas dalam-dalam, mencoba memahami beban yang tergambar jelas di wajah kakak iparnya. “Hidup memang sering nggak adil mbak. Tapi aku yakin mbak kuat. Kalau mbak nggak kuat, Mbak nggak akan sampai di sini sekarang.”
Syanas tertawa sarkastik, air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Kuat? Lo salah besar. Gue bahkan nggak tau kapan Kahfi menikah sama gue. Semua terjadi begitu aja, kayak gue nggak punya pilihan hidup.”
Sahnum menarik napas, mencoba menyusun kata-katanya dengan hati-hati. “Kak Kahfi itu lima tahun lebih tua dari mbak. Dan aku tau, dia melakukannya bukan karena main-main. Dia nggak pandai ngomong, tapi aku yakin kak Kahfi cuma mau yang terbaik buat mbak.”
Syanas terdiam, matanya membulat. “Lima tahun lebih tua? Masa sih? Dia kelihatan kayak masih brondong tau nggak?”
Sahnum tersenyum kecil. “Kak Kahfi memang kelihatan kayak masih muda banget mbak. Tapi usia itu nggak penting kan? Yang penting, kak Kahfi tanggung jawab.”
Syanas memutar mata, tapi wajahnya mulai melunak. “Lo tau nggak? Gue selalu ngerasa sendirian. Dari kecil, bokap gue meninggal. Nyokap gue menikah lagi sama pria yang,” ia terdiam, suaranya bergetar.
Sahnum menelan ludah, merasa dadanya ikut terhimpit mendengar cerita itu. “Aku tau rasanya kehilangan mbak. Aku juga sering ngerasa sendiri. Tapi Allah selalu kasih jalan, meskipun kita nggak langsung lihat itu.”
Syanas tertawa pahit, menunduk sambil memainkan ujung bajunya. “Lo naif banget sih. Hidup nggak semudah itu.”
“Mungkin,” jawab Sahnum pelan. “Tapi aku percaya, mbak itu hadiah buat keluarga ini. Jujur aja, aku sering berharap punya kakak perempuan. Tapi Allah kasih mbak ke aku. Jadi, walaupun aku nggak tau gimana rasanya jadi mbak, aku mau mbak tau, aku ada disini. Aku nggak akan ninggalin mbak.”
Ucapan itu membuat Syanas tertegun. Ada sesuatu dalam nada Sahnum, ketulusan yang tidak pernah ia rasakan dari siapapun sebelumnya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia cepat-cepat menyeka air matanya, menutupi kelemahannya.
“Lo terlalu baik.” gumamnya, hampir tidak terdengar. “Gue nggak pantas dapet perhatian kayak gini.”
Sahnum menggeleng pelan. “Semua orang pantas mbak. Termasuk mbak.”
Syanas menatap Sahnum dengan pandangan penuh pertimbangan. Matanya menyipit sedikit, mencoba membaca ekspresi adik iparnya yang terlihat begitu tenang dan dewasa.
Namun, dibalik itu, ia merasa ada sesuatu yang mengusik rasa penasarannya.
“Eh, ngomong-ngomong, lo umur berapa sih?” tanyanya akhirnya, mencoba menyembunyikan rasa penasarannya di balik nada santai.
Sahnum tersenyum kecil, seperti sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. “Baru dua puluh tahun mbak.”
Syanas terdiam sejenak, matanya membulat kecil sebelum ia cepat-cepat menutupi keterkejutannya dengan tawa tipis. “Dua puluh tahun? Serius? Kok lo kelihatan dewasa banget ya?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap ringan.
Sahnum hanya mengangkat bahu, senyumnya tetap lembut. “Mungkin karena aku banyak belajar dari orang-orang di sekitar mbak. Kalau nggak, aku juga nggak akan kayak begini.”
Syanas mendengus pelan, tapi tidak menyembunyikan rasa kagumnya sepenuhnya. “Belajar dari orang-orang di sekitar? Lo ini kayak motivator hidup tau nggak?”
Sahnum tertawa kecil, tidak terlalu mengomentari itu. “Aku justru belajar banyak dari keluarga ini mbak. Dan aku bersyukur, Allah kasih aku keluarga kayak begini. Aku juga mau mbak merasa kayak begitu.”
Mendengar itu Syanas mendesah pelan, matanya menatap lantai kamar seakan sedang menimbang sesuatu yang berat. “Gue nggak yakin bisa. Lo tau sendirikan, Kahfi itu keras banget. Dia kayak bos yang nggak ngerti gimana caranya jadi manusia.”
Sahnum menatap Syanas dengan pandangan lembut, tetap menjaga suaranya tenang. “Aku ngerti mbak. Kak Kahfi memang tegas, kadang terlihat kaku. Tapi aku tau dia nggak pernah berniat nyakitin siapapun, apalagi mbak.”
Syanas memutar matanya, mencoba menyembunyikan rasa frustasinya. “Tapi kenapa harus gue yang menerima segala sifat otoriternya?”
Sahnum menarik napas dalam-dalam, tetap menjaga sikapnya agar tidak terkesan menekan. “Kak Kahfi memang keras mbak. Tapi dia orang yang adil. Kalau mbak bisa tunjukkan bahwa mbak juga mau berusaha, kak Kahfi pasti bakal melunak.”
Syanas menatap Sahnum, bibirnya tertutup rapat, seolah mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. “Maksud lo?”
Sahnum tersenyum tipis. “Kalau mbak mau mencoba mendekati kak Kahfi, mulai dari hal-hal kecil kayak minta maaf atau ikut aturan yang dia buat. Aku yakin kak Kahfi bakal kasih ruang buat mbak. Bahkan, kalau mbak punya keinginan tertentu, kak Kahfi pasti bakal mempertimbangkannya.”
Syanas tidak langsung merespons. Ia hanya menatap Sahnum lama, wajahnya sulit dibaca. Namun, ada kilatan kecil di matanya, seolah sedang menyusun sesuatu di kepalanya. “Jadi kalau gue nurut, dia bakal nurut juga?” tanyanya dengan nada suaranya setengah bercanda, setengah serius.
Sahnum mengangguk. “Itu prinsip kak Kahfi. Kalau mbak tunjukkan usaha, dia pasti akan memberi balasan yang setimpal.”
Syanas mendesah pelan, membuang pandangan ke luar jendela. Ia tampak berpikir keras, tapi wajahnya tetap sulit ditebak. “Gue nggak janji apa-apa, tapi gue bakal coba,” ucapnya dengan suaranya pelan tapi penuh arti.
Sahnum tersenyum lebar, matanya berbinar. “Aku yakin mbak bisa. Dan aku bakal ada di sini buat bantu mbak kalau butuh.”
Syanas tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, lalu bangkit dari tempat duduknya. Wajahnya terlihat lebih tenang, tapi senyum kecil yang tersungging di sudut bibirnya menyimpan sesuatu yang hanya ia tahu.
Di dalam hatinya, ia sudah memutuskan bahwa permainan ini baru saja dimulai.
Sahnum memandang Syanas dengan penuh harap, matanya menyiratkan ketulusan yang sulit diabaikan. Ia merapatkan jemarinya di pangkuan, berusaha menyusun kata-kata yang tepat.
“Mungkin mbak bisa mulai dari hal-hal sederhana. Kalau mbak mau, coba deh tutup aurat dulu. Kak Kahfi itu orang yang sangat menghargai hal-hal kayak begitu.”
Syanas melirik Sahnum, alisnya terangkat sedikit. “Tutup aurat? Maksud lo gue harus pake kerudung segala?” tanyanya dengan nada skeptis, meskipun senyum tipis di bibirnya menunjukkan kalau ia sebenarnya tidak terlalu keberatan.
Sahnum mengangguk, suaranya tetap lembut. “Iya mbak. Aku tau ini bukan hal kecil, tapi itu bakal jadi langkah besar buat kak Kahfi lihat kalau mbak serius. Selain itu, coba deh panggil kak Kahfi dengan sebutan yang lebih halus. Jangan langsung nyebut nama, apalagi dengan nada tinggi.”
Syanas mendesah, menahan senyumnya yang semakin melebar. “Jadi gue harus manggil dia apa? Mas? Abang? Kakak? Atau yang lebih manis lagi, sayang gitu?” tanyanya sambil memiringkan kepalanya, nada suaranya penuh godaan.
Sahnum tersenyum kecil, tidak terpengaruh oleh nada bercanda kakak iparnya. “Mbak pilih yang nyaman buat mbak aja. Tapi yang penting halus dan lembut. Kak Kahfi itu gampang naik darah kalau merasa disudutkan. Jadi kalau mbak bisa pelan-pelan meluluhkan hatinya, aku yakin dia bakal lebih mudah diajak bicara.”
Syanas memutar bola matanya, meski bibirnya masih menyunggingkan senyum lebar. Demi sebuah kebebasan dan keluar dari rumah itu apapun akan ia lakukan. “Okelah gue coba.”
Sahnum tersenyum lega. “Aku percaya sama mbak. Kalau mbak mulai dengan langkah kecil ini, aku yakin semuanya bisa berubah lebih baik.”
Syanas terdiam sejenak, tatapannya kosong seolah memikirkan sesuatu yang jauh. Namun, senyuman tipis kembali muncul di bibirnya. Ia mengangguk perlahan. “Baiklah. Gue akan coba cara lo. Tapi ingat, kalau ini gagal, lo yang tanggung jawab.”
Sahnum tersenyum lebar, merasa lega mendengar persetujuan Syanas. “Aku yakin nggak bakal gagal mbak. Yang penting mbak sabar dan ikhlas.”
Namun, di dalam hati Syanas, ia tahu bahwa ini bukan sekadar soal sabar atau ikhlas. Ini tentang bagaimana ia memainkan peran barunya dengan sempurna, membuat Kahfi tunduk tanpa menyadari bahwa ia sedang bermain dalam aturan yang Syanas ciptakan sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
dika edsel
jgn terlalu membeci gus kahfi syas..ntar klo kamu tiba2 jatuh cinta gimana..kan gk lucu..?? hah kamu mau mainin peran kayak apapun pasti gagal..percaya deh, suamimu gk bodoh syas..yg ada kamu ntar yg malu..,jgn sampe peribahasa sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga..tersemat dikamu yah..
2025-01-17
1
Lafaigh Ufaufi
nanti bucin lho shanaz
2025-01-18
0