"Apakah disini ada rokok?" Pertanyaan secara tiba-tiba yang dilayangkan Katarina berhasil membuat Sabrina yang tengah bersantai di ruang keluarga terkejut mendengarnya. Ia menolehkan kepalanya kearah belakang, tepat pada berdirinya Katarina saat ini.
Dilihat dari penampilan Katarina, sepertinya wanita itu baru bangun tidur karena Sabrina memang sengaja membiarkan wanita tersebut beristirahat dengan puas untuk mengisi staminanya. Siapa tau dengan istirahat yang cukup akan mempercepat kehamilan wanita itu.
"Kamu sudah sarapan?" Tanya Sabrina tanpa membalas ucapan Katarina.
Dengan lemas Katarina mendudukkan tubuhnya di samping Sabrina.
"Sudah. Makanya aku butuh rokok untuk menyempurnakan kenikmatan di pagi hari ini. Kamu punya kan?" Sabrina menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak merokok." Katarina yang mendengar hal tersebut menghela nafas kasar dengan punggung yang ia sandarkan di sandaran sofa.
"Apakah kamu perokok aktif?"
Katarina secara tidak sadar menganggukkan kepalanya. Hidupnya sudah benar-benar rusak dan sudah terlalu liar. Rokok sudah ia jadikan pelengkap hidupnya begitu pula dengan minuman beralkohol. Bahkan minuman itu adalah minuman utama untuknya.
Namun beberapa saat setelahnya, ia tersadar akan kesalahan yang baru saja ia buat hingga membuat dirinya kini menegakkan tubuhnya dengan mata yang terbuka lebar.
"A---aku---"
"Tidak apa-apa kalau kamu perokok aktif sebelumnya, tapi sebisa mungkin mulai saat ini kamu berhenti merokok dan sebagai gantinya." Ucapan Sabrina sengaja dirinya jeda dengan tangan yang bergerak mengambil sesuatu di toples yang berada di atas meja.
Katarina yang melihat hal itu ia memincingkan matanya.
"Aaaa, buka mulutmu," ucap Sabrina ketika ia telah melepas plastik pembungkus permen. Dan dengan patuh Katarina membuka mulutnya. Saat itu juga ia bisa merasakan manisnya permen yang mendarat di lidahnya.
"Sekarang ganti rokok dengan permen, oke. Karena rokok itu sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh kamu. Apalagi jika kamu hamil nanti, yang pastinya jika kamu masih mengkonsumsi rokok, maka bayimu yang akan mendapatkan dampaknya. Dan mulai saat ini, aku akan mengawasi kamu," ucap Sabrina dengan menepuk-nepuk punggung tangan milik Katarina, tak lupa senyum lembut pun turut menghiasi wajahnya.
"Oh ya, apa semalam Brendan sudah melakukan hubungan badan dengan kamu?" tanya Katarina. Semalam ia memang menyuruh suaminya untuk tidur dengan Katarina. Bahkan ia sengaja mengunci pintu kamar mereka agar Brendan tak kembali saat ia sudah tidur nyenyak.
"Belum. Dia sama sekali belum menyentuhku. Entah itu tadi malam ataupun malam-malam sebelumnya," jelas Katarina yang berhasil membuat Sabrina menghela nafas sembari menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. Ia sangat tau jika Brendan tidak menyetujui rencana ini sedari awal mereka berdiskusi. Maka tidak heran jika laki-laki itu tak menyentuh Katarina sampai saat ini.
Setelahnya, tak ada lagi percakapan antara dua wanita itu. Mereka tampak sibuk dengan isi pikiran masing-masing. Katarina yang masih bertanya-tanya alasan mereka memilih untuk mencari rahim pengganti. Sedangkan Sabrina, ia memikirkan cara apa yang harus ia lakukan agar suaminya mau menyentuh Katarina.
...****************...
"Sayang, aku pulang!" Teriakan itu menggema seiring langkah kaki yang memasuki kediaman berlantai dua.
Katarina yang tengah bersantai di ruang keluarga pun sampai terperanjat kaget mendengarnya. Ia menolehkan kepalanya kearah sumber suara, dimana ia bisa melihat Brendan melangkah dengan tegas melewati dirinya begitu saja, tanpa menoleh apalagi meliriknya. Entah darimana laki-laki itu sampai sore begini baru pulang. Kalau dilihat-lihat dari pakaian yang dia kenakan, tidak mungkin Brendan baru pulang dari bekerja, soalnya laki-laki itu hanya memakai celana jeans panjang dengan kaos berwarna putih dan di tangannya terdapat jaket mantel tebal.
Katarina mengedikan bahunya memilih untuk kembali memakan apel sembari fokus menonton siaran televisi di depan sana.
Sedangkan Brendan, ia masih mencari keberadaan Sabrina dengan panggilan Sayang yang sayangnya tak mendapat jawaban.
"Kemana dia?" gumam Brendan dengan tubuh yang kini ia dudukkan di pinggir ranjang, perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak, khawatir akan keadaan Sabrina yang menghilang dari pandangannya. Hingga matanya tak sengaja melihat sebuah kertas yang berada di atas nakas.
Ia ambil kertas itu dan membacanya.
"Hai Sayang. Kamu sudah pulang kan saat menemukan surat dariku ini. Maaf ya, aku tidak meminta izin terlebih dahulu kepadamu untuk pergi keluar sebentar. Kamu jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Tapi aku berpesan kepadamu, tolong segara lakukan tugasmu. See you Sayang. Love you."
Brendan mengepalkan tangannya, bahkan kertas itu saat ini sudah kusut dan tak berbentuk. Ia segera meraih ponselnya, mencoba untuk menghubungi nomor Sabrina.
Nada dering memasuki indra pendengarannya, tanda jika ponsel Sabrina masih lah aktif. Hingga suara lembut menyapa dirinya.
📞 : "Hai, Sayang. Ada apa?"
"Kamu dimana? Pulang sekarang!" Ucap Brendan penuh perintah.
📞 : "Apa kamu sudah membaca surat dariku? Dan apa kamu sudah melakukannya?"
Diam, tak ada jawaban dari Brendan atas pertanyaan yang dilayangkan oleh Sabrina. Berharap Sabrina mengartikan keterdiamannya ini sebagai bentuk jika ia sudah melakukan yang di tugaskan istrinya itu. Walaupun pada kenyataannya, tidak sama sekali.
Namun harapan tinggal harapan, Sabrina yang saat ini entah berada di mana, sepertinya tau jika Brendan belum melakukannya.
📞 : "Sayang, aku akan pulang telat, mungkin sampai malam karena sebentar lagi akan terjadi badai salju. Aku harap kamu jangan mencariku. Tetap di rumah, temani Katarina dan jangan lupa hangatkan tubuhmu. Bye Sayang. Love you."
Belum juga Brendan akan melayangkan sebuah protesannya, sambungan telepon tersebut telah di tutup secara sepihak oleh Sabrina yang membuat Brendan menggeram kesal dengan kedua tangan menjambak rambutnya.
Kekesalannya Brendan belum mereda, dering telepon kembali ia dengar. Buru-buru Brendan mengambil ponselnya yang sempat ia banting diatas ranjang. Berharap yang menelpon adalah Sabrina, mengatakan jika istrinya itu akan pulang sekarang dan menemani dirinya di rumah untuk saling menghangatkan di tengah badai salju yang akan terjadi.
Namun harapannya kembali sirna kala nama Mama berada di layar ponselnya.
"Ya, Ma?" ucap Brendan mengangkat telepon dari sang Ibunda sembari tangan satunya yang tak memegang ponsel memijit pangkal hidungnya.
📞 : "Halo Brendan, bagaimana? Apa Sabrina sudah hamil?" Pertanyaan dari wanita paruh baya di sebrang telepon semakin menambah denyut di kepala Brendan.
📞 : "Brendan, kenapa kamu diam saja? Sabrina sudah hamil kan? Dan dimana dia sekarang? Kenapa nomor teleponnya tidak aktif?"
Brendan tak terkejut sama sekali ketika sang Ibunda mengatakan jika ponsel Sabrina tidak aktif karena ia tahu, istrinya itu sengaja mematikan ponselnya agar tak mendapatkan teror darinya.
"Sabrina belum hamil, Ma. Tolong bersabarlah sebentar."
📞 : "Ck, Mama, Papa bahkan mertua kamu sudah cukup sabar menanti cucu dari kalian berdua. Jadi kita tidak mau tau bulan ini kita harus mendapatkan kabar akan kehamilan Sabrina!"
"Ma---"
Tut Tut Tut
Sambungan telepon terputus secara sepihak yang membuat Brendan menjambak rambutnya. Erangan penuh kekesalan pun menggema di dalam kamar, menandakan begitu besar rasa frustasi di dalam dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Hany
nah dr sini aku berubah pikiran yg tadinya nuduh Sabrina licik,tp kemungkinan besar dia wanita baik,istri yg memang betul-betul gak bisa hamil,dan kemungkinan besar malah Katrina nanti yg berubah ingin memiliki anaknya sendiri
2025-01-13
2
Radya Arynda
sambar katrina,,,semogah bento bisa jatuh cinta padamu,,,,,caaantiku ayooo semangaaaat👍👍👍💪💪💪💪💪💪💪
2025-01-09
2
Indar
duh kasihan sabrina dituntut hrs hamil 😔😔
2025-01-10
3