BAB 16: Awal Kerja

Langit sudah berwarna jingga ketika kami sampai. Banyak bapak-bapak yang mau pulang. Karena ke tempat ini lagi, fokus gue terarah pada warung langganan gue beli roti. Sayangnya, gue emang sudah benar-benar gak punya uang. Gue cuma bisa ngelihatin roti-roti itu di meja.

"Di mana pohonnya, Do?"

"Eh iya. Di sana, Pak."

Gue menganga lebar ketika melihat kursi panjang yang sebelumnya dilempar Torgol ke sungai sekarang sudah ada lagi di tempat semula. Gue berjalan cepat memperhatikan kursi itu. Iya! Ini kursi yang sama! Siapa yang ngembaliin, ya?

"Kata lo kursinya dibuang Torgol. Ini masih ada."

"Kok ada, ya!?"

Daun-daun kering berjatuhan dari pohon di belakang kami. Ada embusan angin misterius.

"Siap-siap, Do."

"Hah? Siap-siap buat apaan, Pak?"

Keluarlah sepasang tangan dengan kuku-kuku panjang dari dalam pohon.

"Itu dia, Pak!"

Tangan itu memanjang ke arah kami!

"Awas, Pak!"

Bukannya panik atau menghindar kayak gue, Sulay malah menarik tangan itu! Sulay memegangi tangan itu sampai keluar asap hitam di sana. Terdengar suara jeritan yang melengking. Sulay kemudian menarik tangan itu dengan keras. Seorang cewek berbaju putih meloncat dari dalam pohon!

"Le ... pas ... le ... pas!" katanya.

"Ada pertanyaan yang harus lo jawab, baru gue lepasin."

"Le ... pas!"

"Kulepas semua ... yang kuinginkan~"

Sulay menyepak kaki gue.

"Kenapa lo malah nyanyi bego!"

Sekarang, kami bertiga duduk di kursi panjang di pinggir sungai. Gue dan Sulay duduk di antara cewek yang masih gak kelihatan mukanya ini. Gue masih takut kalau ingat waktu dia mencengkeram bahu gue. Untuk sesaat, gue merasa Sulay ini keren banget. Dia bisa bikin hantu takut dan nurut. Orang yang suka Naruto emang beda.

"Lo pasti tahu, kan kalau kami nurunin spirit di sini?"

Cewek itu mengangguk.

"Dia ngapain aja waktu kami tinggal?"

Cewek itu diam aja.

"Dia udah gak ada. Gak usah takut."

"Dia ... mau mengambil pohon saya."

"Terus?"

"Saya kalah ... dia dapat."

"Cuma itu?"

Cewek itu mengangguk. Sekarang, giliran gue yang mau nanya sama dia.

"Mohon maaf ... Mbak? Waktu itu, kenapa dia buang kursi ini, ya?"

"Tidak tahu."

"W-waktu itu kenapa kamu menangkap saya?"

"Karena saya pikir kamu teman jin itu."

"Kenapa ... kamu waktu itu berhenti menyerang saya? Dan kenapa kursi ini kembali ke sini?"

"Kamu punya hubungan dengan ratu kami. Saya tidak berani dengan ratu kami."

"Ratu?"

Dia cuma mengangguk.

"Terus kursi?"

"Dikembalikan lagi oleh jin itu. Setelah kamu pulang."

Sulay berdiri dan pergi begitu aja. Gue buru-buru menyusulnya. Cewek itu masih duduk di kursi, dan mukanya masih gak kelihatan.

"Kenapa, Pak?"

"Sia-sia, Do. Gak ada informasi penting. Kita buang-buang waktu."

"Terus gimana?"

"Kita ke rumah lo. Gue mau ketemu sama Dea."

Sulay menggaruk-garuk kepala ketika kami berdiri di depan pintu rumah gue yang gak bisa dibuka. Seperti yang gue bilang sebelumnya, hal ini karena gue jenius dalam pertukangan.

"Terus caranya lo masuk gimana?"

"Bentar, Pak."

Gue menebas pintu gue lagi. Terbuka. Simpel, kan?

"Lo juara satu soal bego-begoan," kata Sulay.

Gue langsung mempersilakan Sulay buat duduk atau mau keliling, terserah dia. Gue membuka kulkas, mengambil sisa roti bikinan Naya tadi siang.

"Makan dulu, Pak."

"Lo bisa masak roti?"

"Bukan, Pak ... itu ... ehe ... ehe ... dimasakin."

Kami memakan roti itu. Sulay tampak waspada setiap saat. Matanya melirik ke segala arah, terutama kamar mandi.

"Lo masih nyimpan fotonya, kan?"

"I-iya, Pak. Ada di kamar."

Baru aja gue mau berdiri, keran air tiba-tiba nyala! Sulay langsung menuju kamar mandi dan memukul ke dalam! Entah apa yang dia pukul.

"Ada apa, Pak!?"

Gak ada jawaban. Cuma keran air yang mati sendiri.

"Orang ini teman kamu, Do?"

Dea keluar kamar mandi sambil menyeret Sulay!

"HAH!? KENAPA DISERET GITU!"

Sulay mencoba melepaskan diri, namun gak berhasil.

"Dia mau mukul aku, Do. Dia jahat!"

"Gak semua orang yang kamu anggap jahat beneran jahat ... Dea!"

Dia melepaskan Sulay. Sulay telentang di lantai sambil memegangi lengan kanannya. Dea mendekati gue, mengambil sisa roti di piring gue lalu memakannya. Gue membantu Sulay berdiri. Tangan kanannya gemetaran. Kami bertiga duduk di meja makan. Dea memandangi Sulay yang kesakitan dengan sinis.

"Kenapa lo ... nyerang gue!?" tanya Sulay.

"Lo duluan yang nyerang gue!"

Mereka mau saling pukul lagi!

"Eh tenang! Santai!" kata gue.

Dea melipat kedua tangannya di dada. Mukanya tampak kesal.

"Do, dia ini jin jahat! Dia jin paling jahat dalam sejarah kantor kita!"

Gue memandangi Dea yang duduk di samping gue.

"Dia ... jin paling cantik ... kok."

Dea menoleh ke arah gue. Dia kembali senyum.

"Do! Lo apa-apaan, sih! Lo harus percaya sama gue!"

Gue berjalan masuk ke kamar, mengambil foto Dea di saku celana gue yang lainnya.

"Ini ... kamu, kan?"

Gue meletakkan foto itu di meja.

"Nah ini dia! Untung gak hilang. Makasih, ya, Do!"

Sulay dengan cepat mengambil foto itu.

"Lo mau apa dari Mardo!?"

"Balikin nggak!?"

Mereka mau saling pukul lagi. Kacau.

"Eh ...! mending ... kita ngopi dulu kali, ya. Biar enak ngobrolnya."

Nah, satu-satunya produk konsumsi yang ada di rumah gue adalah biji kopi. Masih ingat, kan waktu gue beli peralatan mata-mata di pasar? Gue segera membuat kopi dengan gembira. Karena semenjak gue kenal Mery, gue pengin dia nyobain kopi bikinan gue. Gue pengin tahu komentar dari tukang kopi beneran.

Dea dan Sulay masih gak mau saling menatap. Gue meletakkan tiga cangkir kopi di depan mereka. Karena keterbatasan alat dan kemampuan gue yang biasa aja, gue cuma bisa bikin kopi tubruk.

"Ayo, ayo ... ngopi dulu bro ...." kata gue dengan semangat.

Ketika semuanya sudah minum, dan gue rasa keadaan sudah mulai tenang, barulah gue beranikan diri buat memulai obrolan.

"Emm ... jadi gimana kopinya?"

"Enak. Aku suka," kata Dea.

"Lumayan, tapi masih jauh dari bikinan Mery."

Gue mengambil foto Dea dari tangan Sulay, memandanginya, lalu memandangi Dea di samping gue.

"Ini foto kamu waktu kapan ... De ... Ya ...?"

"Ini bukan foto. Ini lukisan."

Gue memperhatikan baik-baik foto itu.

"Enggak ... ini foto. Masa ada lukisan sebagus ini?"

"Iya, itu lukisan. Pelukisnya emang jago banget."

"Terus? Kapan ini dibikinnya?"

"Tahun lalu."

Sulay meletakkan cangkir kopi denga keras.

"Sekarang jawab. Lo mau apa dari Mardo?"

Gue menatap Dea.

"Bantu aku ketemu sama pelukisnya."

"Hah!? Emang kamu gak tahu siapa yang melukis? Terus kamu dapat ini di mana?"

Dea menggeleng.

"Ini hadiah perpisahan dari teman aku. Sebelum dia meninggal."

"Terus kamu mau apa kalau ketemu dia?"

Dea diam aja.

"Satu hal lagi. Kenapa lo menyegel Torgol ke dalam pedang Mardo?"

"Dia jahat! Dari awal dia berencana masuk ke dalam tubuh Mardo!"

"Tapi ... dia bantuin aku, kok waktu melawan Alan."

"Dia jago pura-pura. Karena emang itu kemampuan khususnya. Kalau aja dia berhasil masuk ke tubuh kamu, dia pasti sering ngendaliin emosi kamu, Do."

"Terus? Kenapa dia gak masuk-masuk? Justru dia kabur waktu aku temuin di pemancingan."

Dea menyingkap celana gue. Menunjukkan bekas luka yang sudah tertutupi sebuah tulisan.

"Karena kontrak ini. Cuma aku yang bisa masuk ke dalam tubuh kamu."

Iya juga, ya! Kenapa gue bisa selupa ini sama tulisan di kaki gue sendiri!? Sulay juga gak bahas hal ini lagi. Sialan. Si Bos juga gak pernah nanya soal hal ini lagi. Padahal, kalau emang Dea seburuk itu, sejahat itu dan seberbahaya itu ... harusnya perkara kontrak dan tanda ini jadi begitu penting buat dibahas. Aneh.

"Apa artinya kontrak ini buat kita?"

"Kita berbagi kehidupan, Do. Kamu dapat sebagian kekuatan gaib dari aku, dan aku dapat sebagian kehidupan dari kamu. Kamu jadi kuat dan kamu bisa komunikasi dengan jin, sementara aku ... aku merasa jadi manusia. Aku punya emosi dan kenangan. Aku merasa ... hidup. Karena kamu."

Sulay memegangi dahinya.

"Sekarang apa yang terjadi sama Torgol?"

"Dia dan pedang ini udah jadi satu. Dia masih hidup, tapi gak punya kuasa apa-apa lagi."

"Tuh, kan, Do! Dia ini jahat! Dia ini kejam, tahu!"

Gue menghabiskan kopi lalu kembali memandangi foto Dea yang ternyata sebuah lukisan.

"Kita mulai dari mana pencarian ini?"

Dea tersenyum.

Episodes
1 BAB 1: Ingin Kerja
2 BAB 2: Rekan Kerja
3 BAB 3: Risiko Kerja
4 BAB 4: Kontrak Kerja
5 BAB 5: Pulang Kerja
6 BAB 6: Efek Kerja
7 BAB 7: Masuk Kerja
8 BAB 8: Latihan Kerja
9 BAB 9: Mulai Kerja
10 BAB 10: Cara Kerja
11 BAB 11: Dampak Kerja
12 BAB 12: Racun Kerja
13 BAB 13: Api Kerja
14 BAB 14: Warna Kerja
15 BAB 15: Spirit Kerja
16 BAB 16: Awal Kerja
17 BAB 17: Dandanan Kerja
18 BAB 18: Bulan Kerja
19 BAB 19: Amarah Kerja
20 BAB 20: Rencana Kerja
21 BAB 21: Mery dan Lukanya
22 BAB 22: Berkas dan Nasi Gorengnya
23 BAB 23: Dea dan Perasaannya
24 BAB 24: Es Krim dan Bayangannya
25 BAB 25: Bunga Kuning dan Wujudnya
26 BAB 26: Kotak dan Pitanya
27 BAB 27: Kuyang dan Kekuatannya
28 BAB 28: Senyuman dan Langkahnya
29 BAB 29: Sihir dan Warnanya
30 BAB 30: Pasar Gaib dan Uangnya
31 BAB 31: Kuda dan Topengnya
32 BAB 32: Air Mata dan Kecepatannya
33 BAB 33: Bulan Pucat dan Alasannya
34 BAB 34: Perebutan dan Jawabannya
35 BAB 35: Naya dan Sayapnya
36 BAB 36: Asap Hijau dan Aromanya
37 BAB 37: Latihan dan Waktunya
38 BAB 38: Bambu dan Suaranya
39 BAB 39: Bandara dan Kemauannya
40 BAB 40: Torgol dan Misinya
41 BAB 41: Sebuah Perjalanan
42 BAB 42: Sebuah Rumah
43 BAB 43: Sebuah Cerita
44 BAB 44: Sebuah Tanggal
45 BAB 45: Sebuah Pohon
46 BAB 46: Sebuah Rooftop
47 BAB 47: Sebuah Ambisi
48 BAB 48: Sebuah Persiapan
49 BAB 49: Sebuah Pertemuan
50 BAB 50: Sebuah Perbincangan
51 BAB 51: Sebuah Informasi
52 BAB 52: Sebuah Patahan
53 BAB 53: Sebuah Pengobatan
54 BAB 54: Sebuah Gaji
55 BAB 55: Sebuah Perkumpulan
56 BAB 56: Sebuah Bank
57 BAB 57: Sebuah Gambaran
58 BAB 58: Sebuah Warna
59 BAB 59: Sebuah Pencurian
60 BAB 60: Sebuah Batu
61 BAB 61: Cerita Material Itu
62 BAB 62: Cerita Buku Itu
63 BAB 63: Cerita Mobil Itu
64 BAB 64: Cerita Pasar Itu
65 BAB 65: Cerita Penangkapan Itu
66 BAB 66: Cerita Pelarian Itu
67 BAB 67: Cerita Mbah Itu
68 BAB 68: Cerita Sekolah Itu
69 BAB 69: Cerita Cewek Itu
70 BAB 70: Cerita Bubur Itu
71 BAB 71: Cerita Dinding Itu
72 BAB 72: Cerita Sungai Itu
73 BAB 73: Cerita Penempa Itu
74 BAB 74: Cerita Pedang Itu
75 BAB 75: Cerita Luka Itu
76 BAB 76: Cerita Serangan Itu
77 BAB 77: Cerita Pertikaian Itu
78 BAB 78: Cerita Video Itu
79 BAB 79: Cerita Gang Itu
80 BAB 80: Cerita Kucing Itu
81 BAB 81: Tentang Vivin dan Nita
82 BAB 82: Tentang Gosip di Kantor
83 BAB 83: Tentang Mencari Barang
84 BAB 84: Tentang Sebuah Flashdisk
85 BAB 85: Tentang Hantu yang Kecewa
Episodes

Updated 85 Episodes

1
BAB 1: Ingin Kerja
2
BAB 2: Rekan Kerja
3
BAB 3: Risiko Kerja
4
BAB 4: Kontrak Kerja
5
BAB 5: Pulang Kerja
6
BAB 6: Efek Kerja
7
BAB 7: Masuk Kerja
8
BAB 8: Latihan Kerja
9
BAB 9: Mulai Kerja
10
BAB 10: Cara Kerja
11
BAB 11: Dampak Kerja
12
BAB 12: Racun Kerja
13
BAB 13: Api Kerja
14
BAB 14: Warna Kerja
15
BAB 15: Spirit Kerja
16
BAB 16: Awal Kerja
17
BAB 17: Dandanan Kerja
18
BAB 18: Bulan Kerja
19
BAB 19: Amarah Kerja
20
BAB 20: Rencana Kerja
21
BAB 21: Mery dan Lukanya
22
BAB 22: Berkas dan Nasi Gorengnya
23
BAB 23: Dea dan Perasaannya
24
BAB 24: Es Krim dan Bayangannya
25
BAB 25: Bunga Kuning dan Wujudnya
26
BAB 26: Kotak dan Pitanya
27
BAB 27: Kuyang dan Kekuatannya
28
BAB 28: Senyuman dan Langkahnya
29
BAB 29: Sihir dan Warnanya
30
BAB 30: Pasar Gaib dan Uangnya
31
BAB 31: Kuda dan Topengnya
32
BAB 32: Air Mata dan Kecepatannya
33
BAB 33: Bulan Pucat dan Alasannya
34
BAB 34: Perebutan dan Jawabannya
35
BAB 35: Naya dan Sayapnya
36
BAB 36: Asap Hijau dan Aromanya
37
BAB 37: Latihan dan Waktunya
38
BAB 38: Bambu dan Suaranya
39
BAB 39: Bandara dan Kemauannya
40
BAB 40: Torgol dan Misinya
41
BAB 41: Sebuah Perjalanan
42
BAB 42: Sebuah Rumah
43
BAB 43: Sebuah Cerita
44
BAB 44: Sebuah Tanggal
45
BAB 45: Sebuah Pohon
46
BAB 46: Sebuah Rooftop
47
BAB 47: Sebuah Ambisi
48
BAB 48: Sebuah Persiapan
49
BAB 49: Sebuah Pertemuan
50
BAB 50: Sebuah Perbincangan
51
BAB 51: Sebuah Informasi
52
BAB 52: Sebuah Patahan
53
BAB 53: Sebuah Pengobatan
54
BAB 54: Sebuah Gaji
55
BAB 55: Sebuah Perkumpulan
56
BAB 56: Sebuah Bank
57
BAB 57: Sebuah Gambaran
58
BAB 58: Sebuah Warna
59
BAB 59: Sebuah Pencurian
60
BAB 60: Sebuah Batu
61
BAB 61: Cerita Material Itu
62
BAB 62: Cerita Buku Itu
63
BAB 63: Cerita Mobil Itu
64
BAB 64: Cerita Pasar Itu
65
BAB 65: Cerita Penangkapan Itu
66
BAB 66: Cerita Pelarian Itu
67
BAB 67: Cerita Mbah Itu
68
BAB 68: Cerita Sekolah Itu
69
BAB 69: Cerita Cewek Itu
70
BAB 70: Cerita Bubur Itu
71
BAB 71: Cerita Dinding Itu
72
BAB 72: Cerita Sungai Itu
73
BAB 73: Cerita Penempa Itu
74
BAB 74: Cerita Pedang Itu
75
BAB 75: Cerita Luka Itu
76
BAB 76: Cerita Serangan Itu
77
BAB 77: Cerita Pertikaian Itu
78
BAB 78: Cerita Video Itu
79
BAB 79: Cerita Gang Itu
80
BAB 80: Cerita Kucing Itu
81
BAB 81: Tentang Vivin dan Nita
82
BAB 82: Tentang Gosip di Kantor
83
BAB 83: Tentang Mencari Barang
84
BAB 84: Tentang Sebuah Flashdisk
85
BAB 85: Tentang Hantu yang Kecewa

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!