BAB 7: Masuk Kerja

Ikan itu mulai menunjukkan tanda bahwa dia hampir menyerah. Melihat ada kesempatan, gue segera menariknya. Dan itulah ikan pertama gue hari ini. Bapak-bapak di sebelah gue tersenyum puas. Setelah melepaskan kail pancing yang menyangkut dan menusuk bibirnya, gue melihat ada luka di sana.

"Pak, kalau dia luka begitu, dia masih bisa hidup gak, ya?"

"Bisa ... tapi, ya namanya luka butuh waktu buat sembuh."

"Kalau dia udah sembuh, dia masih bisa berenang kayak semula gak, Pak?"

Bapak-bapak itu memikirkan pertanyaan gue.

"Gak tahu juga, ya. Biasanya, sih sebelum lukanya sembuh dia sudah saya makan. Hahaha."

Entah kenapa, seperti muncul sebuah pemikiran di kepala gue. Tentang memancing, ikan, dan luka. Gue gak bisa mikirin itu di sini, tepatnya di sebelah bapak-bapak ini. Gue harus cari tempat lain, yang lebih teduh dan lebih cocok buat makan roti favorit gue. Bergeraklah gue menuju kursi panjang di pinggir sungai yang di atasnya tertutupi bayang-bayang pohon besar.

Selama yang gue ketahui dari tempat ini, gak ada pemancing yang mau duduk di sini. Aneh banget, padahal di sini dingin dan enak. Katanya, orang-orang takut sama pohon besar di belakangnya. Gue memakan roti isi selai nanas, makanan favorit gue waktu mancing. Lalu, gue menyadari dan menemukan sebuah pola dari kegiatan memancing ini.

Sebelum memancing, gue biasanya sudah punya target mau dapatin ikan apa. Karena sudah tau targetnya, maka gue akan menyediakan umpan favoritnya. Yang gue lakukan berikutnya adalah menunggu, bersabar, dan memastikan gue ada dalam waktu dan situasi yang tepat.

Ketika umpan disambar, terasa getaran di joran pancing yang membuat gue bahagia. Seakan pertanda bahwa penantian gue gak sia-sia. Lalu, tarik-menarik antara gue dan si ikan akan terjadi. Kemungkinannya adalah: ikan menyerahkan diri, gue dapat. Ikan melawan, tali putus, gue gak dapat, umpan hilang. Atau, gue dapat dengan keadaan ikan yang pasrah dan terluka.

Anjir! Belum lama gue duduk dekat pohon besar gini gue langsung jadi orang yang filosofis! Gimana kalau gue ketiduran, ya? Bangun-bangun gue jadi profesor! Pada gigitan roti terakhir, terbayanglah wajah Naya, mantan pacar gue. Sambil memandangi sungai yang tenang, membuat gue teringat hari di mana Naya menatap mata gue, tersenyum manis, lalu bilang, 'Aku juga suka sama kamu.'

Waktu itu, gue mengumpulkan semua keberanian, menepiskan segala ketakutan, meyakinkan diri bahwa inilah saatnya. Sekarang, atau enggak selamanya. Dia kelihatan senang banget. Wajahnya berseri-seri sambil menatap papan kelulusan yang baru aja ditempel. Nama kami ada di sana. Menjadi pertanda hari terakhir kami sekolah bersama.

"Do! Kita lulus!" katanya.

Gue cuma senyum-senyum, menyimpan kalimat yang akan gue ucapkan setelah ini.

"Nay, habis lulus kamu mau ngapain?"

"Kuliah. Mau ngambil sastra. Kalau kamu?"

"Enggak tahu. Belum ada rencana."

"Gak boleh gitu ... Mardo. Kita itu harus bisa melihat rencana ke depan."

Gue melihatnya. Seorang perempuan dengan rambut ikal panjang, dengan anting-anting berbentuk butiran salju, dan senyum yang sanggup melelehkan matahari mana pun.

"Do? Kamu melihat apa?"

"Rencana ke depan."

"Hah?"

"Rencana ke depanku, ya kamu."

"Hah? Apaan, sih, Do? Gak jelas banget."

"Aku berencana membiarkan rasa sukaku ke kamu untuk selamanya. Aku harus pakai kalimat apa lagi biar kamu ngerti kalau aku suka sama kamu?"

Naya terdiam menatap gue, yang untungnya bisa ngomong lancar kali ini. Gue rasa setelah ini kami akan menjadi canggung dan berjarak. Ternyata, sambil menatap mata gue, dia tersenyum dan mengatakan, 'Aku juga suka sama kamu.'

Cuaca menjadi mendung, angin berembus di antara daun-daun kering yang berjatuhan. Kalau mengingat lagi saat-saat itu dan setelahnya, gue yakin gue akan nangis. Karena saat-saat manis kayak gitu sudah lewat dan gak akan kembali lagi. Mungkin, Naya adalah ikan itu. Ikan yang terluka karena gue, lalu pergi untuk menyudahi kepedihannya.

Karena udara semakin dingin dan angin semakin kencang, gue memutuskan untuk pulang. Bapak-bapak tadi juga sudah gak kelihatan, yang artinya pulang ke rumah adalah keputusan tepat. Di perjalanan, gue juga teringat kata-kata terakhir gue padanya. Ketika gue merasa bahwa putus adalah keputusan yang tepat karena gue gak memiliki perasaan yang sama kayak dulu. Ternyata, gue sesalah itu dalam merasa.

Di rumah, kejadian keran air bunyi sendiri kembali terulang. Karena perasaan hati yang sejak tadi campur aduk, gue segera menghampiri kamar mandi dan menendang pintunya sampai terbuka. Gak ada siapa pun di sana, tapi gue melihat keran air yang langsung menutup dan berhenti. Karena kesal, gue putar aja kembali keran airnya! Anehnya gak ada satu tetes air pun yang keluar! Gue segera keluar rumah, dan tersadarlah gue saat melihat bahwa layanan air bersih gue dihentikan karena gue telat bayar 3 bulan.

Gue melihat ke dalam, ke arah kamar mandi. Keran air itu nyala lagi! Gue gak tahu apa yang terjadi dan kenapa hal kayak gini bisa kejadian. Gue mendekatinya perlahan, mengintip sedikit, lalu masuk ke dalam. Seperti apa yang pernah terjadi sebelumnya, kelopak bunga mawar merah yang tercincang berserakan di lantai. Satu hal yang berbeda dan bikin kaget adalah, pedang gue ada di antaranya! Pedang yang sebelumnya berwarna putih keabuan dari ujung ke ujung, sekarang berwarna merah pada gagangnya.

Gue berjalan cepat masuk ke kamar sambil membawa pedang itu. Di kamar, gue gak menemukan hal aneh. Hanya tergeletak HP gue yang menyala sambil terdengar lagu Indonesia Raya. Sebuah telepon dari Sulay.

"I-iya, Pak? Ada apa, Pak?"

"Lo ke mana aja, sih!? Baru ngangkat sekarang!"

"Maaf, Pak. Tadi dari tempat mancing."

"Lo ke kantor sekarang, ya. Ada kerjaan yang mau kita bahas."

Telepon berakhir. Gue bersiap-siap, dan ketika mau berangkat, gue melihat pedang gue yang terbaring di meja laptop. Takut kejadian mata-mata di kuburan terulang kembali, gue memutuskan untuk membawanya. Karena agak menyeramkan kalau pedang itu dibiarin telanjang, gue pun membungkusnya dengan handuk.

Sulay, si Bos, serta Mery ada di satu meja. Mereka sedang menatap gue.

"Kenapa kayak habis ngelihat setan?" tanya Mery.

"Mardo, duduk dulu," kata si Bos.

Gue meletakkan pedang di samping kaki gue, dan si Bos langsung mengisyaratkan gue untuk berhenti.

"Taruh di meja! Itu bukan pedang sembarangan."

Gue menurutinya.

"Dibungkus pakai kain apaan, tuh!? Lusuh banget! Lepas, lepas!" kata Sulay.

Gue membuka handuknya.

"I-ini ... handuk kesayangan gue, Pak."

Si Bos, Sulay dan Mery saling melirik.

"Mardo, kata Sulay rumah kamu kemalingan, ya?" tanya si Bos.

"Iya, Bos ... tadinya saya kira itu maling gayung, ternyata bukan."

"Lo udah tahu?" tanya Sulay.

"Kata Sulay gue main ke rumah lo. Habis itu hilang. Aneh banget, gue aja gak tahu rumah lo di mana." sahut Mery.

Mereka menunggu jawaban gue.

"Ada keran air nyala sendiri, padahal gak ada orang. Lampu mati nyala sendiri, terus ada Mery datang, tapi cuma banyak senyum, sedikit ngomong, dan dia gak pake gelang. Habis itu dia masuk ke kamar mandi, terus hilang."

"Apakah kamu menemukan bunga mawar?" tanya si Bos.

Gue mengangguk. Mereka bertiga saling melirik. Sulay langsung menunduk dan menarik napas panjang. Mery menyandarkan tubuh ke belakang sambil memejamkan mata. Si Bos memegangi dahinya. Dan gue, gak tahu mereka semua kenapa. Karena situasi menjadi hening, lagu Indonesia Raya dari HP gue tentu bikin kaget semuanya.

Tertulis sebuah nama di layarnya. Nama yang sudah lama gak muncul di sana.

Episodes
1 BAB 1: Ingin Kerja
2 BAB 2: Rekan Kerja
3 BAB 3: Risiko Kerja
4 BAB 4: Kontrak Kerja
5 BAB 5: Pulang Kerja
6 BAB 6: Efek Kerja
7 BAB 7: Masuk Kerja
8 BAB 8: Latihan Kerja
9 BAB 9: Mulai Kerja
10 BAB 10: Cara Kerja
11 BAB 11: Dampak Kerja
12 BAB 12: Racun Kerja
13 BAB 13: Api Kerja
14 BAB 14: Warna Kerja
15 BAB 15: Spirit Kerja
16 BAB 16: Awal Kerja
17 BAB 17: Dandanan Kerja
18 BAB 18: Bulan Kerja
19 BAB 19: Amarah Kerja
20 BAB 20: Rencana Kerja
21 BAB 21: Mery dan Lukanya
22 BAB 22: Berkas dan Nasi Gorengnya
23 BAB 23: Dea dan Perasaannya
24 BAB 24: Es Krim dan Bayangannya
25 BAB 25: Bunga Kuning dan Wujudnya
26 BAB 26: Kotak dan Pitanya
27 BAB 27: Kuyang dan Kekuatannya
28 BAB 28: Senyuman dan Langkahnya
29 BAB 29: Sihir dan Warnanya
30 BAB 30: Pasar Gaib dan Uangnya
31 BAB 31: Kuda dan Topengnya
32 BAB 32: Air Mata dan Kecepatannya
33 BAB 33: Bulan Pucat dan Alasannya
34 BAB 34: Perebutan dan Jawabannya
35 BAB 35: Naya dan Sayapnya
36 BAB 36: Asap Hijau dan Aromanya
37 BAB 37: Latihan dan Waktunya
38 BAB 38: Bambu dan Suaranya
39 BAB 39: Bandara dan Kemauannya
40 BAB 40: Torgol dan Misinya
41 BAB 41: Sebuah Perjalanan
42 BAB 42: Sebuah Rumah
43 BAB 43: Sebuah Cerita
44 BAB 44: Sebuah Tanggal
45 BAB 45: Sebuah Pohon
46 BAB 46: Sebuah Rooftop
47 BAB 47: Sebuah Ambisi
48 BAB 48: Sebuah Persiapan
49 BAB 49: Sebuah Pertemuan
50 BAB 50: Sebuah Perbincangan
51 BAB 51: Sebuah Informasi
52 BAB 52: Sebuah Patahan
53 BAB 53: Sebuah Pengobatan
54 BAB 54: Sebuah Gaji
55 BAB 55: Sebuah Perkumpulan
56 BAB 56: Sebuah Bank
57 BAB 57: Sebuah Gambaran
58 BAB 58: Sebuah Warna
59 BAB 59: Sebuah Pencurian
60 BAB 60: Sebuah Batu
61 BAB 61: Cerita Material Itu
62 BAB 62: Cerita Buku Itu
63 BAB 63: Cerita Mobil Itu
64 BAB 64: Cerita Pasar Itu
65 BAB 65: Cerita Penangkapan Itu
66 BAB 66: Cerita Pelarian Itu
67 BAB 67: Cerita Mbah Itu
68 BAB 68: Cerita Sekolah Itu
69 BAB 69: Cerita Cewek Itu
70 BAB 70: Cerita Bubur Itu
71 BAB 71: Cerita Dinding Itu
72 BAB 72: Cerita Sungai Itu
73 BAB 73: Cerita Penempa Itu
74 BAB 74: Cerita Pedang Itu
75 BAB 75: Cerita Luka Itu
76 BAB 76: Cerita Serangan Itu
77 BAB 77: Cerita Pertikaian Itu
78 BAB 78: Cerita Video Itu
79 BAB 79: Cerita Gang Itu
80 BAB 80: Cerita Kucing Itu
81 BAB 81: Tentang Vivin dan Nita
82 BAB 82: Tentang Gosip di Kantor
83 BAB 83: Tentang Mencari Barang
84 BAB 84: Tentang Sebuah Flashdisk
85 BAB 85: Tentang Hantu yang Kecewa
Episodes

Updated 85 Episodes

1
BAB 1: Ingin Kerja
2
BAB 2: Rekan Kerja
3
BAB 3: Risiko Kerja
4
BAB 4: Kontrak Kerja
5
BAB 5: Pulang Kerja
6
BAB 6: Efek Kerja
7
BAB 7: Masuk Kerja
8
BAB 8: Latihan Kerja
9
BAB 9: Mulai Kerja
10
BAB 10: Cara Kerja
11
BAB 11: Dampak Kerja
12
BAB 12: Racun Kerja
13
BAB 13: Api Kerja
14
BAB 14: Warna Kerja
15
BAB 15: Spirit Kerja
16
BAB 16: Awal Kerja
17
BAB 17: Dandanan Kerja
18
BAB 18: Bulan Kerja
19
BAB 19: Amarah Kerja
20
BAB 20: Rencana Kerja
21
BAB 21: Mery dan Lukanya
22
BAB 22: Berkas dan Nasi Gorengnya
23
BAB 23: Dea dan Perasaannya
24
BAB 24: Es Krim dan Bayangannya
25
BAB 25: Bunga Kuning dan Wujudnya
26
BAB 26: Kotak dan Pitanya
27
BAB 27: Kuyang dan Kekuatannya
28
BAB 28: Senyuman dan Langkahnya
29
BAB 29: Sihir dan Warnanya
30
BAB 30: Pasar Gaib dan Uangnya
31
BAB 31: Kuda dan Topengnya
32
BAB 32: Air Mata dan Kecepatannya
33
BAB 33: Bulan Pucat dan Alasannya
34
BAB 34: Perebutan dan Jawabannya
35
BAB 35: Naya dan Sayapnya
36
BAB 36: Asap Hijau dan Aromanya
37
BAB 37: Latihan dan Waktunya
38
BAB 38: Bambu dan Suaranya
39
BAB 39: Bandara dan Kemauannya
40
BAB 40: Torgol dan Misinya
41
BAB 41: Sebuah Perjalanan
42
BAB 42: Sebuah Rumah
43
BAB 43: Sebuah Cerita
44
BAB 44: Sebuah Tanggal
45
BAB 45: Sebuah Pohon
46
BAB 46: Sebuah Rooftop
47
BAB 47: Sebuah Ambisi
48
BAB 48: Sebuah Persiapan
49
BAB 49: Sebuah Pertemuan
50
BAB 50: Sebuah Perbincangan
51
BAB 51: Sebuah Informasi
52
BAB 52: Sebuah Patahan
53
BAB 53: Sebuah Pengobatan
54
BAB 54: Sebuah Gaji
55
BAB 55: Sebuah Perkumpulan
56
BAB 56: Sebuah Bank
57
BAB 57: Sebuah Gambaran
58
BAB 58: Sebuah Warna
59
BAB 59: Sebuah Pencurian
60
BAB 60: Sebuah Batu
61
BAB 61: Cerita Material Itu
62
BAB 62: Cerita Buku Itu
63
BAB 63: Cerita Mobil Itu
64
BAB 64: Cerita Pasar Itu
65
BAB 65: Cerita Penangkapan Itu
66
BAB 66: Cerita Pelarian Itu
67
BAB 67: Cerita Mbah Itu
68
BAB 68: Cerita Sekolah Itu
69
BAB 69: Cerita Cewek Itu
70
BAB 70: Cerita Bubur Itu
71
BAB 71: Cerita Dinding Itu
72
BAB 72: Cerita Sungai Itu
73
BAB 73: Cerita Penempa Itu
74
BAB 74: Cerita Pedang Itu
75
BAB 75: Cerita Luka Itu
76
BAB 76: Cerita Serangan Itu
77
BAB 77: Cerita Pertikaian Itu
78
BAB 78: Cerita Video Itu
79
BAB 79: Cerita Gang Itu
80
BAB 80: Cerita Kucing Itu
81
BAB 81: Tentang Vivin dan Nita
82
BAB 82: Tentang Gosip di Kantor
83
BAB 83: Tentang Mencari Barang
84
BAB 84: Tentang Sebuah Flashdisk
85
BAB 85: Tentang Hantu yang Kecewa

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!